Surah Al-Fatihah Bag. 4

Cover Tafsir

Pengertian Isti’adzah

“اْلإِسْتِعَاذَةُ” berarti permohonan perlindungan kepada Allah Ta’ala dari kejahatan setiap yang jahat. “الْعِيَاذَةُ” (permohonan pertolongan) dalam usaha me-nolak kejahatan, sedangkan “اللِّيَـاذُ” (permohonan pertolongan) dalam upaya memperoleh kebaikan.

“أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ” berarti, aku memohon perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk agar ia tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan duniaku, atau menghalangiku untuk mengerjakan apa yang telah Dia perintahkan. Atau agar ia tidak menyuruhku mengerjakan apa yang Dia larang, karena syaitan itu tidak ada yang bisa mencegahnya untuk meng-goda kecuali Allah.

Oleh karena itu Allah Ta’ala menyuruh manusia agar menarik dan mem-bujuk hati syaitan jenis manusia dengan cara menyodorkan suatu yang baik kepadanya supaya dengan demikian dia berubah tabiatnya dari kebiasaannya mengganggu orang lain. Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari syaitan jenis jin, karena dia tidak menerima pem-berian dan tidak dapat dipengaruhi dengan kebaikan, sebab tabiatnya jahat dan tidak ada yang dapat mencegahnya dari dirimu kecuali Rabb yang menciptakannya.

Inilah makna yang terkandung dalam tiga ayat al-Qur’an. Pertama firman-Nya dalam surat al-A’raf: Î خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ Ï “Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan dan berpaling dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Makna di atas berkenaan dengan mu’amalah terhadap musuh dari ka-langan manusia.

Kemudian Allah Ta’ala berfirman:

Î وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ باِللهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Ï “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah . Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS. Al-A’raaf: 200)

Sedangkan dalam surat al-Mukminun, Allah Ta’ala berfirman:

Ïادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَايَصِفُونَ وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَن يَحْضُرُونِ Î

“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabb-ku, dari kedatangan mereka kepadaku.’” (QS. Al-Mukminun: 96-98)

Dan dalam surat Fushshilat, Allah Ta’ala berfirman:

Ïوَلاَتَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ وَمَايُلَقَّاهَآ إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَايُلَقَّاهَآ إِلاَّ ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ Î

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak di-anugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS. Fushshilat: 34-36)

Dalam bahasa Arab, kata syaitan berasal dari kata “شَـطَنَ”, berarti jauh. Jadi syaitan itu tabi’atnya sangat jauh dari tabi’at manusia, dan dengan kefasikan-nya dia sangat jauh dari segala macam kebaikan.

Ada juga yang mengatakan bahwa kata syaitan itu berasal dari kata “شَاطَ” (terbakar), karena ia diciptakan dari api. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna pertama yang lebih benar.

Menurut Sibawaih, bangsa Arab biasa mengatakan, “تَشَيْـطَنَ فُلاَنٌ”, jika fulan itu berbuat seperti perbuatan syaitan. Jika kata syaitan itu berasal dari kata “شَاطَ”, tentu mereka mengatakan, “تَشَيْطَ”. Jadi menurut pendapat yang benar, kata syaitan itu berasal dari kata “شَطَنَ” yang berarti jauh. Oleh karena itu mereka menyebut syaitan untuk setiap pendurhaka, baik jin, manusia, maupun hewan. Berkenaan dengan hal itu, Allah Ta’ala berfirman:

Î وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا Ï

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am: 112)

Dalam buku Musnad Imam Ahmad, disebutkan hadits dari Abu Dzar Radhiallahu’anhu,

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ e: (يَا أَبَا ذَرٍّ تَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْ شَيَاطِيْنِ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ) فَقُلْتُ أَوَ لِلإِنْسِ شَيَاطِيْـنٌ؟ قَالَ: (نَعَمْ)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Dzar, mohonlah engkau kepada Allah perlindungan dari syaitan-syaitan dari jenis manusia dan jin.” Lalu kutanyakan, “Apakah ada syaitan dari jenis manusia?” “Ya,” jawab beliau.

Sedangkan dalam shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Dzar, katanya,

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ e: (يَقْطَعَ الصَّلاَةَ، الْمَرْأَةَ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ الأَسْوَدُ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا بَالُ الْكَلْبِ الأَسْوَدِ مِنَ الأَحْمَرِ وَالأَصْفَرِ؟ فَقَالَ: (الْكَلْبُ الأَسْوَدُ شَيْطَانٌ)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang memotong shalat itu adalah wanita, keledai, dan anjing hitam.” Kemudian kutanyakan, “Ya Rasulullah, mengapa anjing hitam dan bukan anjing merah atau kuning?” Beliau menjawab, “Anjing hitam itu adalah syaitan.”

“الرَّجِيْمُ”, adalah berwazan فَعِيْـلٌ (subjek), tapi bermakna مَفْعُـوْلٌ (objek) berarti bahwa syaitan itu terkutuk dan terusir dari semua kebaikan. Sebagai-mana firman Allah Ta’ala, Î وَ لَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَآءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيـحَ وَ جَعَلْنَاهَا رُجُـومًا لِلشَّيَاطِيـنِ Ï “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk: 5)

Î بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Ï

“Dengan menyebut nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.

Para sahabat membuka Kitabullah dengan membacanya. Dan para ulama telah sepakat bahwa “بِسْـمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـمِ” adalah salah satu ayat dari surat an-Naml. Tetapi mereka berbeda pendapat, apakah basmalah itu ayat yang berdiri sendiri pada awal setiap surat, ataukah merupakan bagian dari awal masing-masing surat dan ditulis pada pembukaannya. Ataukah merupakan salah satu ayat dari setiap surat, atau bagian dari surat al-Fatihah saja dan bukan surat-surat lainnya. Ataukah basmalah yang ditulis di awal masing-masing surat itu hanya untuk pemisah antara surat semata, dan bukan merupakan ayat. Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama baik salaf maupun khalaf, dan bukan di sini tempat untuk menjelaskan itu semua.

Dalam kitab Sunan Abu Dawud diriwayatkan dengan isnad shahih, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui pe-misah surat al-Qur’an sehingga turun kepadanya, “بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ”.

Hadits di atas juga diriwayatkan al-Hakim Abu Abdillah an-Nisaburi dalam kitab al-Mustadrak.

Termasuk yang menyatakan bahwa basmalah adalah ayat dari setiap surat kecuali at-Taubah, yaitu: Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu az-Zubair, Abu Hurairah, Ali. Dan dari kalangan tabi’in: Atha’, Thawus, Sa’id bin Jubair, Makhul, dan az-Zuhri.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Abdullah bin al-Mubarak, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, (menurut satu riwayat), Ishak bin Rahawaih, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam.

Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah berserta para pengikutnya berpendapat bahwa basmalah itu bukan termasuk ayat al-Fatihah, tidak juga surat-surat lainnya. Namun, menurut Dawud, basmalah terletak pada awal setiap surat dan bukan bagian darinya. Demikian pula menurut satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal.

Mengenai bacaan basmalah secara jahr (dengan suara keras), termasuk bagian dari perbedaan pendapat di atas. Mereka yang berpendapat bahwa basmalah itu bukan ayat al-Fatihah, maka ia tidak membacanya secara jahr. Demikian juga yang mengatakan bahwa basmalah adalah suatu ayat yang ditulis pada awal setiap surat.

Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa basmalah termasuk bagian pertama dari setiap surat, masih berbeda pendapat. Imam Syafi’i berpendapat bahwa basmalah itu dibaca secara jahr bersama al-Fatihah dan juga surat al-Qur’an lainnya. Inilah madzhab beberapa sahabat dan tabi’in serta para imam, baik salaf maupun khalaf.

Dalam kitab shahih al-Bukhari, diriwayatkan, dari Anas bin Malik, bahwa ia pernah ditanya mengenai bacaan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjawab:

كَانَتْ قِرَاءَتُهُ مَدًّا، ثُمَّ قَرَأَ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـمِ، يَمُدُّ بِسْمِ اللهِ، وَيَمُدُّ الرَّحْمَنِ، وَ يَمُدُّ الرَّحِيْـمِ.

“Bacaan beliau itu (kalimat demi kalimat) sesuai dengan panjang pendeknya. Kemudian Anas membaca bismillahirrahmanirrahim, dengan memanjangkan bismillah, lalu ar-Rahman dan ar-Rahim (memanjangkan bagian-bagian yang perlu dipanjangkan).”

Dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, shahih Ibnu Khuzaimah, dan Mustadrak al-Hakim yang diriwayatkan dari ummu Salamah radhiallahu ‘anha, katanya:

قَالَتْ كَانَ رَسُـوْلُ اللهِ e يَقْطَعُ قِرَاَءتَهُ: بِسْـمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّيـنِ.

“Rasulullah e memutus bacaannya, bismillahirrahmanirrahim, al-Hamdulillahi-rabbil ‘alamin, ar-Rahmanirrahim, Maliki yaumiddin.

Ad-Daruquthni mengatakan, isnad hadits ini shahih.

Dan ulama lainnya berpendapat bahwa basmalah tidak dibaca secara jahr di dalam shalat. Inilah riwayat yang benar dari empat Khulafa’ur Rasyidin, Abdullah bin Mughaffal, beberapa golongan ulama salaf maupun khalaf. Hal itu juga menjadi pendapat Imam Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan Ahmad bin Hanbal.

Dan menurut Imam Malik, basmalah tidak dibaca sama sekali, baik secara jahr maupun sirri. Mereka mendasarkan pada hadits yang terdapat dalam kitab shahih Muslim, dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat dengan takbir dan bacaaan al-Hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Juga hadits dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, ia menceritakan: “Aku pernah shalat di belakang Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua membuka shalat dengan bacaan al-Hamdulillahi Rabbil ‘alamin.”

Dan menurut riwayat Muslim, “Mereka tidak menyebutkan Bismillahir-rahmanirrahim pada awal bacaan dan tidak juga pada akhirnya.”

Hal senada juga terdapat dalam kitab Sunan, diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal.

Demikianlah dasar-dasar pengambilan pendapat para imam mengenai masalah ini, dan tidak terjadi perbedaan pendapat, karena mereka telah sepakat bahwa shalat bagi orang yang menjahrkan atau yang mensirrikan basmalah adalah sah. Segala puji bagi Allah Ta’ala.

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)

strong