Pengertian Ihdad
Yang dimaksud ihdad adalah perkabungan seorang perempuan atas kematian suaminya. Seorang imam mengatakan, ihdad berarti larangan memakai perhiasan setelah ditinggal mati suaminya.
Hukum Ihdad
Imam Malik berkata, “Ihdad adalah tidak mengenakan perhiasan.”
Pada mulanya, iddah wanita yang ditinggal mati suaminya itu satu tahun penuh, sebagaimana yang difirmankan Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat 240.
Artinya, hendaklah mereka berwasiat kepada istri-istri mereka, yaitu dengan memberikan nafkah kepadanya nafkah selama satu tahun penuh. Kemudian hal itu dihapuskan dengan empat bulan sepuluh hari. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah berfirman,
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri, maka hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (al-Baqarah: 234)
Ihdah ini hukumnya wajib bagi istri selama masa iddah, yaitu empat bulan sepuluh hari. Demikian menurut para ulama. Ihdah tersebut dilakukan dengan cara menghindari berbagai macam perhiasan dan wangi-wangian. Jadi, pada saat itu, ia tidak diperbolehkan memakai parfum apa pun di kepalanya, baik minyak itu menebarkan bau maupun tidak, karena yang demikian itu sudah termasuk berhias. Tetapi ia diperbolehkan memakai minyak yang tidak berbau sama sekali pada tubuhnya, dan jika di dalamnya ada baunya, maka tidak diperbolehkan.
Selain itu, wanita yang berkabung juga tidak boleh memakai celak yang wangi atau yang mengandung unsur hiasan, misalnya celak warna hitam. Dan diperbolehkan memakai celak Farisi, karena ia tidak mengandung hiasan sama sekali, bahkan menambah rasa sakit pada mata sekaligus menjadikannya jelek. Yang demikian itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Ummu Athiyyah, ia bercerita bahwa Rasulullah saw bersabda,
Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari kecuali atas kematian suaminya. Yaitu, ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Yaitu dengan tidak memakai pakaian jadi, kecuali kain tenunan dari Yaman, tidak memakai celak, tidak memakai wangi-wangian, tidak memakai pacar serta tidak menyisir kecuali dalam keadaan suci, dan mengenakan sedikit dari qisth dan zafar.” (HR. Jama’ah kecuali Tirmidzi).
Imam Syafi’i mengemukakan, “Ia boleh memakai celak pada malam hari dan segera dihapus pada siang hari, karena memang tidak diperbolehkan memakainya pada siang hari. Demikian juga dengan pewarnaan sekitar matanya.
Demikianlah wanita yang beriddah karena ditinggal suaminya. Sedangkan dalam kitab Syarh as-Sunnah disebutkan, “Adapun mengenai wanita yang beriddah karena talak, apakah ia harus menjalani ihdah selama masa beriddah tersebut?” Dalam masalah ini masih terdapat beberapa pandangan. Jika ia dijatuhi talak raj’i, maka tidak ada kewajiban baginya, tetapi hendaklah ia berbuat apa yang menjadi kecenderungan hati suaminya supaya suaminya mau kembali lagi kepadanya. Sedangkan yang dijatuhi talak ba’in, maka terdapat dua pendapat, yaitu:
Pertama, ia wajib ber-ihdah (berkabung), sebagaimana halnya wanita yang ditinggal mati suaminya. Demikian yang menjadi pendapat Sa’id bin Musayyab. Hal itu pula yang dipegang oleh Abu Hanifah.
Kedua, tidak ada kewajiban baginya ber-ihdah. Demikian menurut pendapat Atha’. Pendapat itu pula yang dikemukakan oleh Malik. Di dalam kitab ar-Raudhah an-Nadiyah disebutkan, “Ihdad itu hanya dilakukan karena kematian dan tidak untuk yang lainnya. Karena pada intinya, ihdad itu dimaksudkan untuk menampakkan kesedihan dan kedukaan atas kematian suaminya, dan bukan untuk bersedih akibat ditalak suaminya. Selain itu, karena ihdad untuk selain kematian suami ini sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh kaum wanita pada masa Nabi saw dan masa khulafa’ur rasyidin.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 423 – 430