Hukum Talak yang Dijatuhkan Kepada Istri yang Sedang Menjalani Iddah Karena Khulu’
Wanita yang tengah menjalani khulu’ tidak boleh diceraikan sama sekali. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ikrimah, Jabir bin Zaid, al-Hasan, Sya’bi, Malik, Syafi’i, Ishak, Abu Tsaur dan Ahmad.
Hukum Rujuk Kepada Wanita yang Tengah Menjalani Iddah Karena Khulu’
Di dalam khulu’ tidak ditetapkan rujuk, baik dalam anggapannya sebagai fasakh maupun talak. Demikian pendapat mayoritas ulama, yang di antaranya Hasan al-Bashri, Atha’, Thawus, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Malik, Syafi’i, Ishak dan Ahmad.
Pemberikan itu akan menjadi tebusan jika si istri telah keluar dari tanggung jawab dan kekuasaan suaminya. Dan jika ia mempunyai hak rujuk berarti istrinya masih berada dalam kekuasaan. Selain itu, karena tujuan dari khulu’ adalah menghilangkan mudharat yang selalu menghantui istrinya, sehingga jika si suami diperbolehkan kembali kepadanya, berarti akan kembali pula madharat yang mengancam istrinya tersebut.
Khulu’ dengan Tebusan Istri Harus Menyusui Anaknya Selama Dua Tahun Penuh
Jika seorang istri meng-khulu’ suaminya dengan tebusan ia akan menyusui anaknya selama dua tahun, maka khulu’ itu sah.. Demikian juga jika mereka membuat kesepakatan waktu tertentu baik sebentar maupun lama. Demikian itulah yang dikemukakan oleh Syafi’i dan Ahmad.
Khulu’ dengan Tebusan Memelihara Anak Selama Sepuluh Tahun
Jika seorang suami meng-khulu’ istrinya dengan tebusan memelihara anaknya selama sepuluh tahun, maka menurut para penganut madhzhab Hanbali khulu’ itu tetap sah, meskipun keduanya tidak menyebutkan lama masa penyusuan anaknya, serta takaran makanan dan minuman yang harus diberikan.
Imam Syafi’i menyebutkan, “Hal itu tidak sah sehingga ia menyebutkan lama masa penyusuan serta takaran makanan dan minuman yang harus diberikan, sehingga dengan demikian diketahui ukuran dan takaran yang pasti.
Hukum Khulu’ Tanpa Adanya Tebusan
Khulu’ yang dilakukan tanpa memberikan tebusan adalah sah. Demikian menurut pendapat imam Malik dan Ahmad dalam salah satu riwayat. Karena ia merupakan pemutusan nikah sehingga sah meski tanpa adanya tebusan, sebagaimana halnya talak.
Pendapat kedua yang bersumber dari Ahmad, bahwa khulu’ seperti itu tidak sah kecuali jika menggunakan tebusan. Jika ia mengucapkan khulu’ itu tanpa tebusan dengan disertai niat talak, maka talak yang berlaku adalah talak raj’i, karena hal itu bisa saja berarti sebagai talak dengan kata kiasan. Dan jika tidak diniati talak, maka tidak berarti apa pun.
Iddah Wanita yang Berkhulu’
Bagi pendapat yang menyatakan bahwa khulu’ itu talak, maka iddah yang harus dijalani seorang wanita adalah iddah karena talak.
Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa khulu’ itu fasakh, maka iddah yang harus dijalani wanita tersebut adalah satu kali haid.
Ibnu Qayyim menyebutkan, “Orang-orang berbeda pendapat mengenai iddah wanita yang berkhulu’ ini. Ishak dan Ahmad berpendapat dalam satu pendapatnya yang paling shahih yang menunjukkan bahwa ia harus menjalani iddah dengan satu kali haid. Dan itu pula yang menjadi pendapat Utsman bin Affan dan Abdullah bin Abbas. Dan telah diceritakan pula ijma’ para sahabat yang tidak ada seorang pun yang menentangnya. Dan hal itu telah ditunjukkan secara jelas oleh sunnah Rasulullah saw. Dan demikian itulah yang rajih.
Dan bahwa tidak ada satu hadits pun yang menerangkan bahwa Rasulullah saw menyuruh wanita yang berkhulu’ untuk beriddah selam tiga kali haid. Sebaliknya, secara tegas Rasulullah saw menyuruhnya beriddah hanya dengan satu kali haid saja, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dan juga hadits istri Tsabit bin Qais, Habibibah binti Sahlah.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 371 – 375