Pengertian Iddah
Iddah berarti masa menanti yang diwajibkan atas wanita yang diceraikan suaminya, baik karena cerai hidup maupun cerai mati. Dan iddah ini bisa dengan cara menunggu kelahiran anak yang dikandung, atau melalui quru’ atau menurut hitungan bulan.
Pada saat tersebut sang istri tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya. Iddah ini sudah dikenal sejak masa Jahiliyah dulu. Setelah datangnya Islam, iddah ini tetap diakui sebagai salah satu dari ajaran syariat karena banyak mengandung manfaat.
Hukum Iddah
Berkenaan dengan iddah ini, para ulama telah sepakat mewajibkannya. Yaitu berdasarkan firman Allah swt surah al-Baqarah ayat 228.
Wanita yang dicerai maupun ditinggal mati suaminya ini adakalanya tengah hamil dan adakalanya tidak. Oleh karena itu, maka iddah yang berlaku adalah sebagai berikut:
1. Iddah wanita hamil adlah sampai melahirkan anak yang dikandungnya baik cerai mati maupun cerai hidup. Sebagaimana firman Allah dalam surah at-Thalaq ayat 4.
2. Al-Hadawiyah dan ulama lainnya menyebutkan, bahwa wanita yang hamil itu dapat mengakhiri iddahnya dengan dua batas waktu, baik dengan melahirkan kandungannya jika masa itu kurang dari empat bulan sepuluh hari, atau tetap dengan iddah yang normal, yaitu empat bulan sepuluh hari jika waktu melahirkan lebih dari waktu tersebut. Sebagaimana firman Allah surah al-Baqarah ayat 234.
3. Iddah wanita yang sedang menjalani istihadhah, apabila ia mempunyai hari-hari saat ia biasa menjalani masa haid, maka ia harus memperhatikan kebiasaan masa haid dan masa sucinya. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid, maka selesai sudah masa iddahnya.
4. Iddah istri yang sedang menjalani masa haid, lalu terhenti karena sebab yag diketahui maupun tidak. Jika berhentinya darah haid itu diketahui oleh adanya penyebab tertentu, seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus menunggu kembalinya masa haid tersebut dan menjalani masa iddahnya sesuai dengan haidnya meskipun memerlukan waktu yang lebih lama. Sebaliknya, jika disebabkan oleh suatu yang tidak diketahui, maka ia harus menjalani masa iddahnya selama satu tahun. Yaitu, sembilan bulan untuk menjalani masa hamilnya dan tiga bulan untuk menjalani masa iddahnya.
5. Iddah wanita yang belum dicampuri oleh suaminya. Berkenaan dengan hal itu Allah swt terlah berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 49.
Dalam ayat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang istri yang belum dicampuri suaminya tidak mempunyai kewajiban menjalani iddahnya. Tetapi, jika suaminya meninggal dunia sebelum ia mencampuri istrinya, maka istri yang diceraikannya itu harus menjalani iddah sebagaimana jika suaminya telah mencampurinya.
6. Iddah wanita yang telah dicampuri. Jika ia belum pernah mengalami haid sama sekali atau ia sudah sampai usia monopause (tidak haid lagi), maka ia harus beriddah selama tiga bulan. Hal itu berdasarkan firman Allah surah ath-Thalaq ayat 4.
Hak Wanita dalam Iddah
Pertama: Wanita yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal, pakaian dan segala keperluan hidupnya dari suami yang mentalaknya, kecuali jika pihak istri berbuat durhaka, maka ia tidak berhak menerima apa pun. Rasulullah saw telah bersabda tentang masalah ini,
Dari Fatimah binti Qais, Rasulullah saw telah bersabda kepadanya, “Wanita yang berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman dari bekas suaminya itu apabila bekas suaminya itu berhak untuk rujuk kepadanya.” (HR. Ahmad dan Nasa’i).
Kedua: Wanita yang menjalani iddah karena cerai hidup. Jika ia dijatuhi talak ba’in yang tidak boleh dirujuk lagi oleh suaminya, misalnya yang dijatuhi talak tiga, yang ber-li’an dan yang sepersusuan, maka ia boleh dilamar melalui sindiran seperti wanita yang beriddah karena ditinggal mati suami.
Dan jika ia dijatuhi talak yang masih diperbolehkan kembali kepada suaminya, seperti wanita yang melakukan khulu’ atau yang nikahnya di-fasakh (dibatalkan), maka suaminya boleh melamarnya secara sarih (terus terang). Tetapi apakah bagi laki-laki selain suaminya boleh mengajukan lamaran atau tidak? Mengenai hal tersebut, terdapat dua pendapat:
Salah satunya pendapat yang membolehkannya sebagaimana terhadap wanita yang ditalak tiga. Dan pendapat kedua tidak membolehkan, karena suami wanita yang beriddah itu masih mempunyai hak untuk kembali kepadanya. Dan wanita yang ditalak raj’i pun tidak boleh dilamar oleh laki-laki lain.
Beberapa Pendapat Sekitar Masalah Iddah
Imam al-Baghawi menyebutkan, perlu diketahui bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, baik ia itu seorang wanita yang biasa menjalani haid maupun yang tidak pernah haid sama sekali, baik ditinggal mati suaminya sebelum bercampur maupun setelahnya, kecuali jika ia dalam keadaan hamil, maka iddahnya adalah melahirkan. Dan jika tidak sedang hamil, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Jika masa itu telah berlalu darinya, maka dihalalkan baginya menikah lagi. Dan jika ia dari kalangan wanita yang mempunyai kebiasaan haid tidak teratur, maka Malik berkata, “Jika tidak diketahui kebiasaan haidnya, maka tidak diperbolehkan baginya menikah sehingga ia meyakini benar kebiasaan haidnya.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 405 – 422