Pengertian Li’an
Kata li’an berasal dari kata al-La’nu. Yaitu, ucapan seorang suami sebagai berikut, “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku benar-benar melihat istriku telah berzina.” Kalau ada bayi yang lahir dan ia yakini bahwa itu bukan anaknya, maka hendaklah ia nyatakan bahwa bayi itu bukan anaknya. Ucapan itu hendaklah diulanginya empat kali, kemudian ditambah pada yang kelima dengan kalimat, “Laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini.”
Hukum Li’an
Jika seorang menuduh orang lain berzina, sedangkan ia tidak memiliki saksi yang cukup, maka yang menuduh itu wajib dijatuhi hukuman 80 kali deraan. Tetapi kalau yang menuduh itu suaminya sendiri, maka ia boleh lepas dari hukuman tersebut dengan jalan li’an. Artinya, bahwa suami itu boleh memilih antara dua perkara, yaitu didera sebanyak 80 kali deraan atau meli’an istrinya.
Dari Ibnu Umar, ia bercerita, si Fulan bercerita, “Ya Rasulullah, bagaimana menurut pendapat Anda jika seseorang dari kami mendapati istrinya berbuat suatu perbuatan yang keji? Apa yang harus ia perbuat? Jika ia ceritakan, niscaya ia akan menceritakan perkara yang besar dan jika ia diam, niscaya ia diam dari (perkara besar) seperti itu.”
Namun beliau tidak memberikan jawaban kepadanya. Dan setelah itu ia datang lagi kepada beliau seraya berkata, “Sesungguhnya apa yang pernah kutanyakan kepadamu dulu telah diujikan kepadaku.” Kemudian Allah menurunkan beberapa ayat di dalam surat an-Nuur, lalu Rasulullah saw membacakan kepadanya seraya memberikan nasihat dan peringatan. Beliau juga mengingatkannya bahwa azab dunia itu lebih ringan daripada azab akhirat. Orang itu bersabda, “Tidak. Demi zat yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya aku tidak berbohong terhadap tuduhan itu.”
Kemudian beliau memanggil istrinya dan memberikan nasihat juga. Istrinya berkata, “Tidak, demi zat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya ia seorang pendusta.”
Setelah itu beliau menanyai laki-laki itu, lalu orang tu memberikan kesaksian empat kali dengan menyebut nama Allah, dan kemudian diikuti oleh istrinya, lalu beliau memisahkan antara keduanya. (HR. Muslim).
Di dalam hadits tersebut terdapat beberapa permasalahan, yaitu:
Pertama, sabda Rasulullah saw, “Tetapi beliau tidak memberikan jawaban kepadanya.” Sedangkan menurut riwayat Abu Dawud, “Maka Nabi memikirkan dan mencela pertanyaan itu.” Al-Khathabi berkata, “Yang dimaksudkan adalah pertanyaan yang tidak dibutuhkan oleh penanya.” Sedangkan Syafi’i berkata, “Pertanyaan mengenai hal-hal yang belum pernah diturunkan melalui wahyu jelas tidak diperbolehkan. Yang demikian itu supaya tidak turun ayat yang akan menjadikan mereka merasa berat dan kesulitan.
Kedua, dalam hadits di atas adalah, sabda beliau, “Lalu beliau memulai pada orang laki-laki (suami).” Dalam hal itu menunjukkan bahwa Rasulullah saw memulai terlebih dahulu pada pihak suami, karena ia adalah pihak yang mengadukan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh ayat al-Qur’an. Telah menjadi sebuah ijma’ bahwa mendahulukan pihak suami merupakan sunat.
Ketiga, sabda beliau, “Kemudian beliau memisahkan antara keduanya,” menunjukkan bahwa pemisahan antara keduanya tidak terjadi kecuali melalui pemisahan hakim dan bukan oleh li’an itu sendiri. Demikianlah pendapat orang-orang yang melandaskan kepada lafazh yang terdapat dalam hadits di atas. Dan dalam hadits shahih disebutkan, bahwa ada seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga kepada istrinya setelah li’an-nya selesai.
Sedangkan jumhur ulama menyatakan, pemisahan itu terjadi karena li’an. Dan para ulama masih berbeda pendapat, apakah pemisahan itu bisa terjadi hanya dengan sempurnanya li’an suami, meskipun sang istri belum menyatakan kalimat li’an-nya.
Keempat, para ulama berbeda pendapat mengenai pemisahan akibat dua pihak yang ber-li’an, apakah yang demikian itu termasuk fasakh atau talak ba’in. Hadawiyah, Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya berpendapat bahwa yang demikian termasuk fasakh. Hal itu didasarkan bahwa li’an itu mewajibkan pengharaman abadi. Jadi, ia itu termasuk fasakh, yang kedudukannya tidak dapat berkumpul untuk selamanya, juga karena, li’an bukan kalimat talak yang sharih dan bukan pula berupa kiasan.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa li’an itu merupakan talak ba’in. Yang demikian itu didasarkan pada alasan bahwa li’an itu tidak terjadi kecuali dari pihak istri.
Kelima, orang yang melakukan li’an yang diceritakan dalam hadits di atas adalah Hilal bin Umayyah, ia dihadapan Nabi menuduhi istrinya berzina dengan Syarik bin Sahma’.
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah saw pernah berkata kepada kedua orang yang saling me-li’an, “Perhitungan kalian berdua terserah kepada Allah. Salah seorang dari kalian telah berdusta dan tidak ada jalan lagi bagimu untuk menikahinya.” Ia berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan hartaku?” Beliau berkata, “Jika kamu benar (dalam tuduhannya) terhadapnya, maka maharmu itu adalah untuk kehormatannya yang engkau telah dihalalkan mendatangi kemaluannya (bercampur). Dan jika engkau berdusta terhadapnya, maka maharmu itu menjadi lebih darimu.” (Muttafaqun Alaih).
Hadits di atas menerangkan perpisahan antara suami istri akibat li’an. Disebutkan, jika salah satu dari keduanya berdusta dalam li’an tersebut, maka perhitungannya terserah kepada Allah, dan pihak suami tidak berhak memperoleh kembali mahar yang telah diberikan. Karena jika pihak suami benar dalam tuduhan tersebut, maka istrinya berhak mendapatkan hartanya. Demikian juga jika ia berdusta, maka istrinya juga tidak mendapatkan harta itu, sedangkan harta itu sendiri semakin jauh darinya.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 397 – 404