Pengertian dan Asal Kata Zhihar
Secara etimologis (bahasa), kata zhihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah, kata zhihar berarti suatu ungkapan suami kepada istrinya, “Bagiku kamu seperti punggung ibuku,” dengan maksud dia mengharamkan istrinya bagi dirinya.
Zhihar ini merupakan talak yang berlaku di masyarakat Jahiliah terdahulu. Kemudian diharamkan oleh Islam. Allah swt sendiri memerintahkan kepada suami yang men-zhihar istrinya untuk membayar kafarat sehingga zhihar yang dilakukannya itu tidak sampai menjadi talak.
Awal Mula Timbulnya Zhihar
Allah swt berfirman dalam surah al-Mujadilah ayat pertama tentang masalah zhihar ini. Ayat tersebut turun berkenaan dengan persoalan seorang wanita yang bernama Khaulah binti Tsa’labah yang telah dizhihar oleh suaminya, Aus bin Shamit, yaitu dengan mengatakan kepadanya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku.” Dengan maksud bahwa ia tidak boleh menggauli lagi istrinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya.
Menurut adat kebiasaan masyarakat Jahiliyah, kata zhihar itu sudah sama seperti talak. Maka Khaulah mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah saw. Rasulullah menjawab, bahwa dalam hal ini belum ada keputusan Allah. Dan pada riwayat yang lain Rasulullah mengatakan, “Engkau telah diharamkan bercampur dengannya.” Lalu Khaulah berkata, “Suamiku belum menyebut kata-kata talak.” Kemudian Khaulah berulang-ulang mendesak kepada Rasulullah supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, hingga akhirnya turun ayat tersebut di atas dan ayat-ayat berikutnya.
Kapankah Pembayaran Kafarat itu Diwajibkan?
Para ulama telah bersepakat bahwa penyerupaan istri dengan punggung ibu telah menjatuhkan talak. Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai beberapa masalah:
Pertama, jika seorang suami menyerupakan istrinya dengan salah satu dari anggota tubuh ibunya, maka mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa yang demikian itu juga termasuk zhihar.
Kedua, mereka juga berbeda pendapat jika istrinya diserupakan dengan wanita mahram selain ibu. Berkenaan dengan hal tersebut, al-Hadawiyah mengatakan, “Yang demikian itu tidak disebut zhihar, karena yang ditegaskan oleh nash adalah ibu saja.”
Sedangkan ulama lainnya, misalnya Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat lain, yaitu bahwa yang demikian itu termasuk zhihar, meskipun diserupakan dengan mahram karena penyusuan.
Ketiga, selain itu, mereka juga berbeda pendapat mengenai apakah zhihar itu juga berlaku bagi orang kafir. Berkenaan dengan hal ini ada yang mengatakan, “Ya, bisa.” Hal itu didasarkan pada keumuman khithab dalam ayat di atas. Tetapi ada juga yang berpendapat lain, bahwa hal itu tidak berlaku, karena zhihar itu mengharuskan pembayaran kafarat, sedangkan kafarat itu tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir.
Keempat, mereka berbeda pendapat mengenai zhihar terhadap budak wanita.
Kelima, hadits di atas menjadi dalil yang mengharamkan mencampuri istri yang di-zhihar sebelum pembayaran kafarat. Sebagaimana yang juga difirmankan oleh Allah swt. “Sebelum kedua suami istri itu bercampur.” Dengan demikian, jika ia mencampuri istrinya, tidak berarti kewajiban membayar kafarat itu gugur dan tidak juga berlipat ganda. Hal itu didasarkan pada sabda Rasululah saw dalam hadits di atas, “…sehingga kamu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu.”
Keenam, selanjutnya, para ulama juga berbeda pendapat mengenai beberapa tindakan pendahuluan misalnya ciuman, sentuhan dan lain-lain, maka ada yang berpendapat bahwa hukum dalam tersebut sama dengan hukum yang berlaku pada hubungan badan, yaitu haram, karena ia telah menyerupakan istrinya dengan orang yang tidak boleh dicampuri dan dicumbui. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 371 – 375