Hadits, “Larilah kamu dari orang yang berpenyakit kusta

Aqidah2

Ya Syaikh, tolong jelaskan maksud dari sabda Rasulullah, “Tidak ada penyakit menular, tidak ada ramalan, tidak ada kegundahan dan tidak ada bahaya di bulan Shafar.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Bagaimana hukumnya menolak hadits ini? Bagaimana memadukan hadits ini dengan hadits “Larilah kamu dari orang yang berpenyakit kusta seperti larimu dari macam?”

Jawaban:

Al-Adwa’ (penyakit menular) adalah penyakit yang berpindah dari orang sakit kepada orang sehat. Seperti yang terjadi pada penyakit-penyakit inderawi, penularan juga terjadi pada penyakit-penyakit maknawi. Maka dari itu Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam mengabarkan bahwa orang yang duduk bersama orang buruk seperti orang yang meniup bara api; baik akan membakar bajunya sendiri atau akan mencium bau yang tidak sedap. Sabda Rasulullah, “penyakit menular” mencakup penyakit menular yang bersifat fisik inderawi dan maknawi.

“Ath-Thairah” adalah merasa pesimis karena melihat, mendengar atau mengetahui sesuatu.

“Hammah” ditafsirkan dengan dua penafsiran. Pertama, penyakit yang menimpa orang sakit dan berpindah kepada orang lain. Penafsiran semacam ini berarti sama dengan kata, “Al-Adwa” bedanya ini khusus dan itu umum. Kedua, burung hammah yang dianggap orang Arab bahwa jika ada orang meninggal dunia, burung hammah ini akan datang kepada keluarganya dan menyambar kepala mereka. Mungkin sebagian mereka ada yang berkeyakinan bahwa burung itu adalah penjelmaan dari ruh orang yang meninggal itu. Burung itu semacam burung hantu atau burung hantu itu sendiri, yang menyakiti keluarga orang yang mati dengan suara-suara hingga mereka ketakutan. Lalu mereka merasa pesimis dengannya. Jika burung itu hinggap di rumah salah seorang dari mereka, mereka meyakini bahwa dalam keluarga itu akan ada yang mati. Ini adalah keyakinan yang batil.

Kata Shafar ditafsirkan dengan beberapa penafsiran. Pertama, Shafar berarti bulan Shafar biasa dan orang-orang Arab merasa pesimis pada bulan itu. Kedua, Shafar adalah penyakit dalam perut yang menimpa onta dan berpindah dari satu onta kepada onta lainnya. Penafsiran ini juga sama dengan al-‘adwa hanya saja ini bersifat khusus sedangkan al-‘adwa bersifat umum. Ketiga, shafar adalah bulan Shafar. Maksudnya adalah tipu daya yang digunakan orang-orang kafir untuk menyesatkan, lalu mereka mengundurkan pengharaman bulan Muharram hingga Shafar, menghalalkannya setahun dan mengharamkan setahun.

Tetapi makna yang paling benar adalah adalah bulan Shafar yang di dalamnya mereka berputus ada pada masa jahiliyyah. Waktu tidak ada pengaruhnya terhadap nasib dan takdir Allah, karena seperti bulan-bulan lainnya, di dalamnya Allah menetapkan kebaikan dan keburukan.

Sebagian manusia jika selesai mengerjakan suatu pekerjaan pada tanggal dua puluh lima Shafar misalnya, ada yang berlebih-lebihan sehingga berkata, “Pekerjaan ini selesai pada tanggal dua puluh lima bulan Shafar yang baik. Ini termasuk melanggengkan bid’ah lama dengan bid’ah baru dan kebodohan dengan kebodohan. Bulan Shafar bukanlah bulan baru atau bulan jelek. Maka dari itu sebagian salaf mengingkari orang yang jika mendengar burung hantu berbunyi lalu dia berkata, “Ini baik insya Allah”, tidak perlu dikatakan ini baik atau buruk, tetapi burung hantu itu berbunyi seperti burung-burung lainnya.

Empat hal itulah yang ditolak Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, dan mewajibkan untuk bertawakal kepada Allah bertekad baik. Seorang muslim tidak boleh merasa lemah berhadapan dengan masalah-masalah tersebut.

Jika seorang muslim merenungkan masalah-masalah ini, maka mereka tidak lepas dari dua hal:

Pertama, menerima anggapan-anggapan itu sehingga dia mengaitkan perilakunya dengan sesuatu yang tidak realistis.

Kedua, tidak menerimanya dan tidak menghiraukannya, tetapi dalam dirinya masih tersimpan rasa khawatir atau gundah. Hal kedua ini walaupun lebih ringan dari yang pertama tetapi hendaknya kita tidak menerima pandangan orang-orang yang menyeru demikian secara mutlak dan cukuplah hanya bertawakal kepada Allah saja.

Sebagian manusia ada yang membuka mushaf Al-Qur’an untuk mendapatkan optimisme, jika dia membaca ayat-ayat tentang neraka, maka dia berkata; ini pertanda tidak baik, dan jika membaca ayat-ayat tentang surga, ini pertanda baik. Tindakan seperti ini sebenarnya sama dengan tindakan orang-orang jahiliyah yang mengundi nasib dengan anak panah.

Penolakan terhadap keempat hal ini bukanlah penolakan terhadap keberadaannya, Karena semua itu memang benar-benar ada, tetapi yang ditolak adalah pengaruhnya, karena yang dapat memberi pengaruh hanyalah Allah. Tetapi jika ada di antaranya yang menjadi sebab riil, maka itu bisa disebut sebab yang benar, tetapi jika sebab itu masih meragukan, maka itu adalah sebab yang batil, sehingga ditolak pengaruhnya baik untuk dirinya sendiri maupun yang disebabkannya. Penyakit menular memang ada dan keberadaannya dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabda beliau, “Janganlah mendekatkan onta yang sakit kepada onta yang sehat.” Atau pemilik onta hendaknya tidak mencampur onta yang sakit dengan onta yang sehat, supaya penyakitnya tidak menular.

Sedangkan sabda Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, “Larilah kamu dari orang yang berpenyakit kusta seperti kamu lari dari macan.” Penyakit kusta adalah penyakit ganas yang menular dengan cepat dan dapat mematikan penderitanya, bahkan ada yang mengatakan bahwa penyakit kusta itu adalah wabah, maka diperintahkan agar menjauh supaya tidak terjadi penularan. Dalam hadits itu ditegaskan tentang adanya penularan, tetapi penularan itu bukan sesuatu yang pasti sehingga menjadi ‘illah yang pasti pula. Tetapi Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam memerintahkan untuk menjauhi penderita kusta dan tidak mendekatkan orang yang sakit dengan orang sehat, dilihat dari sudut pandang menjauhi sebab-sebab bukan dari bab pengaruh sebab itu sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Janganlah kalian menjerumuskan diri kalian sendiri kepada kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195).

Tidak dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mengingkari adanya pengaruh penyakit menular, karena ini adalah perkara yang realistis dan masih ada hadits-hadits yang lain.

Ketika Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Tidak ada penyakit menular”, seorang lelaki bertanya, “Ya Rasulullah, tidak tahukah engkau bahwa jika di padang pasir ada seekor onta betina, lalu dikawin oleh onta jantan yang sakit kudis maka onta betina itu akan kudisan juga? Nabi menjawab, “Lalu siapa yang menulari onta yang pertama?”

Jawaban Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam dengan sabdanya, “Siapa yang menulari onta yang pertama?” mengisyaratkan bahwa penyakit itu pindah dari onta yang sakit kepada onta yang sehat atas aturan Allah. Penyakit yang menimpa pada onta yang pertama tidak ada yang menularinya, melainkan turun dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada sesuatu yang disebabkan oleh sesuatu tertentu dan ada sesuatu yang tidak disebabkan oleh sesuatu tertentu. Kudis yang menimpa onta yang pertama tidak diketahui penyebabnya, melainkan karena sudah ditakdirkan oleh Allah, sedangkan kudis yang menimpa setelahnya karena ada sebab tertentu dan jika Allah berkehendak tidak menular. Maka dari itu kadang ada onta yang terkena penyakit kudis kemudian sembuh dan tidak mati. Begitu juga wabah penyakit dan kolera merupakan penyakit menular, kadang masuk rumah sehingga menimpa sebagian anggota keluarga hingga mati, kadang ada yang bisa diselamatkan dan kadang ada yang tidak terkena sama sekali. Manusia harus bersandar kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya.

Dijelaskan bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam didatangi seorang lelaki yang terkena penyakit lepra, lalu beliau memegang tangannya seraya berkata kepadanya, “Makanlah” atau makanlah makanan yang dimakan Rasulullah karena kekuatan tawakalnya. Maka tawakal itu merupakan penawar terhadap adanya sebab menularnya penyakit tersebut.

Itulah cara kita memadukan antara kedua hadits yang kontradiktif itu. Sebagian ulama ada yang beranggapan perlunya dinasakh. Anggapan itu tidak benar, karena syarat penasakhan nash adalah bila tidak mungkin dipadukan, jika masih memungkinkan harus dipadukan, karena di dalamnya ada pengamalan terhadap dua dalil. Dalam nasakh ada pembatalan terhadap keduanya; dan mengerjakan keduanya lebih utama daripada membatalkan salah satunya, karena kami menganggap keduanya ada dan menjadikan keduanya sebagai hujjah.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 132 – 136.