Apa nasihat Syaikh kepada orang yang tidak senang belajar akidah khususnya masalah takdir karena takut terjerumus?
Jawaban:
Masalah ini seperti masalah-masalah lainnya termasuk masalah penting yang harus diketahui manusia dalam dunia dan agamanya. Dia harus senang kepadanya, meminta pertolongan kepada Allah untuk mendalami dan mengetahuinya, sehingga masalahnya jelas baginya karena dia tidak boleh ragu dalam masalah yang penting ini. Sedangkan mengakhirkan belajar agama karena takut menjadikannya semakin jauh dari agama, maka tidak apa-apa mengakhirkannya selama yang lain itu lebih penting darinya.
Masalah takdir merupakan masalah penting yang harus dipelajari oleh seorang hamba secara mendalam hingga dia sampai kepada keyakinan. Masalah takdir sebenarnya bukan masalah yang problematik. Yang menjadikan sebagian manusia merasa berat belajar akidah adalah karena mereka-sangat disayangkan-lebih banyak menguatkan aspek “bagaimana” dariapada aspek “mengapa”.” Manusia bertanggung jawab terhadap dua kalimat istifham itu, yaitu “bagaimana dan mengapa”. Seperti, mengapa kamu mengerjakan ini? Bagaimana kamu mengerjakannya? Itulah keikhlasan. Mengapa kamu mengerjakan ini? Itulah pertanyaan yang dituntun oleh Rasulullah.
Kebanyakan manusia sekarang sibuk untuk mencari jawaban “bagaiamana” dan lupa mencari jawaban mengapa. Maka dari itu Anda dapati mereka tidak banyak membahas tentang masalah keikhlasan, sedangkan dari aspek keduniaan mereka sangat getol dalam mencarinya. Pada saat ini manusia banyak memperhatikan aspek ini, sehingga mereka lupa pada aspek yang lebih penting yaitu aspek akidah, keikhlasan, dan tauhid. Maka dari itu Anda dapati sebagian manusia larut dalam urusan dunia dan hatinya tergantung kepadanya, lupa kepada Allah secara mutlak dalam jual beli, kendaraan, tempat tinggal dan pakaian. Kadang-kadang-di zaman ini-manusia telah menjadi hamba dunia tetapi tidak merasa. Kadang dia telah berbuat syirik kepada Allah di dunia tetapi tidak merasa, karena dia-disayangkan-tidak memperhatikan aspek tauhid dan akidah. Fenomena semacam ini tidak hanya melanda orang-orang awam saja, tetapi hingga sebagian penuntut ilmu. Ini masalah yang sangat berbahaya.
Begitu juga, hanya memperhatikan masalah akidah saja sebagai benteng dan pagar tanpa bekerja, juga salah. Karena kita sering mendengar siaran di radio dan membaca berita di Koran-koran bahwa agama adalah akidah yang mudah dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lainnya. Sebenarnya ditakutkan, hal ini akan menjadi pintu masuk dan keluarnya seseorang dalam menghalalkan sebagian masalah yang haram dengan alas an bahwa akidahnya benar. Tetapi kedua hal itu, agama dan dunia, harus diperhatikan seluruhnya agar aspek “mengapa” dan “bagaimana”, keduanya menjadi lurus.
Ringkasnya, seseorang harus belajar ilmu tauhid dan akidah agar dia melek terhadap tuhan dan sesembahannya; melek terhadap nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan Allah; melek terhadap hokum-hukum alam, syariat, kebijaksanaan, rahasia syariat dan penciptaannya, sehingga dia tidak tersesat dan tidak menyesatkan orang lain. Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia karena kemuliaan aspek-aspek yang berkaitan dengannya. Maka dari itu para ahlul ilmi menamainya dengan fikih akbar.
Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang Allah menginginkan suatu kebaikan untuknya, Dia akan memahamkannya dalam urusan agama.” Ditakhrij oleh Al-Bukhori, kitab Al-Ilm, bab “Man Yuridillahu bihi Khairan”, [71] dan Muslim kitab Az-Zakah, bab “An-Nahyu ‘An Al-Mas’alah”, [1037]
Ilmu yang seyogyanya pertama kali dipelajari adalah ilmu tauhid dan akidah, tetapi seseorang juga harus berusaha mencai jalan bagaimana mendapatkan ilmu tersebut dan dari sumber mana diperoleh? Yang harus diambil dari ilmu akidah ini adalah: Pertama, yang murni dan bebas dari syubhat. Kedua, mempelajari hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah bid’ah dan syubhat; agar kemurnian akidahnya benar-benar kelihatan dan hedaklah dia menjadikan Kitabullah, Sunnah rasulullah, pendapat para sahabat, perkataan para imam dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in, pendapat para ulama yang memiliki keilmuwan yang kuat dan amanah, khususnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah serta para imam kaum Muslimin sebagai sumber utamanya.
Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 121-123.