Penjelasan tentang Takdir

Aqidah2

Ya Syaikh, tolong jelaskan kepada kami tentang masalah takdir? Apakah asal semua tindakan manusia sudah ditakdirkan? Lalu bagaimana manusia memilih pekerjaannya? Misalnya, jika Allah menakdirkan seseorang akan membangun masjid, pasti dia akan membangunnya, tetapi dia tidak melakukannya karena dia tahu bahwa dia diberi pilihan membangun atau tidak terserah kepadanya. Begitu juga kemaksiatan, jika Allah menakdirkan, pasti dia akan melakukan kemaksiatan itu, tetapi dia tidak melakukannya, karena dia tahu bahwa dia diberi pilihan untuk melaksanakan atau tidak terserah kepadanya. Kesimpulannya bahwa manusia diberi pilihan apakah dia akan melaksanakan apa yang ditakdirkan kepadanya ataukah tidak, terserah kepadanya. Apakah pendapat ini benar?

Jawaban:

Masalah takdir merupakan masalah yang selalu diperdebatkan manusia sepanjang zaman, maka dari itu manusia dibagi menjadi tiga bagian: dua bagian di ujung dan satu bagian di tengah. Dua bagian yang ada di ujung itu adalah:

Pertama, orang yang melihat keumuman takdir Allah sehingga dia menafikan adanya tindakan memilih. Dia berpendapat bahwa manusia serba terpaksa dalam pekerjaannya dan tidak mempunyai pilihan apa-apa. Jika ada seseorang jatuh dari atap karena diterpa angina dan sebagainya atau dia turun dengan selamat, semuanya sudah ditetapkan dalam takdir.

Kedua, orang yang berpendapat bahwa manusia melakukan segala sesuatu atau meninggalkannya berdasarkan pilihannya sendiri dan tidak ada hubungannya denga takdir Allah. Dia berpendapat bahwa manusia bebas mengerjakan amalnya dan tidak ada kaitannya dengan takdir Allah di dalamnya.

Ketiga, orang yang bersikap tengah-tengah, lalu melihat kedua sebab itu. Dia melihat keumumam takdir Allah dan juga melihat adanya pilihan manusia. Dia mengetahui secara tegas perbedaan antara jatuhnya manusia dari langit-langit karena angin atau lainnya dan turunya dia darinya karena pilihannya sendiri ataukah karena takdir.

Kelompok ketiga ini tahu bahwa dia jatuh bukan atas pilihannya, tetapi ketika dia turun dari tangga adalah atas pilihannya; tetapi keduanya terjadi karena ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah. Tidak ada sesuatu yang terjadi di bumi Allah ini tanpa diinginkan-Nya, tetapi apa yang terjadi karena pilihan manusia terjadi pada aspek yang bersifat taklif (pembebanan). Maka tidak ada hujjah (alasan) baginya dengan takdir dalam masalah taklif yang diperintahkan dan dilarang. Demikian itu karena ketika dia melakukan pelanggaran, dia tidak tahu apa yang ditakdirkan Allah kepadanya, sehingga ketika dia memilih melakukan pelanggaran itu, dia berhak mendapatkan hukuman baik di dunia maupun di akhirat. Maka dari itu, tatakala dia dipaksa seseorang untuk melanggar, dia tidak dihukum karena pelanggaran itu, karena dia melakukannya secara terpaksa.

Jika manusia tahu bahwa larinya dia dari api menuju tempat yang aman adalah pilihannya, jika menetapnya dia di rumah yang indah dan luas juga berdasarkan pilihannya, tetapi di samping itu dia juga beriman bahwa larinya dia dari api dan menetapnya dia di rumah yang indah itu terjadi karena ketetapan dan takdir Allah; jika dia tetap tinggal di tempat itu akan dilahap api dan jika dia terlambat meninggalkan tempat itu akan celaka dan kehilangan kesempatan sehingga dia akan dicela; mengapa dia tidak tahu masalah ini sehingga meremehkannya dengan meninggalkan factor-faktor yang dapat menyelamatkannya dari neraka dan mengantarkannya ke dalam surga?

Sedangkan permisalan yang digambarkan bahwa jika Allah menakdirkan hamba-Nya mampu membangun masjid maka dia pasti akan membangunnya, tetapi dia tidak melakukannya karena dia tahu bahwa dia diberi pilihan membangun atau tidak terserah kepadanya, ini adalah permisalan yang tidak benar, karena dia menyatakan bahwa membangun tidaknya, hanya ditetapkan berdasarkan akal, tidak masuk di dalamnya takdir Allah, padahal asal pemikiran untuk membangun itu sendiri, hanya ditetapkan berdasarkan takdir dan tidak ada pilihan di dalamnya.

Tetapi asal pemikiran untuk membangun masjid itu juga masuk di dalamnya pilihan manusia, karena dia tidak dipaksa dalam melakukannya, seperti halnya dia tidak dipaksa untuk berfikir membangun kembali rumahnya atau membiarkannya. Tetapi pemikiran itu sendiri, sebenaranya telah ditakdirkan Allah Swt kepadanya melalui cara yang tidak dia sadari, karena itu, dia tidak tahu bahwa Allah telah menetapkan takdir kepadanya sehingga terjadi sesuatu. Takdir addalah rahasia tersembunyi yang tidak seorang pun mengetahuinya, kecuali jika Allah menunjukkannya melalui wahyu atau terjadi secara inderawi. Begitu juga tentang masalah pembangunan masjid tadi, semua itu ditakdirkan oleh Allah, karena Allah telah menakdirkan segala sesuatu baik secara global maupun rinci. Tidak mungkin manusia memilih sesuatu yang tidak diinginkan dan tidak ditakdirkan-Nya, tetapi jika seseorang memilih sesuatu dan mengerjakannya, sememntara dia tahu dengan yakin bahwa Allah Swt telah menetapkan dan menakdirkannya, maka orang itu diberi pilihan berdasarkan factor-faktor inderawi yang tampak yang telah ditakdirkan Allah sebagai sebab terhjadinya perbuatan itu, sehingga ketika manusia melakukan perbuatan itu dia tidak merasa ada orang lain yang memaksanya berbuat. Jika dia mengerjakan hal itu sesuai dengan factor-faktor yang dijadikan Allah sebagai sebab, berarti baik secara langsung maupun tidak langsung, Allah telah menakdirkannya.

Begitu juga mengenai permisalan yang Anda katakan, tentang orang yang melakukan kemaksiatan, bahwa Allah telah menakdirkannya akan berbuat maksiat dan dia pasti akan melakukannya, tetapi akhirnya dia meninggalkan kemaksiatan itu karena dia tahu bahwa dirinya diberi kebebasan untuk memilih.

Pendapat kami dalam masalah ini sama seperti pendapat kami tentang masalah pembangunan masjid: sesungguhnya takdir Allah yang ditetapkan kepada seseorang untuk berbuat maksiat tidak menafikan pilihannya, karena ketika dia memilih untuk berbuat maksiat itu, dia tidak tahu apa yang ditetapkan Allah kepadanya, sehingga tindakan itu dia lakukan berdasarkan pilihannya dan dia tidak merasa ada orang lain yang memaksanya. Tetapi, ketika orang itu telah melakukan perbuatannya, kita baru tahu bahwa Allah telah menakdirkannya. Begitu juga tentang perbuatan maksiat yang dilakukan seseorang, terjadi karena pilihannya sendiri yang tidak bertentangan dengan takdir Allah, karena Dia telah menakdirkan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung, dan menetapkan segala factor yang menghantarkan seseorang kepada takdirnya. Semua itu tidak menyimpang dari ketetapan Allah dan tidak pula menyimpang dari perbuatan manusia yang bersifat memilih dan terpaksa, seperti yang difirmankan Allah, “Apakah kamu tidak menetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan bumi?;bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab )Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al-Hajj: 70)

Kemudian firman Allah, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syetan-syetan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tingalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An’aam:112)

Kemudian firman Allah, “Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka untuk memebinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi merka agamanya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah merka dan apa yang mereka ada-adakan. “ (Al-An’aam:137)

Serta firman Allah, “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang dating) sesudah rasul-rasul itu, sesudah dating kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di anatara mereka yang kafir. Seandainya Allah mengehendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 253)

Seyogyanya seseorang tidak mencari-cari masalah seperti ini untuk dirinya sendiri maupun orang lain yang dapat menimbulkan gangguan akidah dan menentangka syariat denga takdir. Tindakan semacam ini bukan manhaj para sahabat Nabi, padahal mereka adalah orang-orang yang paling kuat tekadnya dalam memahami realitas dan paling dekat dengan Rasulullah, penepis keraguan dan penghilang kegundahan. Dalam sebuah hadits disebutkan, ‘Dari Ali Radhiyallahu ANhu berkata, ‘Kami duduk bersama Nabi Saw dan beliau sedang membawa tongkat sambil digores-goreskan ke tanah seraya bersabda, ‘Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka atau pun di surga. ‘Salah seorang dari kaum itu bertanya, ‘Apakah kita tidak bertawakkal ya Rasulullah.’Beliau menjawab, ‘Tidak, ketahuilah behwa semuanya akan dimudahkan.’Kemudian beliau membaca firman Allah, ‘Maka barangsiapa yang memberi dan bertakwa…..(ayat) .” (Al-Bukhori dan Muslim) Ditakhrij Al-Bukhori dalam kitab Al-Qadar, wa Kaana Amrullahi Qadaran Maqdura. Muslim, kitab Al-Qadar bab “Kaifiyatu Khalqi Al-Adam fi Bathini Ummihi”, [2647)

Dalam satu riwayat disebutkan, “Ketahuilah bahwa semuanya dimudahkan untuk mencapai apa yang dia diciptakan untuknya. Adapun orang yang termasuk ahli bahagia, akan dimudahkan baginya mengerjakan pekerjaan ahli bahagia, sedangkan orang yang ditakdirkan menjadi ahli sengsara, akan dimudahkan baginya mengerjakan amalan orang-orang sengsara.” Ditakhrij Al-Bukhori dalam kitab Al-Janaiz, bab “Mau’idzah Al-Muhaddits ‘Inda Al-Qubr”, [1362] dan Muslim kitab Al-Qadar, bab “Kaifiyatu Khalqi Al-Adami fi Bathni Ummihi”, [2647)

Kemudian beliau membaca firman Allah, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapaun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 5-10)

Nabi saw melarang hanya bersandar kepada takdir tanpa berbuat apa-apa, karena jika hanya diam tanpa berbuat, tidak ada jalan untuk mengetahui takdir itu, maka beliau memerintahkan agar seseorang mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya, yaitu bekerja dan berdalil kepada ayat yang menunjukkan bahwa orang yang beramal shalih dan beriman maka dia akan dimudahkan Allah melakukannya. Itulah obat mujarab yang membawa hasil, yang di dalamnya seorang hamba akan mendapatkan kelapangan dan kebahagiaan, yaitu giat beramal shalih yang didasarkan atas keimanan dan merasa gembira dengannya ketika mengikutinya dengan kemudahan di dunia dan akhirat. Kami memohon kepada Allah agar memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk beramal shalih, semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita, menjauhkan kita dari kesulitan dan mengampuni kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mengabulkan.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 123-129.