Bab Nikah 5

Keluarga Sakinah

Hukum Wasiat dalam Perwalian

Apakah boleh perwalian itu dijalankan atas dasar wasiat?

Ada yang berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan. Demikian menurut pendapat al-Hasan, Hamad bin Abi Sulaiman, para ulama penganut Hambali dan Imam Malik.

Dan ada pula yang menyatakan bahwa perwalian itu tidak boleh dijalankan atas dasar wasiat. Demikian pendapat ats-Tsauri, asy-Syiba’i, an-Nakha’i, al-Harits, al-Ikali, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ibnu Mundzir.

Hukum Perwakilan dalam Pernikahan

Perwakilan dalam pernikahan itu dibolehkan baik wali pengantin wanitanya hadir atau tidak, dipaksa maupun tidak dipaksa. Karena telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau pernah mewakilkan Abu Rafi’ untuk menikahkan Maimunah. Dan beliau juga pernah mewakilkan Amr bin Umayyah untuk menikahkan Ummu Habibah. Karena pernikahan merupakan akad timbal balik sehingga boleh diwakilkan sebagaimana halnya dalam jual beli.

Perwakilan diperbolehkan secara mutlak atau muqayyad. Muqayyad adalah perwakilan dalam menikahkan orang tertentu. Sedangkan mutlak adalah perwakilan dalam menikahkan orang yang disetujui atau yang dikehendaki.

Sebagian penganut madzhab Syafi’i mengemukakan, “Orang yang tidak terpaksa, tidak boleh mewakilkan kecuali dengan izin wanita yang akan dinikahkannya.”

Hukum Seorang Laki-laki Menceraikan Istrinya Melalui Wali

Bagi selain ayah, tidak diperbolehkan menceraikan istri orang yang di bawah perwaliannya, baik ia mempunyai kekuasaan untuk menikahkannya (seperti orang yang mendapat wasiat dari ayahnya atau mendapat wasiat dari hakim) maupun tidak.

Hukum Wanita yang Dinikahkan oleh Dua Orang Wali

Jika seorang wanita mempunyai dua orang wali, lalu ia mengizinkan masing-masing dari keduanya untuk menikahkannya, maka yang demikian itu dibolehkan.

Jika kedua wali tersebut menikahkannya dengan dua orang laki-laki yang berbeda, lalu diketahui wali yang lebih dulu menikahkannya, maka pernikahan yang sah adalah pernikahan yang lebih awal.

Tetapi jika yang kedua itu sudah bercampur, maka yang kedua adalah yang lebih berhak. Hal itu berdasarkan ucapan Umar, “Jika dua orang wali menikahkan seorang wanita, maka yang lebih awal adalah yang lebih berhak, selama yang kedua belum pernah bercampur.”

Hukum Menghadirkan Saksi dalam Akad Nikah

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda,

“Wanita-wanita pelacur adalah yang menikahkan dirinya sendiri tanpa ada saksi.” (HR. Tirmidzi)

Dari Imran bin Hushain, dari Nabi saw, beliau bersabda

“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.

Dalam kitab ar-Raudhah disebutkan, “Hadits-hadits yang membahas masalah saksi ini meskipun semuanya dhaif, namun sebagian memperkuat sebagian lainnya, sehingga dapat digunakan sebagai dalil.”

Tirmidzi mengemukakan, “Para ulama dari kalangan para sahabat, para tabi’in dan yang lainnya telah mengamalkan hal tersebut.” Mereka berkata, “Tidak ada pernikahan kecuali dengan persaksian.” Tidak ada yang berbeda pendapat mengenai hal itu kecuali beberapa ulama dari kalangan muta’akhirin. Para ulama itu berbeda pendapat sekitar masalah jika pernikahan itu disaksikan satu demi satu (tidak berbarengan). Maka mayoritas ulama Kufah dan juga yang lainnya mengungkapkan, “Pernikahan itu tidak dibolehkan sehingga disaksikan oleh dua orang saksi secara berbarengan pada saat akad nikah.”

Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang sifat adil dalam saksi pernikahan. Tetapi yang benar adalah pendapat bahwa sifat adil itu diharuskan. Hal itu disebabkan adanya pembatasan tentang kesaksian yang dibenarkan dalam hadits Imran bin Hushain dan Aisyah, yang keduanya menyebutkan sifat adil bagi kedua saksi. Demikian juga hadits Ibnu Abbas tentang masalah ini.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 88 – 98.