Bab Nikah 3

Keluarga Sakinah

Hukum Meminta Pendapat kepada Wanita atas Lamaran Seorang Laki-laki

Terhadap wanita yang masih kecil dan belum balig, ayah atau kakeknya berhak untuk menikahkannya tanpa harus meminta izin kepadanya terlebih dahulu, karena ia belum banyak memahami berbagai hal tentang pernikahan. Dan tidak diperbolehkan menikahkan anak yatim perempuan yang masih kecil sehingga ia balig dan memberikan izin.

Sedangkan terhadap wanita yang sudah balig dan janda, maka diharuskan meminta pendapat kepadanya tentang laki-laki yang melamarnya, dan ia harus mengucapkan secara terus terang setuju atau tidak. Jika ia dinikahkan dengan seorang laki-laki tanpa dimintai pendapatnya dan tanpa persetujuannya, maka akad nikahnya dianggap batal.

Adapun mengenai wanita balig yang masih gadis, maka sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwa ada keharusan untuk meminta pendapat dan persetujuan kepadanya sebagaimana halnya kepada wanita janda mengenai laki-laki yang melamarnya. Persetujuannya bisa berupa perkataan secara terus terang atau dengan cara diam yang menunjukkan persetujuannya. Jika ia dipaksa oleh seeorang selain ayah dan kakeknya, maka akad nikah itu tetap sah, menurut sebagian ulama, dan menurut sebagian lainnya akad tersebut tidak sah. Dan yang benar adalah bahwa akad tersebut tidak sah.

Rasulullah saw bersabda, “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai pendapat, dan tidak pula seorang gadis dinikahkan sehingga dimintai izin.”

Dalam hadits tersebut beliau menggunakan kalimat “dimintai pendapat” bagi janda, dan kalimat “dimintai izin” bagi gadis. Dengan demikian beliau membedakan antara keduanya, dimana permintaan pendapat itu artinya adalah musyawarah. Dalam hal ini, seorang wali memerlukan pemberian izin secara terus terang dari seoran janda, dan jika ia tidak menyetujuinya, maka pernikahannya tidak boleh dilaksanakan.

Berbeda dengan janda, seorang wanita yang masih gadis, izinnya boleh berupa ucapan atau sikap diam. Hal itu jelas berbeda dengan permintaan pendapat, yang harus diucapkan secara terus terang dan jelas.

Yang dimaksud dengan gadis yang oleh syariat diharuskan untuk dimintai izinnya jika hendak dinikahkan, adalah wanita yang sudah balig, karena tidak ada gunanya meminta izin kepada wanita yang masih kecil, sebab ia tidak memahami makna izin.

Ibnu Sya’ban mengatakan, “Hal itu perlu dikatakan kepadanya sebanyak tiga kali, ‘Jika engkau setuju, maka diamlah, dan jika tidak setuju maka bicaralah.'”

Hukum Menikahkan Anak Perempuan Yatim

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar pernah menikahkan anak perempuan pamannya, Utsman bin Madz’un. Ibnu Umar menceritakan, tetapi ibunya justru berangkat menemui Nabi saw seraya berkata, “Sesungguhnya puteriku tidak menyukainya.” Maka Rasulullah saw menyuruh Ibnu Umar untuk menceraikannya seraya bersabda,

“Janganlah kalian menikahkan anak-anak yatim sehingga kalian memina pendapat dari mereka. Jika mereka diam, maka demikian itulah izin mereka.”

Maka, akhirnya ia dinikahi oleh Abdullah Mughirah bin Syu’bah.

Demikian hadits yang diriwayatkan Daruquthni dan al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.

Seorang anak perempuan yatim tidak boleh dinikahkan kecuali setelah ia mencapai usia balig dan harus memperoleh izin darinya.

Lalu para ulama berbeda pendapat tentang wasiat seseorang yang memesankan agar anak perempuannya dinikahkan, apakah anak perempuan tersebut harus dinikahkan?

Berkenaan dengan hal itu, mayoritas mereka berpendapat, bahwa seseorang tidak mempunyai kekuasaan untuk menikahkannya meski telah diserahkan wasiat kepadanya.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 68 – 77.