Hukum Nikah Tanpa Wali
Banyak dalil yang menyebutkan bahwa wanita itu tidak boleh melaksanakan akad pernikahan untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Tetapi ia harus dinikahkan oleh walinya atau dengan menghadirkan seorang wali yang mewakilinya. Jika ada seorang wanita yang melaksanakan akad nikah sendiri (tanpa wali), maka akad nikahnya batal. Demikianlah yang dikatakan oleh mayoritas ahli fiqih.
Diriwayatkan dari Abu Musa, dari Nabi saw, beliau bersabda,
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali.“
Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Tirmidzi, Baihaqi dan perawi lainnya. Dan hadits tersebut shahih dengan banyaknya jalan dan syahidnya.
Para sahabat Nabi saw dan orang-orang setelah mereka mengamalkan hadits beliau ini, “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali.” Demikianlah pendapat Umar, Ali, Abdullah, Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan lain-lain. Dan demikian pula yang dikemukakan oleh Sa’id bin Musayyab, Hasan al-Bashri, Syurah, Ibrahim an-Nakha’i, Qatadah, Umar bin Abdul Aziz, dan lain-lainnya. Pendapat itu pula yang dipegang oleh Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Syafi’i, Ahmad dan Ishak.
Para penganut madzhab Hanafi membolehkan wanita menikahkan dirinya sendiri. Dalam hal itu mereka menggunakan dalil dengan mengqiyaskan akad nikah kepada akad jual beli. Sesungguhnya wanita itu mempunyai kemandirian dalam melakukannya.
Hadits Rasulullah di atas tidak dapat dipertentangkan dengan hadits Rasulullah saw berikut ini,
“Seorang janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai pendapat.“
Demikian juga dengan hadits yang ini,
“Tidak ada kekuasaan bagi wali terhadap seorang janda, dan anak yatim itu harus diajak bermusyawarah.“
Karena, yang dimaksud dengan kebebasan di atas adalah bahwa ia lebih berhak atas dirinya dalam menentukan orang yang dipilihnya sebagai calon suami jika ia seorang janda. Sedangkan seorang gadis akan merasa malu untuk menentukan orang yang dikehendakinya, sehingga diharuskan meminta izin darinya. Dan hadits itu tidak berarti bahwa seorang janda boleh menikahkan dirinya sendiri atau mewakilkan orang lain yang mau menikahkan dirinya sendiri atau mewakilkan orang lain yang mau menikahkannya, padahal walinya masih ada. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tidak benar pendapat Zhahiriyah yang mensyaratkan wali hanya pada wanita yang masih gadis dan tidak pada janda.
Rasulullah saw bersabda,
“Jika mereka (para wali) bertengkar, maka hakim adalah wali bagi orang (yang tidak mempunyai wali).“
Hadits di atas menunjukkan kepada dua hukum, yaitu:
Pertama: Pertengkaran di antara para wali membatalkan perwalian mereka dan menjadikan mereka seperti tidak ada.
Kedua: Jika mereka tidak ada, maka perwalian itu diserahkan kepada hakim.
Hukum Orang Kafir Menikahkan Wanita Muslimah atau Sebaliknya
Seorang kafir sama sekali tidak diperbolehkan menikahkan wanita muslimah, dan tidak pula seorang muslim boleh menikahkan wanita kafir, kecuali jika muslim itu seorang hakim atau tuan dari seorang budak wanita. Sedangkan orang kafir sama sekali tidak mempunyai hak perwalian atas wanita muslimah. Demikian menurut kesepakatan para ulama, di antaranya adalah Imam Malik, Syafi’i, Abu Ubaid, Ahmad dan para penganut madzhab Hanafi.
Adapun orang muslim, maka ia tidak mempunyai hak perwalian atas wanita kafir kecuali jika ia seorang penguasa (hakim) atau majikan dari budak wanita kafir. Yang demikian itu berdasarkan firman Allah ta’ala pada surat al-Anfaal ayat 73.
Hukum Mewakilkan kepada Wanita dalam Akad Nikah
Seorang wanita tidak dapat menjadi wakil untuk menerima ijab maupun qabul dalam pernikahan.
Rasulullah saw bersabda,
“Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya, juga tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.” Al-Hafizh mengungkapkan, “Rijal hadits ini tsiqat.”
Menikahi Wanita yang Laki-laki Tersebut adalah Walinya Sendiri
Jika seorang laki-laki hendak menikahi wanita, padahal ia merupakan walinya, maka ia harus menyerahkan semua urusan wanita itu kepada orang lain yang bisa menikahkannya dengan seizinnya. Kemudian, apakah boleh mewakili sendiri untuk dua pihak (pihak wanita & dan pihak pria) dalam pernikahan itu sekaligus?
Mengenai hal itu terdapat dua pendapat:
Pendapat Pertama: Ia boleh melakukan hal itu, berdasarkan riwayat Imam Bukhari, ia menceritakan, Abdurrahman bin Auf pernah berkata kepada Ummu Hakim binti Farith, “Apakah engkau menyerahkan urusanmu kepadaku?”
“Ya,” jawabnya. Lebih lanjut Bukhari mengatakan, “Sesungguhnya aku telah menikahimu.”
Jika hal itu diperbolehkan, maka timbul pertanyaan lagi, apakah laki-laki tersebut perlu menyebutkan ijab dan qabul, atau cukup baginya menyebutkan ijab saja?
Mengenai hal ini ada dua pendapat, yaitu pendapat yang mengharuskan ia mengucapkan ijab dan qabul, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa cukup baginya mengucapkan ijab saja.
Pendapat Kedua: Ia tidak boleh mewakili dua pihak sekaligus, tetapi ia harus mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan dirinya dengan wanita tersebut dengan izinnya.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 77 – 88.