Larangan bagi Laki-laki Berkhulwah dengan Wanita yang Bukan Mahram
Dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah bersabda,
“Janganlah kalian masuk (ke tempat) wanita.“
Lalu salah seorang Anshar bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang al-hamwu (ipar)?”
Beliau menjawab, “Ipar itu maut (berkhulwah dengannya bagaikan bertemu dengan kematian).” (Muttafaqun Alaih).
Imam al-Baghawi mengemukakan, “Yang dimaksud dengan sabda beliau itu adalah, hindarilah ipar, sebagaimana engkau menghindari kematian.”
Mengenai Surah an-Nuur ayat 58, az-Zuhri mengungkapkan, “Para budak dan anak-anak yang belum pernah mimpi basah (belum balig) tetap harus meminta izin terlebih dahulu pada ketiga waktu tersebut. Dan jika seorang anak sudah mencapai usia balig maka mereka harus meminta izin terlebih dahulu pada setiap saat.
Perihal Kufu’ dalam Pernikahan
Telah terjadi perbedaan besar di antara para ahli fiqih mengenai masalah kufu’ dalam pernikahan.
Yang dimaksud dengan kufu’ adalah bahwa seorang laki-laki harus kufu’ (seimbang) dengan wanita, di mana wanita itu tidak dinikahi seorang laki-laki yang akan menyebabkan dirinya (wanita itu) atau keluarganya menjadi terhina menurut kebiasaan atau tradisi masyarakat.
Sedangkan laki-laki yang menikahi wanita yang tidak kufu’ dengannya maka hal itu tidak akan membahayakannya, karena seorang suami akan mengangkatnya ke posisi yang sederajat dengannya.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dalam sebuah riwayat bahwa kafa’ah (kufu) merupakan syarat sahnya nikah. Dan orang non-Arab yang akan menikah dengan orang Arab harus dipisahkan (diceraikan) antara keduanya. Demikian menurut pendapat Sufyan.
Dalam pendapat yang kedua, Imam Ahmad mengemukakan, bahwa kafa’ah itu meskipun diperlukan, tetapi ia bukan sebagai syarat sahnya. Pernikahan tetap sah tanpa adanya kafa’ah.
Dan yang terakhir ini merupakan pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Al-Mughni. Dan hal itu juga diriwayatkan dari Umar, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Ubaid bin Umair, Hamad bin Abi Sulaiman, Ibnu Sirin, Ibnu Aun, Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i.
Dalam sebuah hadits juga disebutkan,
Nabi saw pernah menyuruh Fatimah binti Qais menikahi Usamah bin Zaid, anak dari budak beliau. Lalu Usamah menikahi Fatimah atas perintah beliau.” (Muttafaqun Alaih).
Jadi, yang benar kafa’ah itu tidak disyaratkan dalam pernikahan. Riwayat yang menyebutkan masalah itu menunjukkan bahwa secara global, kafa’ah itu diperlukan, tetapi tidak dianggap sebagai syarat. Sehingga jika seorang wanita dan para walinya secara keseluruhan menyetujui pernikahan itu, maka pernikahan itu sah. Tetapi jika ada sebagian dari mereka yang tidak setuju, maka apakah akad nikah itu batal ataukah tetap sah? Mengenai hal tersebut terdapat dua riwayat dari Imama Ahmad dan dua pendapat dari Imam Syai’i:
Pertama, akad nikah itu batal, karena kafa’ah merupakan hak bagi mereka semuanya.
Kedua, akad nikah tersebut tetap sah. Hal itu berdasarkan dalil, bahwa pernah ada seorang wanita melapor kepada Nabi saw bahwa ayahnya telah menikahkan dirinya dengan laki-laki yang tidak sekufu’ dengannya. Lalu Nabi memberikan pilihan kepadanya dan tidak membatalkan pernikahan tersebut.
Dalam Apa Saja Kafa’ah itu?
Imam malik berpendapat, kafa’ah itu dalam agama saja. Imam Syafi’i juga mempunyai pendapat yang sama dengan Imam Malik.
Pendapat lain menyebutkan, bahwa kafa’ah itu dalam enam hal, yaitu: keturunan, agama, kebebasan, pekerjaan, usia dan terlepas dari empat aib, yakni: penyakit kusta, penyakit sopak, gila dan impoten.
Para ulama telah berbeda pendapat, dan yang kuat adalah pendapat Zaid bin Ali, Malik dan riwayat dari Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Sirin, Umar bin Abdul Aziz, dan hal itu merupakan salah satu pendapat an-Nashi, bahwa yang paling diutamakan adalah agama. Yang demikian itu berdasarkan firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 13.
Secara global dapat dikatakan, bahwa yang diutamakan adalah kafa’ah dalam agama dan akhlak, bukan dalam nasab. Rasulullah saw telah memberitahukan bahwa di kalangan umatnya tedapat empat hal yang merupakan perangai kaum Jahiliyah, yaitu: membanggakan keturunan, menghina nasab orang lain, meminta hujan dengan bintang dan meratap.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 56 – 68.