Bab Nikah 1

Keluarga Sakinah

Melihat Wanita yang Dilamar atau Sebaliknya

Telah diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah, ia bercerita, “Aku pernah melamar seorang wanita, lalu Nabi saw bertanya, ‘Apakah engkau telah melihatnya? ‘Tidak’ jawabku. Maka Rasulullah saw bersabda, ‘Lihatlah ia, karena yang demikian itu akan melanggengkan kasih sayang di antara kalian berdua.”

Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai bagian yang boleh dilihat dari wanita yang dilamar. Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang pelamar dibolehkan melihat wajahnya dan kedua telapak tangannya saja, karena bagian-bagian tersebut bukan termasuk aurat.

Al-Auza’i berpendapat, bahwa ia melihat bagian-bagian daging. Sedangkan Dawud azh-Zhahiri mengemukakan, “Ia dibolehkan melihat seluruh bagian tubuhnya.” Yang terakhir ini jelas ditolak karena bertentangan dengan sebuah ayat dalam surat an-Nuur.

Ibnu Qudamah mengemukakan, kami tidak mendapati adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai dibolehkannya laki-laki melihat wanita yang akan dinikahinya.

Diperbolehkan bagi si pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, baik dengan izinnya maupun tidak, karena Nabi saw telah memerintahkan hal itu secara global. Dalam hadits Jabir disebutkan, “Aku secara sembunyi-sembunyi melihatnya.” Sedangkan dalam hadits Syu’bah disebutkan: bahwa ia meminta izin terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya untuk melihat wanita yang akan dinikahi tersebut, tetapi keduanya menolak memberikan izin, tetapi wanita itu sendiri yang mengizinkannya. Demikian yang diriwayatkan Sa’id.

Sedangkan mengenai bagian-bagian yang biasa tampak selain wajah , misalnya kedua telapak tangan dan kaki serta yang semisalnya yang biasa tampak pada wanita di rumahnya, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, tidak diperbolehkan melihatnya, karena hal itu merupakan aurat. Bagian-bagian tersebut tidak boleh dilihat sebagaimana bagian-bagian yang tidak tampak. Abdullah bin Mas’ud pernah meriwayatkan, bahwa Nabi saw pernah bersabda,

“Wanita itu adalah aurat.”

Kedua, dibolehkan baginya melihat bagian-bagian tersebut. Imam Ahmad mengatakan, “Dibolehkannya baginya melihatnya dan bagian-bagian yang diperlukan untuk menikahinya, seperti tangan, badan dan lain-lain.”

Dibolehkannya melihat bagian-bagian yang biasa terlihat itu didasarkan bahwa ketika Nabi saw memberikan izin kepada kaum laki-laki melihat wanita yang dilamarnya tanpa sepengetahuan dirinya (wanita yang dilamar), beliau mengetahui bahwa beliau memberi izin untuk melihat kepada apa yang biasa terlihat. Karena tidak mungkin melihat bagian wajah saja dengan adanya bagian lain yang tampak. Dan karena bagian tersebut biasa terlihat, misalnya, bagian wajah, sehingga hal itu diperbolehkan untuk dilihat. Selain itu, karena ia adalah seorang wanita yang diboleh dilihat menurut ketentuan syariat, maka dibolehkan sebagian dari tubuhnya untuk dilihat, sebagaimana wanita yang mahram.

Sa’id telah meriwayatkan dari Sufyan, dari Amir bin Dinar, dari Abu Ja’far, ia bercerita, Umar bin Khaththab pernah melamar anak perempuan Ali. Kemudian Ali berkata, “Akan kami kirim utusan untuk membawanya kepadamu sehingga engkau dapat melihatnya dan meridhainya.” Lalu tersingkap bagian kedua betisnya, sehingga puterinya itu berkata, “Kalau bukan karena engkau seorang amirul mukminin, niscaya aku akan memukul kedua matamu.” Demikian yang diriwayatkan Abdurrazak dan Sa’id bin Mansur.

Bagian-bagian yang Boleh Dilihat dari Wanita Mahram

Diperbolehkan bagi seorang laki-laki melihat wanita mahramnya pada bagian-bagian yang biasa tampak, misalnya leher, kepala, telapak tangan, kedua kaki dan lain-lain yang semisalnya. Dan tidak diperbolehkan baginya melihat bagian-bagian yang tidak bisa tampak darinya, misalnya dada, punggung dan lain-lain.

Yang demikian itu didasarkan pada firman-Nya surat an-Nuur ayat 31.

Penjelasan Tentang Aurat

Dari Abdurrahman bin Abi Sa’id al-Khudri, dari ayahnya, dari Rasulullah saw, beliau bersabda,

“Tidak diperbolehkan laki-laki melihat aurat laki-laki, dan tidak pula perempuan melihat aurat perempuan. Dan tidak pula diperbolehkan bagi seorang laki-laki bergumul dengan laki-laki lain dalam satu selimut. Dan seorang perempuan tidak boleh bergumul dengan perempuan lain dalam satu selimut.” (HR. Muslim).

Imam al-Baghawi mengatakan, “Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki melihat aurat orang laki-laki. Dan aurat orang laki-laki itu adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut. Demikian halnya wanita dengan lainnya. Dan diperbolehkan melihat seluruh bagian badan jika tidak dikhawatirkan adanya fitnah atau bangkitnya nafsu syahwat.”

Dianjurkan bagi anak-anak yang sudah mencapai usia sepuluh tahun untuk dipisahkan tempat tidurnya.

Rasululah saw berdabda,

“Perintahkan anak-anak kalian mengerjakan shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah mereka pada usia sepuluh tahun jika meninggalkannya. Pisahkanlah mereka dalam tempat tidur.”

Sedangkan bagi laki-laki, seluruh tubuh wanita ajnabi yang merdeka adalah aurat, sehingga tidak diperbolehkan baginya melihat sedikitpun dari tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan sampai pergelangan. Hal itu berdasarkan firman Allah surat an-Nuur ayat 31.

Mengenai firman Allah swt, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak darinya,” penulis kitab al-Kasysyaf mengemukakan, “Yang dimaksud perhiasan adalah segala sesuatu yang dipergunakan wanita sebagai perhiasan, seperti celak dan pacar, dan apa yang biasa tampak darinya adalah cincin, celak dan pacar maka semuanya itu boleh diperlihatkan bagi orang asing. Sedangkan hal-hal yang biasa tersembunyi, misalnya gelang tangan, gelang kaki, anting, dan sebagainya, maka semuanya itu tidak boleh diperlihatkan kepada orang-orang yang bukan mahramnya.

Wanita juga boleh memperlihatkan perhiasan (anggota badannya) kepada ajnabi jika hal itu diperlukan pada saat berobat dan jual beli.

Menurut sebagian ahli fiqih, dalam hal memandang laki-laki ajnabi, kaum wanita berkedudukan sama seperti seorang laki-laki terhadap wanita ajnabi. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwa ia dan Maimunah pernah berada di sisi Rasulullah saw, tiba-tiba datang Ibnu Ummi Maktum, lalu ia masuk ke tempat mereka berdua, dan hal itu terjadi setelah turun perintah hijab kepada kaum wanita, maka Rasulullah saw bersabda, “Berhijablah kalian berdua darinya.” Lalu kutanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, bukankah ia seorang yang buta dan tidak melihat kita?” Beliau menjawab, “Apakah kalian juga buta, bukankah kalian dapat melihatnya?”

Dimakruhkan bagi seorang laki-laki membuka auratnya bukan untuk suatu keperluan meskipun ia sedang sendirian. Rasulullah saw bersabda,

“Allah, (dimana seseorang) lebih berhak untuk merasa malu kepada-Nya.

Demikian yang diriwayatkan Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi. Haidits tersebut dihasankan oleh Imam Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Hakim.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 43 – 55.

Baca Juga