Seorang wanita beranjak dari Muzdalifah di akhir malam dan mewakilkan kepada anaknya untuk melepar Jumrah padahal dia mampu, bagaimana hukumnya?
Jawaban:
Melempar Jumrah termasuk manasik haji, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkannya dan melakukannya sendiri. Beliau bersabda, “Sesungguhnya thawaf itu dilaksanakan di Ka’bah antara bukit Shafa danMarwah sedangkan melempar Jumrah dilakukan untuk mengingat Allah.”(Op.cit) Maka melempar Jumrah adalah ibadah yang dengannya manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya. Melempar Jumrah disebut ibadah karena manusia ketika melemparkan kerikil-kerikil di tempat itu, dalam rangka untuk menyembah Allah dan mengingat-Nya. Tindakan itu dilakukan hanya untuk menyembah Allah, maka dari itu ketika seseorang melempar Jumrah, dia harus khusu’ dan tunduk kepada Allah. Jika dia dihadapkan pada dua pilihan antara segera melempar Jumrah di awal waktu atau melemparnya di akhir waktu; jika dia mengakhirkannya akan dapat melempar dengan tumakninah, khusu’ dan hatinya hadir, maka mengakhirkannya lebih baik, karena keutamaan dalam melempar Jumrah ini, berkaitan dengan ibadah itu sendiri, bukan berkaitan dengan waktu. Sesuatu yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri lebih didahulukan daripada sesuatu yang berkaitan dengan waktu atau tempat ibadah. Maka dari itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:”Tidak sah orang yang sedang menahan lapar atau menahan buang dua air(kotoran)”.(Op.cit)
Dengan demikian, seseorang yang sedang menahan buang air atau menahan syahwat yang kuat untuk makan, sebaiknya mengakhirkan shalatnya dari awal waktunya. Begitu juga jika ada dua pilihan antara melempar Jumrah pada awal waktu tetapi harus berdesak-desakan dan harus berusaha keras untuk bisa bertahan hidup, dengan mengakhirkannya hingga di akhir waktu walaupun hingga di waktu malam tetapi bisa melakukannya dengan tenang dan hati yang hadir, maka mengakhirkannya lebih baik. Maka dari itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan keringanan kepada keluarganya yang lemah untuk mengakhirkan pulang dari Muzdalifha di akhir malam, sehingga mereka tidak berdesakdesakan yang biasanya terjadi jika orang-orang datang setelah matahari terbit.
Jika jelas seperti ini masalahnya, maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mewakilkan kepada orang lain dalam melempar Jumrah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.” Tidak ada perbedaan di sini antara laki-laki dna perempuan. Jika telah jelas pula masalahnya dan bahwa melempar Jumrah termasuk ibadah dan tidak diperkenankan bagi laki-laki atau perempuan yang mampu untuk mewakilkan di dalamya, maka dia wajib melempar Jumrah sendiri, kecuali orang laki-laki atau perempuan yang sakit atau hamil yang mengkhawatirkan kehamilannya, maka mereka boleh mewakilkannya.
Adapun masalah yang terjadi pada wanita yang diceritakan penanya, bahwa wanita itu tidak melempar Jumrah sendiri padahal dia mampu, maka untuk berjaga-jaga, dia harus menyembelih hewan kurban di Makkah dan membagikan dagingnya kepada orang-orang fakir, karena telah meninggalkan kewajiban tersebut.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fataawaa Arkaanil Islam, atau Tuntunan Tanya-Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, Haji: Fataawaa Arkaanil Islam, terj. Muniril Abidin, M.Ag (Darul Falah, 2005), hlm. 583-584.