Ayat 222, yaitu firman Allah ta’ala,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah: 222)
Sebab Turunnya Ayat
Imam Muslim dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bahwa orang-orang Yahudi, ketika istri mereka haid, mereka tidak memberinya makan dan tidak menggaulinya di rumah. Maka para sahabat Nabi saw. menanyakan tentang hal itu kepada beliau, lalu turunlah firman Allah,
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid…”
Maka Rasulullah bersabda,
“Lakukanlah apa saja terhadapnya, kecuali jima’.”
Al-Barudi meriwayatkan dalam kitab ash-Shahaabah dari jalur Ibnu Ishaq, dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id, dari Ibnu Abbas bahwa Tsabit ibnud-Dahdah bertanya kepada Nabi saw.. Lalu turunlah firman Allah ta’ala,
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid…”
Ayat 223, yaitu firman Allah ta’ala,
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah: 223)
Sebab Turunnya Ayat
Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Jabir, dia berkata, “Orang-orang Yahudi berkata bahwa jika seseorang menggauli istrinya dari arah belakang, maka anaknya akan bermata juling.”
Maka turunlah firman Allah, “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…”
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Pada suatu hari, Umar mendatangi Rasulullah lalu berkata, ‘Celaka saya wahai Rasulullah!’ Rasulullah pun bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ Umar berkata, ‘Semalam saya menggauli istri saya dari arah belakang.’ Namun Rasulullah tidak menjawab. Lalu Allah menurunkan ayat, ‘Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai….’
Rasulullah bersabda,
‘Gaulilah istrimu dari arah depan atau dari arah belakang, dan hindari menjima’ istri pada duburnya dan ketika dia sedang haid.””
Ibnu Jarir, Abu Ya’la dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari jalur Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yassar dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa seseorang menjima’ istrinya dari arah belakang. Maka, orang-orang pun menyalahkan karena hal itu. Lalu turunlah firman Allah swt.,
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…”
Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata, “Ayat ini turun pada masalah menjima’ istri dari arah belakang.”
Ath-Thabrani meriwayatkan di dalam al-Mu’jamul-Ausaath dengan sanad yang jayyid dari Ibnu Umar, dia berkata, “Ayat, ‘Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai,” turun pada Rasulullah sebagai keringanan untuk menjima’ istri dar iarah belakang.”
Ath-Thabrani juga meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa pada zaman Rasulullah, ada seorang lelaki yang menjima’ istrinya dari arah belakang. Orang-orang pun mencela hal itu. Maka Allah menurunkan firman-Nya,
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…”
Abu Dawud dan al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Sesungguhnya bukan yang dikatakan Ibnu Umar -semoga Allah mengampuninya dan para sahabat lainnya- (tentang sebab turunnya ayat ini). Akan tetapi dulu orang-orang Anshar, penduduk perkampungan ini, adalah penyembah berhala. Mereka hidup berdampingan dengan perkampungan orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi itu merasa mempunyai keutamaan ilmu melebihi orang-orang Anshar. Dan, orang-orang Anshar banyak meniru kebiasaan orang-orang Yahudi tersebut.
Di antara kebiasan orang-orang Yahudi atau para Ahli Kitab tersebut adalah menjima’ istrinya dari arah samping, dan dengan itu si wanita lebih tertutupi. Orang-orang Anshar pun banyak yang menirunya. Sedangkan orang-orang Quraisy menjima’ istri mereka dalam keadaan terlentang. Ketika orang-orang Muhajirin datang ke Madinah, salah seorang dari mereka menikahi seorang wanita dari Anshar. Lalu dia menjimanya seperti cara orang-orang Quraisy ketika menjima’ istrinya. Sang istri pun menyalahkannya, dan dia berkata, –‘Kami hanya dijima’ dari samping.’ Lalu mereka mendiamkan masalah itu. Namun kemudian Rasulullah mendengar hal itu. Maka turunlah firman Allah ta’ala,
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…”
Maksudnya, gaulilah istrimu baik dari arah depan, dari arah belakang, ataupun dengan keadaan terlentang, selama pada kemaluannya.
Al-Hafidz Ibnu Hajjar dalam syarah Shahih Bukhari berkata, “Sebab turunnya ayat yang disebutkan oleh Ibnu Umar itu terkenal. Dan seakan-akan hadits tentang sebab turunnya ayat ini yang diriwayatkan dari Abu Sa’id tidak sampai kepada Ibnu Abbas. Sedangkan yang sampai kepadanya adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, maka dia pun menyalahkan Ibnu Umar tentang sebab turunnya ayat itu.”
Ayat 224, yaitu firman Allah ta’ala,
“Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia . Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 224)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Jarir meriwayatkan dari jalur Ibnu Juraij, dia berkata, “Saya diberitahu bahwa firman Allah,” ‘Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan,…” turun pada Abu Bakar, berkaitan dengan sumpahnya terhadap Misthah.”
Ayat 228, yaitu firman Allah ta’ala,
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Baqarah: 228)
Sebab Turunnya Ayat
Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Asma binti Yazid ibnus-Sakan al-Anshariyyah, dia berkata, “Saya dicerai pada zaman Rasulullah dan ketika itu belum ditetapkan iddah untuk para wanita yang dicerai. Maka Allah menurunkan iddah untuk wanita-wanita yang dicerai, yaitu firman-Nya,
‘Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’.’ (36)
Ats-Tsa’labi, Hibbatullah bin Salamah dalam kitab an-Naashikh dan Muqatil meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah, Isma’il bin Abdullah al-Ghifari mencerai istrinya, Qatilah, dan dia tidak tahu bahwa istrinya sedang hamil. Kemudian setelah beberapa waktu dia baru tahu bahwa istrinya sedang hamil, maka dia pun merujuknya kembali. Lalu istrinya tersebut melahirkan, namun anaknya meninggal dunia. Maka turunlah firman Allah,
‘Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’.‘
36. HR. Abu Dawud dalam Kitabuth Thalaq, No. 2281.
Sumber: Diadaptasi dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Gema Insani), hlm. 92 – 97.