Setelah komunisme dianggap runtuh, diskusi-diskusi tentang ‘ancaman Islam’ atau ‘bahaya Islam’ bermunculan di media massa. Para ilmuwan Barat sendiri berdebat keras tentang wacana ini. Pada awal dekade 1990-an seorang ilmuwan politik dari Harvard, Samuel P. Huntington, menjadi sangat terkenal dengan memopulerkan wacana “The Clash of Civilizatioan” (Benturan Antarperadaban). Melalui bukunya, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996), Huntington mengarahkan Barat untuk memberikan perhatian khusus kepada Islam. Menurutnya, di antara berbagai peradaban besar yang masih eksis hingga kini hanyalah Islam yang berpotensi besar menggoncang peradaban Barat, sebagaimana dibuktikan dalam sejarah.
Tahun 1996, Perdana Menteri Turki Necmettin Erbakan dalam makalahnya untuk konferensi International Institute for Technology and Human Resource Development (IIFTIHAR) di Jakarta mengajukan tema “Dialog Peradaban” (Dialogue among Civilizations) ketimbang “Clash among Civilizations”. Tetapi, gagasan alternatif yang juga dikembangkan oleh pemimpin dunia Islam lainnya, seperti Anwar Ibrahim dan B.J. Habibie ini kemudian memudar menyusul terjadinya peristiwa WTC 11 September 2001. Lalu, menyusul kemudian serangan AS ke Afghanistan dan Irak. Proyek besar-besaran AS untuk menjadikan agenda ‘perang melawan terorisme’ sebagai agenda utama dalam politik internasional terbukti kemudian lebih diarahkan untuk mengejar apa yang mereka sebut sebagai “teroris Islam”, yang mereka nilai membahayakan kepentingan Barat, dan AS khususnya. Perkembangan politik internasional kemudian seperti bergerak menuju tesis benturan peradaban yang dipopulerkan oleh Huntington. Dunia diseret untuk terbelah menjadi dua kutub utama: Barat dan Islam. Barat dicitrakan sebagai pemburu teroris, sedangkan Islam adalah teroris atau yang proteroris. Mengapa bisa demikian?
Seperti dikatakan Huntington, harus dibedakan antara Islam militan dengan Islam secara umum. Islam militan adalah ancaman nyata terhadap Barat. Ia mengatakan, “… tetapi Islam militan merupakan ancaman nyata bagi Barat melalui para teroris dan negara-negara bajingan (rouge state) yang sedang berusaha mengembangkan persenjataan nuklir, serta cara-cara lainnya.” Dalam tulisannya di majalah Newsweek Special Davos Edition (2001) yang berjudul “The Age of Muslim Wars”, Huntington mencatat: “Terjadinya kemungkinan ‘benturan peradaban’ kini telah hadir.” Ia juga menegaskan, “Politik global masa kini adalah zaman perang terhadap Muslim.” Tulisan Huntington di Newsweek itu meneguhkan kembali tesis lamanya (Clash of Civilizations). Ia menekankan bahwa konflik antara Islam dan Kristen–baik Kristen Ortodoks maupun Kristen Barat–adalah konflik yang sebenarnya. Adapun konflik antara Kapitalis dan Marxis hanyalah konflik yang sesaat dan bersifat dangkal. (Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order [New Tork: Touchtone Books, 1996], hlm. 209).
Dalam dialog dengan Anthony Giddens, Huntington menyebut data dari majalah The Economist, yang memaparkan bahwa dari 32 konflik besar yang terjadi pada tahun 2000, lebih dari dua pertiganya adalah konflik antara Muslim dengan non-Muslim. Karena itu, kata Huntington, Eropa dan Amerika perlu menerapkan strategi bersama untuk menghadapi ancaman-ancaman terhadap masyarakat dan keamanan mereka dari militan Islam. Ia menekankan perlunya dilakukan preemtive-strike (serangan dini) terhadap ancaman dari kaum militan Islam itu. Kata Huntington, “Saya perlu menambahkan bahwa satu strategi yang memungkinkan dilakukannya serangan dini terhadap ancaman serius dan mendesak adalah sangat penting bagi AS dan kekuatan-kekuatan Barat pada saat ini. Musuh kita yang utama adalah Islam militan.”
Nasihat Huntington itu terbukti efektif, dan telah diaplikasikan oleh pemerintah AS. Pada awal Juni 2002, doktrim preemtive strike (serangan dini) dan defensive intervention (interfensi defensif) secara resmi diumumkan. Harian Kompas (14 Juni 2002) menulis tajuk rencana berjudul “AS Kembangkan Doktrin Ofensif, Implikasinya Luas”. Melalui doktrin ofensifnya yang baru ini, AS telah mengubah secara radikal pola “peperangan” melawan “musuh”. Sebelumnya, pada masa Perang Dingin saat menghadapi komunis, AS menggunakan pola penangkalan (containtment) dan penangkisan (deterrence). Kini menghadapi musuh baru–yang diberi nama teroris–AS menggunakan pola serangan dini dan intervensi defensif, dengan cara membabat dulu semua negara yang dianggap berpotensi membela dan melindungi teroris, urusan hukum internasional belakangan.
Dengan doktrin kemanan yang baru itu, AS akan merasa leluasa menyerang orang atau organisasi yang dipersepsikan sebagai teroris, atau negara yang dipersepsikan sebagai musuh yang memiliki senjata berbahaya, seperti senjata kimia, biologis, atau nuklir. Dalam bahasa yang lugas, doktrin ‘serangan dini’ ini ibarat membunuh tikus di lubangnya. Jadi, tidak membiarkan dan memberi kesempatan tikus untuk berkembang dan menyerang.
Dari kasus doktrin serangan dini ini tampak bagaimana pola pikir ‘bahaya Islam’ yang dikembangkan ilmuwan (sekaligus penasihat politik Barat) seperti Huntington berjalan cukup efektif. Dengan doktrin itu, AS dapat melakukan berbagai serangan ke sasaran langsung, yang dikehendaki, meskipun tanpa melalui persetujuan atau mandat PBB. Pola pikir Huntington, bahwa Islam lebih berbahaya daripada komunis juga tampak mewarnai kebijakan politik dan militer AS. Padahal, jika dipikirkan dengan serius, manakah yang lebih hebat kekuatannya, apakah Osama bin Laden atau Unisovyet? Mengapa untuk menghadapi negara adidaya Unisovyet yang memiliki kekuatan persenjataan hebat hanya menggunkan kebijakan ‘containtment’ dan ‘deterrence’, sedangkan untuk menghadapi militan Islam AS harus menggunakan strategi ‘preemtive strike’? Bahkan, saat perang melawan Unisovyet dan sekutu-sekutunya, AS hanya menggunakan istilah “Perang Dingin” (Cold War). Tetapi, menghadapi ‘Islam militan’ yang tidak memiliki persenjataan dan negara seperti Unisovyet, AS menggunakan istilah “perang” (war), tanpa embel-embel “dingin”.
Di sini tampak bahwa ancaman Islam secara fisik telah dimitoskan oleh para ilmuwan garis keras, seperti Huntington, sehingga gejala paranoid terhadap Islam dan kaum Mulimin tampak dalam berabagai kebijakan negara-negara Barat. Sikap islamofobia merebak dengan mudah di kalangan masyarakat Barat. Pasca peristiwa 11 September 2001, gejala ini makin menjadi-jadi. Masalahnya bukan terletak pada aspek kajian ilmiah yang jujur dan adil, tetapi kajian dan analisis yang memunculkan “Islam militan sebagai musuh utama Barat” dimanfaatkan untuk memberikan legitimasi berbagai kebijakan politik dan militer AS dan negara-negara Barat lainnya. Ujung-ujungnya adalah mengejar kepentingan-kepentingan politik, bisnis, ekonomi, dengan menggunakan jargon-jargon demokrasi, liberalisasi, dan Hak Asasi Manusia.
Dalam bukunya The Clash of Civilizatioan, Huntington menguraikan beberapa faktor yang telah dan akan meningkatkan panasnya konflik antara Islam dan Barat. Di antaranya ialah sebagai berikut. Pertama, pertumbuhan penduduk Muslim yang cepat telah memunculkan pengangguran dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan kaum muda Muslim. Kedua, kebangkitan Islam (Islamic resurgence) telah memberikan keyakinan baru kepadakaum Muslim akan keistimewaan dan ketinggian nilai dan peradaban Islam dibanging nilai dan peradaban Barat. Ketiga, secara bersamaan, Barat berusaha mengglobalkan nilai dan institusinya, untuk menjaga superioritas militer dan ekonominya, dan turut campur dalam konflik di dunia Muslim. Hal ini telah memicu kemarahan di antara kaum Muslim. Keempat, runtuhnya komunisme telah menggeser musuh bersama di antara Islam dan Barat, dan keduanya merasa sebagai ancaman utama bagi yang lain. Kelima, meningkatnya interaksi antara Muslim dan Barat telah mendorong perasaan baru pada tiap-tiap pihak akan identitas mereka sendiri, dan bahwa mereka berbeda dengan yang lain. (Huntington, The Clash of Civilization, hlm. 211-212).
Langgengnya konflik antara Islam dan Barat, lanjut Huntington, disebabkan adanya perbedaan hakikat dari Islam dan Barat serta peradaban yang dibangun atas dasar keduanya. Di satu sisi, konflik antara Islam dan Barat merupakan produk dari perbedaan, terutama konsep Muslim yang memandang Islam sebagai way of life, yang menyatukan agama dan politik. Ini bertentangan dengan konsep Kristen tentang pemisahan kekuasaan Tuhan dan kekuasaan raja (sekularisme). Di sisi lain, konflik itu juga merupakan produk dari persamaan. Keduanya merasa sebagai agama yang benar. Keduanya sama-sama agama misionaris yang mewajibkan pengikutnya untuk mengajak “orang kafir” agar mengikuti ajaran yang dianutnya. Islam disebarkan dengan penaklukan-penaklukan wilayah dan Kristen pun juga demikian; keduanya juga mempunyai konsep “jihad” dan “crusade” sebagai perang suci. (Huntington, The Clash of Civilization, hlm. 210-211).
Dengan cara pandang Huntington seperti itu, bisa dipahami bagaimana sensitifnya Barat dalam melihat perkembangan dunia Islam, dalam berbagai bidang. Sikap Barat yang begitu sengit terhadap program nuklir dan senjata-senjata berat di dunia Islam, dibandingkan dengan isu nuklir di negara Yahudi atau komunis, menunjukkan sensitivitas yang sangat tinggi terhadap dunia Islam.
Skenario Neo-Konservatif
Huntington, Bernard Lewis, dan kawan-kawannya dari kalangan ilmuwan noe-konservetif terus berkampanye agar negara-negara Barat lain juga mengikuti jejak AS dalam memperlakukan Islam sebagai alternatif musuh utama Barat, setelah komunis. John Vinocur dalam artikelnya berjudul “Trying to put Islam on Europe’s Agenda” (International Herald Tribune, 21 September 2004) mencatat, “… Tetapi Huntington mendesak situasi berhadap-hadapan antara Eropadan Islam menjadi lebih parah.” Skenario inilah yang dirancang kelompok “neo-konservatif” di AS, yang beranggotakan Yahudi-Zionis, Kristen fundamentalis, dan ilmuwan neo-orientalis.
Tentang peran kelompok neo-konservatif dalam perumusan kebijakan luar negeri AS dapat dilihat pada buku The High Priests of War karya Michel Colin Piper (Washington DC: American Free Press, 2004). Piper menyebutkan, belum pernah dalam sejarah AS terjadi dominasipolitik yang begitu besar dan mencolok oleh ‘tokoht-tokoh pro-Israel’ seperti di masa Presiden George W. Bush. Sebagian besar anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini adalah memaksakan serangan AS atas Irak, meskipun sebagian elit militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri semula menentangnya. Piper membahas peran kelompok garis keras Zionis di AS dengan menguraikan satu persatu latar belakang dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam konspirasi neokonservatif ini, seperti Richard Perle, William Kristol, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Rupert Murdoch, juga ilmuwan dan kolumnis terkenal, seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer, dan tokoh-tokoh Kristen fundamentalis, seperti Jerry Falwell, Pat Roberston, dan Tim LaHaye. Cengkeraman atau pembajakan kelompok neo-kon terhadap politik AS sebenarnya meresahkan banyak umat manusia. Mereka berusaha memaksa peradaban dunia ke sebuah “Perang Global” melawan Islam.
Irak adalah kasus penting. Pada 24 Oktober 2002–beberapa bulan sebelum serbuan AS ke Irak–Michael Kinsley, seorang penulis Yahudi liberal mengibaratkan besarnya pengaruh Israel dalam rencana serangan AS terhadap Irak sebagai “gajah dalam ruangan”. “Setiap orang melihatnya (pengaruh Israel), tetapi tidak seorang pun menyebutkannya.” (Michel Colin Piper, The High Priests of War [Woshington DC: American Free Press, 2004], hlm. 1). Kinsley tidaklah berlebihan. Para penulis terkenal seperti Paul Findley, Noam Chomsky, sudah berkali-kali mengingatkan bahaya dominannya lobi Yahudi bagi masa depan AS.
Kini, sosok “gajah dalam ruangan” itu diperjelas lagi oleh Michel Colin Piper, dalam bukunya, The High Priests of War. Piper menulis, perang terhadap Irak secara sistematis dirancang oleh sekelompok kecil orang kuat dan memiliki jaringan dengan elemen-elemen Zionis sayap kanan. “Di tingkat atas pemerintahan Bush didampingi dan didukung secara terampil oleh orang-orang berpikiran sama di organisasi-organisasi kebijakan publik, kelompok pemikir, penerbitan, serta lembaga lainnya, yang satu sama lain saling berhubungan kuat, dan sebaliknya juga terkait dengan kekuatan-kekuatan ‘likudnik’ (partai Likud pimpinan Ariel Sharon) garis keras di Israel.” (Michel Colin Piper, The High Priests of War [Woshington DC: American Free Press, 2004], bagian pengantar).
Apa yang ditulis oleh Piper kemudian seperti menjadi kenyataan. Itu bisa dilihat dengan apa yang kemudian dilakukan oleh AS terhadap Suriah, Iran, dan sebagainya. Sebelumnya, tahun 1994, piper sudah menggegerkan AS dengan bukunya, Final Judgement, yang membongkar peran agen rahasia Israel, Mossad, dalam pembunuhan John F. Kennedy. Menjelang serangan AS atas Irak, ketika itu, Piper sudah mengingatkan bahwa serangan atas Irak dilakukan atas pengaruh lobi Israel, dalam kerangka mewujudkan impian kaum Zionis untuk membentuk “Israel Raya” (Greater Israel/Eretz Yisrael). “Presiden Bush nampaknya dikendalikan oleh fundamentalisme Kristen dan pengaruh kuat lobi Yahudi,” kata Piper. (Michel Colin Piper, The High Priests of War [Woshington DC: American Free Press, 2004], hlm. 121).
Sumber: Diringkas dari Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Adian Husaini (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 131-147.
Oleh: Abu Annisa