Perselingkuhan Zionisme dengan Imperialisme Barat

Salah satu masalah pelik yang dihadapi dunia internasional saat ini adalah masalah Palestina dan Israel. Mahathir Muhammad, mantan perdana menteri Malaysia, pernah menyatakan bahwa Palestina adalah kunci peradaban dunia. Negara Israel saat ini adalah buah dari perjuangan idiologi yang disebut sebagai “Zionisme”. Sukses Zionisme adalah buah persekutuan–lebih tepat disebut sebagai perselingkuhan antara kaum Zionisme Yahudi dengan imperialisme Barat.

Zionisme bisa dikatakan satu idiologi sekular yang sangat dramatis dan sukses mencapai tujuannya pada abad ke-20. Berangkat dari rumusan sederhana terhadap kondisi riil fenomena “anti-semitism” (lebih tepat: Anti-Jews) di Eropa. Idiologi ini disusun dengan sasaran jelas: membentuk sebuah negara Yahudi. Dalam tempo 50 tahun sejak Kongres Zionis pertama, tahun 1897, negara Yahudi–yang diberi nama Israel–itu berdiri pada 14 Mei 1948.

Dalam pandangan Yahudi, istilah Zionisme dinisbahkan kepada sebuah bukit bernama Zion di Jerusalem. Istilah itu kemudian identik dengan Jerusalem itu sendiri. Bagi Yahudi, istilah Zion memang mengandung makna religius, dan memiliki akar sejarah yang panjang. Di sinilah nanti terlihat bagaimana lihainya kaum Zionis yang sebenarnya sekular menggunakan istilah “Zionisme” untuk menamai gerakan mereka, sehingga mampu menarik banyak dukungan orang Yahudi.

Respon keagamaan di kalangan Yahudi terhadap Zionisme dan negara Israel memiliki banyak varian. Pertama, kelompok penentang keras Zionisme, seperti The Haredim Movement dan Naturei Karta. Kelompok Haredim memandang bahwa tanah Israel memang dijanjikan Tuhan untuk mereka. Tanah itu kemudian dicabut oleh Tuhan dari mereka karena ketidakpercayaan Yahudi sendiri terhadap perjanjian dengan Tuhan. Jika Yahudi menaati Taurat, kata mereka, maka Tuhan akan mengembalikan tanah itu kepada Yahudi. Adapun Naturei Karta memandang bahwa negara Israel adalah produk dari Zionisme tak bertuhan (godless Zionism). Naturei Karta adalah kelompok anti-Zionis, ultra-ortodoks, yang tidak mengakui negara Israel dan secara konsisten menentang negara Yahudi ini. Kelompok ini mendukung perjuangan Palestina dan menyerukan internasionalisasi Kota Jerusalem.

Kedua, kutub agama yang berlawanan dengan kelompok Haredim dan Naturei Karta, seperti Gush Emunim. Kelompok ini memberikan biaya kepada para pemukim Yahudi di Tepi Barat, setelah kemenangan Israel dalam perang tahun 1967. Mereka menyatakan bahwa mereka kembali ke area tertentu untuk mempromosikan kehidupan Yahudi. Menurut mereka, cara ini akan mempercepat kedatangan Sang Messiah.

Antara kedua kutub itu ada kelompok-kelompok Yahudi yang memberikan dukungan kepada negara Israel, tetapi tidak melihatnya dari sudut keagamaan. Pendirian negara Israel, menurut mereka, bukanlah tanda-tanda akan datangnya Sang Messiah. Namun, mereka mendukung pemukinan Yahudi dan menentang pengembalian wilayah itu kepada Palestina. Di antara kelompok tengah ini adalah apa yang disebut sebagai “mainstream rligious Zionists”. Salah satu tokohnya, Rabbi Meimon (1875-1962) menyatakan, “Negara Ibrani harus didirikan dan dijalankan sesuai prinsip agama Ibrani, yakni Torah Israel. Keyakinan kita sudah jelas: sejauh yang kita, para penduduk, memahaminya, agama dan negara saling membutuhkan satu sama lain.” (Pilkington, Judaism, hlm. 249-250). Kutub agama lain yang sangat keras dalam klaim keagamaan, misalnya, diwakili oleh kelompok Kach, bentukan Rabbi Meir Kahane. Kelompok ini sangat terkenal ketika salah seorang aktivisnya, Yigal Amir, membunuh Yitzak Rabin, pada 4 November 1995. (Yigal Amir adalah mahasiswa Universitas Bar Ilan dan aktivis kelompok sayap kanan Eyal, sebuah kelompok garis keras yang mengikuti ajaran Meir Kahane. “Saya bertindak sendiri atas perintah Tuhan, dan saya tidak menyesal,” ucap Amir, setelah menembak Rabin. Amir mewakili ekstremis Yahudi, yang menentang penyerahan wilayah Tepi Barat ke Palestina. Sesuai ajaran Rabbi Meir Kahane, Tepi Barat merupakan inti dari Eretz Israel yang sudah dijanjikan oleh Tuhan dan khusus diperuntukkan bagi bangsa Yahudi).

Pada kenyataannya istilah “Jewish State” memang menunjukkan negara Israel merupakan negara yang rasialis. Di antara cendekiawan Yahudi kemudian banyak yang menentang negara Israel. Misalnya, Dr. Israel Shahak. Karena sifat-sifat agresif dan diskriminatifnya, Israel Shahak mencatat: “Dalam pandangan saya, Israel sebagai negara Yahudi membawa bahaya tidak saja bagi dirinya sendiri dan bagi warganya, tetapi juga bagi semua bangsa dan negara lain, baik di Timur Tengah maupun di luarnya.” Shahak menyebut contoh, bagaimana sampai tahun 1993 partai Likud menyetujui usul Ariel Sharon agar Israel menentukan perbatasannya berdasarkan Bible. Padahal, bagi Zionis maksimalis, wilayah Israel Raya (Eretz Yizrael) itu meliputi: Palestina, Sinai, Jordan, Syria, Lebanon, dan sebagian Turki. Shahak juga menguraikan berbagai sikap diskriminatif Israel terhadap warga non-Yahudi. (Israel Shahak, Jewish History, Jewish Religion [1999:2], [London: Pluto Press, 1994], hlm. 2, 10).

Roger Friedland dan Richard Hect, dalam bukunya, To Rule Jerusalem, menyebutkan bahwa sejak awalnya Yahudi memang tidak pernah sepakat terhadap Zionisme. Para penentang Zionisme ini beralasan bahwa Judaisme adalah agama, dan bukan satu bangsa. Sebagian besar Yahudi religius yang mengunjungi Jerusalem sebelum para Zionis juga memandang bahwa suatu negara sekular dan demokratis bagi Yahudi adalah satu ‘anathema’ atau barang haram.

Theodore Herzl

Ideologi Zionis modern, yang berujung pada pendirian negara Yahudi Israel, tidak dapat dilepaskan dari nama Theodore Herzl. Tokoh Zionis sekuler ini lahir pada 2 Mei 1860 di Pesta (tahun 1872 berubah menjadi Budapest), Hungaria dan meninggal 3 Juli 1904 di Austria. Ia sering dijuluki sebagai “the father of modern Zionism”. Ia sempat sekolah agama Yahudi. Umur 9 tahun ia masuk sekolah teknik, tapi selama 4 tahun ia lebih berminat mempelajari ilmu-ilmu humanitarian. Terakhir ia mengambil kuliah hukum di Vienna’s Law of School dan menyelesaikan sarjana hukumnya tahun 1884. Yang mengubah sejarah hidupnya adalah bermula dari kegiatannya menjadi korensponden sebuah koran di Paris, Neue Freie Presse. Di sinilah Herzl melihat merebaknya semangat anti-Yahudi. Herzl memandang perlunya ada sebuah negara Yahudi untuk menyelesaikan masalah Yahudi. Tahun 1896 ditulisnya gagasannya itu dalam panflet berjudul “Der Judenstaat” (A Jewish State).

Setahun kemudian, 1897, meskipun menghadapi banyak tantangan, Herzl sudah menyelenggarakan Kongres Zionis Pertama. Orang ini dikenal sangat aktif. Selain membentuk organisasi dan menulis, ia juga aktif melobi pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh politik ketika itu, seperti Kaisar Jerman Wilhem II, menteri-menteri Rusia, seperti Count Sergei Yulievich dan Vyacheslav Pleve, Paus Pius X, menteri-menteri Inggris, seperti Neville Chamberlain, David Lyord George, Arthur Balfour, Sultan Abdulhamid II, dan Raja Italia Victor Emanuel III. Catatan hariannya yang terkenal setelah Kongres Zionis I adalah: “…. Saya telah mendirikan negara Yahudi. Jika aku mengatakannya hari ini, aku akan ditertawakan oleh seluruh alam semesta. Dalam waktu lima tahun, mungkin, dan dalam waktu lima puluh tahun pasti, setiap orang akan menyaksikannya.” Kemudian, negara Israel didirikan 14 Mei 1948, 50 tahun 3 bulan, setelah catatan harian Herzl tersebut.

Sejak berdirinya, 1948, hingga sekarang, politik Israel tetap didominasi oleh kaum sekuler, baik sekuler kanan (Likud) maupun sekuler kiri (Buruh). Di tangan Yahudi sekuler yang mendominasi pemerintahan Israel itulah, Israel masih terus menduduki wilayah Palestina dan melestarikan pengusiran bangsa Palestina dari tanah airnya. Hingga kini, sekitar 3,9 juta bangsa Palestina masih terus hidup dalam pengungsian. Kondisi ini telah menjadi sumber penting terciptanya konflik-konflik internasional, khususnya antara Muslim dengan Yahudi.

Di tengah arus menguatnya ortodoksi di kalangan Yahudi, muncul pula dukungan terhadap Zionis Israel dari kalangan kelompok Kristen fundamentalis. Dalam mendukung Israel, mereka menggunakan legitimasi ayat Bible Kitab Kejadian 12: 3: “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”

Hingga kini sikap Kristen fundamentalis ini masih sejalan dengan kepentingan pragmatis-imperialistik Barat. Kata Roger Garaudy: “Sebenarnya Israel bukan saja merupakan perwakilan bagi kepentingan kolektif kolonialisme Barat di Timur Tengah–khususnya Amerika Serikat–melainkan juga sebagai keping utama dalam hubungan antarkekuatan pada percaturan politik dunia. (Roger Garaudy, Israel dan Praktik-Praktik Zionisme, hlm. 142).

Respon Utsmani dan Infiltrasi Zionis

Menelaah respon Muslim terhadap Zionisme bisa dilihat dalam kasus respon Turki Utsmani. Pada periode inilah, Zionisme mencapai saat-saatyang paling menentukan dalam mewujudkan gagasan-gagasannya. Zionisme yang bertujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina tidak mungkin terwujud tanpa mendapat restu atau merampas wilayah itu dari kekuasaan Ustmani. Selama lebih dari 500 tahun, Utsmani menjadi “surga” bagi pengungsi Yahudi yang diusir dan dibantai oleh kaum Kristen Eropa. Namun, keharmonisan itu berakhir menyusul kemunculan gerakan Zionis Yahudi pada abad ke-19.

Mulanya, gerakan Zionis berharap mendapatkan wilayah Palestina secara sukarela dari penguasa Utsmani, yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II (memerintah 1876-1909). Tak lama setelah menerbitkan bukunya, Der Judenstaat, Herzl ke Istambul menemui Perdana Menteri Utsmani dan mempresentasikan rencana pendirian Palestina sebagai tanah air kaum Yahudi. Ia menawarkan bantuan untuk melunasi utang negara Utsmani. Herzl juga melobi Kaisar Austria Wilhelm II yang berhubungan baik dengan Sultan Abdul Hamid II. Kaisar Austria setuju dengan gagasan Herzl dan merekomendasikan rencana Herzl kepada Sultan. Sultan menolak keras tawaran Herzl.

Sejak saat itu, Zionis melancarkan gerakannya untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon “liberation”, “freedom”, dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai “Hamidian Absolutism”, dan sebagainya. Gerakan Zionis di Turki Utsmani mencapai sukses yang sangat signifikan menyusul pencopotan Sultan pada bulan April 1909. Di antara empat perwakilan National Assembly yang menyerahkan surat pencopotan Sultan itu adalah Emmanuel Carasso (Yahudi) dan Aram (Armenia). (Mehmed Maksudoglu, Osmanli History 1289-1922 [Kuala Lumpur: IIUM, 1999], hlm. 235).

Yang ironis, di tengah kerasnya penolakan Abdul Hamid II terhadap Zionisme, imigran Yahudi yang datang ke Palestina justru bertambah secara mencolok. Pada periode 1882-1904, yang dikenal sebagai the first immigration, sekitar 30.000 imigran Yahudi dari Eropa Timur datang ke Palestina dengan dukungan dana dari keluarga Rothschild yang super kaya. Imigrasi kedua, tahun 1904 sampai mulainya Perang Dunia I, sekitar 33.000 orang Yahudi. Hasilnya, populasi Yahudi di Palestina meningkat secara dramatis pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20; dari 24.000 pada tahun 1882 menjadi 47.000 pada tahun 1890; 80.000 pada tahun 1908; dan 85.000 pada tahun 1914 (atau meningkat dari 5% menjadi sekitar 11% pada periode yang sama). Ini menunjukkan adanya ketidakefektifan dari kebijakan pemerintahan Utsmani pada waktu itu. (Stanford J. Shaw, The Jewsof the Ottoman Empire and the Turkish Republic, hlm. 215-216).

Kebijakan Sultan Abdul Hamid II terhadap gerakan Zionis tidak berjalan efektif, sebab pemerintahannya telah dilumpuhkan dari dalam. Apalagi, setelah 1908, kekuasaan di Turki praktis berada di tangan Committe and Union Progress (CUP), organisasi yang dibentuk oleh Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement). CUP memiliki hubungan dekat dengan para aktivis Zionis, dan tidak terlalu peduli dengan gerakan pemberontakan dan separatisme yang dilakukan Zionis. Kebijakan Sultan sudah terlambat, dan akhirnya Sultan Abdul Hamid II sendiri yang tersingkir.

Kiprah gerakan Zionis Yahudi di Turki Utsmani dapat dikatakan sebagai suatu bentuk “smart rebellion”, yang berbeda dengan gerakan-gerkan separatis minoritas lainnya, seperti Armenia. Smart rebellion tidak mengandalkan pada kekuatan senjata dan fisik, tetapi lebih mengandalkan gerakan bawah tanah (clandestine). Mereka menyelubungi gerakan Zionis dengan aktivitas berbentuk sosial, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan.

Tahun 1899, dua tahun setelah Kongres Zionis pertama, beberapa Yahudi di Salonika mendirikan satu asosiasi yang dikenal dengan nama Kadimah. Anggotanya adlaah para intelektual, wartawan, pedagang, dan sebagainya. Tujuannya, menghidupkan dan menyebarkan pelajaran bahasa Ibrani (Hebrew), memperkuat kepercayaan agama dengan memajukan studi Yahudi. Aktivitas mereka beragam, seperti peminjaman buku, pengajaran, diskusi, kursus-kursus bahasa Ibrani, sejarah Yahudi, dan studi Ibrani secara umum. Kadimah bukan hanya merupakan satu perkumpulan agama. Kelompok ini bahkan tidak disukai oleh Kepala Rabbi Salonika, sebab anggota-anggotanya tidak tampak melakukan aktivitas keagamaan sebagaimana layaknya. Karena itu, Esther Benbassa menyebut Kadimah sebagai gerakan bawah tanah kelompok Zionis. (Esther Benbassa, Associational Strategies in Ottoman Jewish Society in the Nineteenth and Twentieth Centuries, inAvigdor Levy (ed.), The Jews of the Ottoman Empire [Princeton: The Darwin Press, 1994], hlm. 462-463).

Menyusul Revolusi 1908, CUP mendukung elemen-elemen nasionalis Turki. Sampai pada tahap ini Yahudi menempati posisi penting dalam gerakan Turki Muda atau CUP. Di antara semua kelompok minoritas Turki Utsmani, hanya Yahudi yang menempatkan tokoh-tokohnya pada jajaran pimpinan CUP, seperti Emmanuel Carasso (Karasu) dan Moise Cohen Tekinalp. Semua wakil Yahudi di parlemen pada tahun 1908-1918 adalah anggota CUP.

CUP adalah penguasa Turki yang sebenarnya setelah Revolusi 1908. Dasar-dasar pendirian gerakan Zionis di Turki Utsmani mengambil saat-saat ini. Gerakan ini dimulai dengan pendirian cabang dari World Zionist Organization di Istambul tahun 1908, di bawah selubung institusi perbankan, The Anglo Levantine Banking Company.

Jika diceramati, strategi dan taktik gerakan Zionis tampak cerdik. Walaupun menempati posisi-posisi penting di CUP dan parlemen Utsmani, mereka sama sekali tidak mengajukan usulan untuk memisahkan diri dari Utsmani, sebagaimana gerakan minoritas lainnya. Mereka menyokong apa yang dipromosikan oleh CUP, yaitu Turkish nationalism. Ketika CUP mempromosikan bahasa Turki kepada masyarakat, gerakan Zionis juga membuat asosiasi-asosiasi yang mengajarkan bahasa Turki, sebagai taktik mereka. Tetapi, pada saat yang sama, mereka juga mengadakan pengajaran bahasa Ibrani. Contoh lain dari cerdiknya gerakan Zionis dapat dilihat pada sejumlah perdebatan yang terjadi di parlemen Utsmani selama tahun 1911. Ismail Hakki, seorang tokoh oposisi, menyatakan, bahwa tujuan Zionis adalah untuk mendirikan negara Yahudi, yang wilayahnya membentang dari Palestina ke Mesopotamia (Irak). Nissim Masliyah, seorang Yahudi pengacara dan anggota parlemen, menjawab bahwa ide mendirikan negara Yahudi adalah ilusi. Emmanuel Carasso, Yahudi anggota parlemen lainnya, juga memainkan peranan yang sangat cerdik, sebagai orang yang anti-Zionis.

Sebenarnya, ketika kecurigaan terhadap gerakan Zionis mulai menguat di sebagian kalangan, posisi Zionis sudah sangat kuat di kalangan elit Utsmani. Sebab, mereka telah menjalin hubungan erat dengan kelompok Turki Muda atau CUP. Gerakan Turki Muda menerima dukungan dari The Donmes of Salonica, yang dalam pemahaman banyak Muslim ketika itu, memang identing dengan nama Yahudi. Sejumlah Yahudi yang aktif dalam organisasi ini adlaah Avram Galante dan Emmanuel Carasso. Carasso adalah ketua sebuah loji Freemason di Salonika, dan ia mengizinkan lojinya dipakai pertemuan-pertemuan gerakan Turki Muda. Kedekatan hubungan Gerakan Turki Muda dan Yahudi bisa ditelusuri sejak awal berdirinya CUP tahun 1889, yang ketika itu juga merupakan suatu “masyarakat rahasia”. CUP menjadi penguasa penting di Turki Utsmani pada periode 1908-1918. Tiga presiden pertama Turki adalah anggota CUP. Hanioglu menyebut bahwa CUP merupakan sebuah organisasi bawah tanah sejak pembentukan inti pertamanya pada tahun 1889 sampai revolusi tahun 1908. (M. Sukru Hanioglu, The Young Turks in Opposition [New York: Oxford University Press, 1995], hlm. 3).

Hanioglu juga menyebutkan bahwa tanpa diragukan, Freemason adalah salah satu gerakan oposisi yang aktif melawan pemerintahan Utsmani dalam periode 1876-1908. Kaum Freemason memiliki hubungan sangat dekat dengan Gerakan Turki Muda. Dampak dari aktivitas kaum Freemason dan gerakan-gerakan liberal lainnya adalah perusakan terhadap pemerintahan Utsmani pimpinan Sultan. Karena itu, tidak mengherankan jiga gerakan-gerakan seperti ini mendapat dukungan dari kekuatan Kristen Eropa, yang sejak lama memandang Turki Utsmani sebagai ancaman terhadap mereka. Seorang penulis Turki, Enver Ziya Karal, mencatat tentang Sultan Abdul Hamid II, “Inti segala masalah bagi Sultan adalah Islam, yang merupakan satu-satunya ikatan kuat yang menyambung umat Islam satu sama lain di dalam kekuasaan Utsmani.” Sultan Abdul Hamid II memandang, kebebasan yang digalakkan oleh Turki Muda adalah suatu senjata penghancur bagi Turki Utsmani. Ia menuturkan dalam kata-katanya, “Memberikan kebebasan sama halnya memberikan senjata kepada seseorang yang tidak tahu bagaimana menggunakannya. Dengan senjata tersebut, orang itu bisa saja membunuh ayahnya, ibunya, bahkan dirinya sendiri.” (Mehmed Maksudoglu, Osmanli History, hlm. 234).

Sementara itu, bagi para pemimpin CUP, Barat adalah segala-galanya. Dalam kata-kata Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP: “Hanya ada satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karenanya, kita harus meminjam dari peradaban Barat, baik mawarnya maupun durinya.” Abdullah Cevdet juda dikenal sebagai simpatisan Judaisme dan gerakan Zionis. (Ilber Ortayli, Ottomanism and Zionism During the Second Constituional Period, in Avigdor Levy (ed.), The Jews, hlm. 534).

Idiologi penting dari kelompok Turki Muda adalah positivism, materialism, dan nationalism. Fokus dari nasionalisme Turki Muda berbasis pada nasionalisme berbasis ras. Hal ini muncul tidak lama setelah kemenangan Jepang melawan Rusia tahun 1904. Agenda nasionalisme turki ini jelas: sebuah pemerintahan yang kuat, peran dominan yang dimainkan elit intelektual, anti-imperialisme, sebuah masyarakat yang Islam tidak memerankan apa-apa, dan sebuah nasionalisme Turki yang akan bersemi kemudian. Dengan mencermati secara serius Weltan-schaung Turki Muda antara 1889-1902, Hanioglu sampai pada kesimpulan bahwa idiologi negara Turki modern memang dibangun di atas dasar “materialis-positivis dan nasionalisme”.

Dengan idiologi seperti itu, dan cara pandang yang ter-Barat-kan (westernized), tentu tidak mengherankan jika Turki Muda memiliki hubungan khusus dengan gerakan Freemasonry atau Zionis. Itu bisa dilihat dalam cara pandang aktivis Turki Muda terhadap Zionisme. Selama periode1902-1908, gerakan Zionis menjadi topik pada jurnal-jurnal Turki Muda. Pertama, pada Agustus 1902, di jurnal Anadolu, terbit di Kairo. Tulisan ini memberikan pandangan yang netral tentang sejarah gerakan Zionis, organisasi, dan tujuannya. Kedua, tulisan tentang Zionisme–terjemahan dari koran Prancis–muncul pada bulan Januari tahun 1904 di jurnal Turk, yang juga terbit di Kairo. Ketiga, artikel yang ditulis Max Nordau, muncul di jurnal Ictihad yang berbasis di Jenewa.

Publikasi terhadap Zionisme dalam posisi netral ini sangatlah mengherankan, mengingat tujuan Zionisme adalah merebut wilayah Palestina dari Turki Utsmani. Fakta itu menunjukkan bahwa gerakan Turki Muda memang telah terinfiltrasi atau terpengaruh oleh ide-ide gerakan Zionis. Mereka tidak memandang pemisahan Palestina dari Turki Utsmani sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara mereka. Padahal, Zionisme adalah bentuk nyata dari pemberontakan dan separatisme. Ini bisa dikatakan sebagai bentuk ketidakpedulian atau mungkin satu “konspirasi” antara Turki Muda dengan gerakan Zionis. Misalnya, bisa dilihat pada pidato Kemal Attaturk terhadap Yahudi Turki pada 2 Februari 1923: “Ada sebagian orang kita yang beriman yang nasibnya telah menyatu dengan bangsa Turki yang menguasai mereka, khususnya kaum Yahudi, yang karena kesetiannya pada bangsa ini dan tanah air ini telah teruji, menjalani hidup mereka dalam kenyamanan dan kesejahteraan hingga sekarang, dan akan menjalani kehidupan berikutnya juga dalam kenyamanan dan kebahagiaan.”

Pidato Kemal itu menunjukkan adanya semacam kolaborasi antara gerakan Zionis dengan musuh-musuh Utsmani dalam memisahkan Palestina dari Utsmani. Adalah sangat mengherankan, sebagai tokoh nasionalis, Kemal bersikap longgar terhadap pemisahan wilayah Palestina. Di sini tampak tidak ada pertimbangan agama dalam sikap pelepasan Palestina. Pada sisi lain, sikap Turki yang melepaskan Palestina bisa juga dilihat dari kondisi politik riil ketika itu. Kekalahan Utsmani pada Perang Dunia I telah memaksanya untuk melepaskan wilayah-wilayah yang didudukinya. Pada bulan Desember 1917, Jerusalem ditaklukan oleh pasukan Sekutu di bawah pimpinan Lord Allenby. Bersama pasukan ini, masuk juga tiga legium Yahudi yang beranggotakan ribuan sukarelawan Yahudi. Zionis mencatat bahwa penaklukan Jerusalem oleh tentara Sekutu telah mengakhiri 400 tahun pemerintahan Utsmani di Palestina. (Ellen Hirsch, The Facts about Israel [Jerusalem: Israeli Information Center, 1996], hlm. 23).

Merebut Kembali Palestina?

Fenomena gerakan Zionis di Turki ini menunjukkan kekuatan imperium yang telah bertahan selama 600 tahun ini bisa digulung–utamanya dari dalam–oleh kelompok Turki Muda yang berkolaborasi dengan kekuatan Zionis dan Barat. Turki Muda yang berpikiran sekular-liberal dan berorientasi Barat mengusung idiologi liberalisme, bersekutu dengan gerakan Freemasonry, yang juga mengusung jargon liberty, egality, fraternity. Kelemahan internal Turki Utsmani juga menjadi faktor kondusif merebaknya gagasan westernisasi di Turki Utsmani. Sejarah kemudian menyaksikan nasib tragis sebuah kekuatan besar runtuh dan takluk terhadap kemauan Barat dan Zionis Yahudi.

Fenomena yang terus berkecamuk di Palestina belakangan ini perlu dilihat dalam kerangka sejarah yang panjang perjalanan Yahudi, Kristen, Zionisme, dan kepentingan imperialis Barat. Pemetaan masalah ini dengan tepat–baik berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan hadits, maupun fakta-fakta sejarah–akan memungkinkan kaum Muslim mengambil sikap dan tindakan yang tepat. Wajibkah kaum Muslim merebut kembali semua wilayah Palestina yang diduduki Israel saat ini? Ini masalah besar yang perlu dipecahkan bersama oleh kaum Muslim, agar segera diambil tindakan-tindakan jangka panjang ang istiqamah.

Sumber: Diringkas dari Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Adian Husaini (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 58-78

Oleh: Abu Annisa