Sekularisasi merupakan fenomena yang khas dalam dunia Kristen. Menurut Bernard Lewis, pemikir politik paling berpengaruh di Amerika Serikat sesudah berakhirnya perang dingin, “Sejak awal mula, kaum Kristen diajarkan–baik dalam persepsi maupun praktis–untuk memisahkan antara Tuhan dan kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya.” (Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, [London: Phoenix, 2002], hlm. 115). Dalam bukunya, Christianity in World History, Arend Theodor van Leeuwen mencatat, penyebaran Kristen dan Eropa membawa pesan sekularisasi. Kata Leewen, “Kristenisasi dan sekularisasi terlibat bersama dalam suatu hubungan yang dialektikal.” Maka, menurutnya, persentuhan antara kultur sekular Barat dengan kultur tradisional religius di Timur Tengah dan Asia adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab, kultur sekular adalah hadiah Kristen kepada dunia (Christianity’s gift to the world). (Pendapat Leeuwen dikutip dari buku Mark Juergensmeyer, The New Cold War? [London: University of California Press, 1993}, hlm. 16-17).
Pandangan Lewis dan Leeuwen merupakan babak baru dalam sejarah peradaban Barat, yang saat itu kekristenan telah mengalami tekanan berat, sehingga dipaksa untuk memperkecil atau membatasi wilayah otoritasnya. Gereja dipaksa menjadi sekular dengan melepaskan wilayah otoritasnya dalam dunia politik. Fenomena sekularisasi dan liberalisasi pada peradaban Baarat–yang kemudian diglobalkan ke seluruh dunia–sebenarnya dapat ditelusuri dari proses sejarah yang panjang yang dialami oleh salah satu peradaban besar dunia ini. Dalam buku The Secularization of The European Mind in The Nineteenth Century, Owen Chadwick menulis satu bab berjudul “On Liberalism”. Kata liberal secara harfiah artinya “bebas” (free), artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). “Negara liberal,” tulis Chadwick, “haruslah negara sekular.” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century [New York: Canbridge University Press, 1975], hlm. 27).
Dalam sejarah Kristen Eropa, kata secular dan liberal dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkeraman kekuasaan Gereja yang sangat kuat dan hegemonik pada zaman pertengahan. Proses berikutnya bukan saja dalam bidang sosial-politik, tetapi juga menyangkut metodologi pemahaman keagamaan. Misalnya, muncul pemikiran Yahudi Liberal (Liberal Judaism) dengan tokohnya Abraham Geiger. Begitu juga merebaknya pemikiran teologi liberal dalam dunia Kristen. Proses sekularisasi-liberalisasi agama kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, termasuk Islam.
Mengapa Barat kemudian memilih jalan hidup sekular-liberal? Setidaknya ada tiga faktor penting yang menjadi latar belakang mengapa Barat memilih jalan hidup sekular dan liberal dan kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya ke seluruh dunia, termasuk di dunia Islam. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (kristen) pada zaman pertengahan. Kedua, problema teks Bible. Dan ketiga, problema teologi Kristen. Ketiga problem itu terkait satu dengan lainnya, sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya melahirkan sikap berpikir sekular-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat modern.
Pertama, Problem Sejarah Kristen
Sejarah kekristenan, kata Bernard Lewis, banyak diwarnai dengan perpecahan (skisma) dan kekafiran (heresy), dan dengan konflik antar-kelompok yang berujung pada peperangan atau penindasan. Sejarah bermula sejak zaman Konstantin Agung, yang saat itu terjadi konflik antara Gereja Konstantinopel, Antioch, dan Alexandria. Lalu, antara Konstantinopel dan Roma; antara Katolik dan Protestan; dan antara berbagai sekte dalam Kristen. Setelah konflik-konflik berdarah banyak terjadi, maka muncul kalangan Kristen yang berpikir bahwa kehidupan toleran antar-kelompok masyarakat hanya mungkin dilakukan jika kekuasaan Gereja untuk mengatur politik dihilangkan, begitu juga campur tangan negara terhadap Gereja. (Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response [London: Phoenix, 2002], hlm. 115).
Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages). Mereka menyebutnya juga sebagai “zaman pertengahan” (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 M dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman renaisance sekitar abad ke-14. Karena itu, mereka menyebut zaman baru dengan istilah “renaisance”, yang artinya “rebirth” (lahir kembali). Mereka seperti merasa bahwa ketika hidup di bawah cengkeraman kekuasaan Gereja, mereka mengalami kematian. Sebab, ketika itu Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi (silakan Saudara baca juga artikel edisi sebelumnya).
Memahami latar belakang penindasan brutal terhadap kaum non-Kristen dan kelompok-kelompok yang dianggap kafir lainnya, yang lantas melahirkan trauma terhadap agama, adalah sangat penting bagi kita untuk menelaah sejarah mengapa dan bagaimana Gereja pada zaman pertengahan membangun kekuatan hegemoniknya. Salah satu fenomena penting dalam sejarah abad pertengahan di Eropa adalah upaya Gereja Kristen memperoleh dan memelihara kekuatan politiknya. Agama Kristen mulai mendapatkan peluang kebebasan–setelah beratus-ratus tahun mengalami penindasan di bawah imperium Romawi–dari Kaisar Konstantin, yang pada tahun 313 M mengeluarkan Edict of Milan. Dengan dikeluarkannya Edict of Theodosius pada tahun 392 M, agama Kristen memegang posisi sebagai agama negara (state-relegion) dari Imperium Romawi (Roman Empire). (Marvin Perry, Western Civilization, hlm. 128-129).
Ketika kekaisaran Romawi runtuh pada tahun 476 M, Gereja tetap mempertahankan sistem administrasi Romawi dan memelihara elemen-elemen peradaban Yunani-Romawi (Greeco-Roman civilization). Sebagai faktor pemersatu, Gereja menyediakan jawaban bagi masyarakat tentang konsep kehidupan dan kematian. Dalam kehidupan sosial yang menuju kehancuran ketika itu, Gereja merupakan satu-satunya institusi yang memberikan alternatif rekonstruksi kehidupan. Karena itu, kemudian pengaruh Gereja meluas begitu cepat di seluruh daratan Eropa, melibas berbagai pengaruh pandangan dan kepercayaantradisional Eropa. Sepanjang daratan Eropa, dari Italia sampai Irlandia, sebuah masyarakat baru berpusat pada kekristenan, terbentuk. Selama abad pertengahan, ketika kota-kota mengalami kehancuran, biara-biara menjelma menjadi pusat-pusat kebudayaan, dan tetap bertahan sampai munculnya kembali kota-kota di masa kemudian. Ketika itu biara-biara juga menyediakan perawatan dan bantuan bagi orang-orang sakit dan miskin serta menyiapkan tempat bagi para pengembara. (Marvin Perry, Western Civilization, hlm. 149-150).
Awal-awal abad pertengahan merupakan periode pembentukan institusi kepausan. Gereja Romawi (Roman Church) mulai terorganisasi dengan baik pada zaman Paus Gregorius (590-604 M)–yang dikenal sebagai “The Great”. Dialah yang membangun awal mula birokrasi kepausan masa pertengahan dan memperkuat kekuasaan kepausan (papacy’s power). Paus Gregorius juga melakukan aktivitas ekonomi dengan mengimpor gandum untuk memberi makan prajurit Romawi dan mengirimkan pasukan melawan kelompok heretic Lombards. Akhirnya, pada abad ke-8 aliansi antara Paus dan Raja Pippin dari Perancis berhasil mendirikan “kerajaan kepausan” (papel states) dan mengatur dukungan Paus untuk memberikan legitimasi terhadap keluarga Pippin. Tahun 800 M kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) berpindah ke Barat dengan diangkatnya anak Pippin, Charlemagne, sebagai “Emperor of Romans”.
Pengesahan kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di abad pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: negara dan gereja. Contoh yang menarik terjadi pada kasus konflik antara Paus Gregorius VII dan Raja Henry IV pada paruh abad ke-11. Konflik bermula ketika Gregorius melarang keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat gereja. )Paus berargumen bahwa konsep Gereja sebagai monarkhi berasal dari tradisi imperium Romawi. Paus sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan para uskup, mengadakan suatu sidang umum dan mengeluarkan peraturan moral dan keagamaan. Jika Paus mengucilkan seorang penguasa, maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar tubuh kekristenan. Karena itu, ia tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen. Raja Henry IV menolak klaim Paus tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang langsung dari Tuhan. Menghadapi tantangan itu, Gregorius menyerukan kepatuhan pasif terhadap Henry IV. Pada akhir pertarungan Henry IV takluk dan dipaksa menemui Gregorius di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya. Kasus ini menunjukkan keefektifan kekuasaan Paus atas pemerintah.
Kemenganan Gregorius tampaknya meningkatkan moral Gereja dalam menghadapi segala sesuatu yang dipandang sebagai “musuh”. Appalagi, sejumlah penguasa Kristen juga berhasil merebut kembali daerah-daerah yang sebelumnya direbut oleh Muslim. Tahun 1091 Count Roger berhasil merebut Sisilia. Tahun 1085 Kristen Spanyol, dengan bantuan tentara Prancis berhasil mempertahankan Toledo dari serangan Muslim. Paus dan para uskup kemudian lebih jauh melangkah untuk mendorong masyarakat membentuk milisi-milisi bersenjata. Salah satunya adalah Uskup Toul, yang kemudian menjadi Paus Leo IX pada tahun 1049. Dua bulan setelah penobatannya, Paus Leo IX membentuk milisi Romawi untuk memerangi bangsa Norman, yang mengancam menyerbu wilayahnya. Dua puluh tahun kemudian, Paus Gregorius VII menyerukan semua rakyat Eropa untuk membentuk milisi besenjata yang dinamakan sebagai “The Knight of St. Peter”. (Karen Amstrong, Holy War, hlm. 62-63).
Pada zaman hegemoni kekuasaan Gereja inilah lahir sebuah institusi Gereja yang sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya, yang dikenal sebagai “INQUISISI”. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menggambarkan kejahatan institusi Inquisisi Kristen dalam sejarah sebagai berikut.
“Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrumen teror dalam Gereja Katolik sampai dengan akhir abad-17. Metode inquisisi ini juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka.” (Karen Amstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Toda’s World (London: McMillan London Limited, 1991), hlm. 456.)
Ketika pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid. Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitor itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tampat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya gila. Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakkan biara tersebut. (Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, hlm. 239. Rober Held, dalam bukunya, “Inquisition”, memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dia paparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup, pencukilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat model siksaan lain yang brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85% korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800 diperkirakan antara 2-4 juta wanita dibakar hidup-hidup di daratan Katolik maupun Protestan Eropa).
Perlu dicatat bahwa kekejaman Inquisisi dilakukan oleh Gereja, yang memegang otoritas atau wakil Tuhan. Berbeda dengan Islam yang tidak mengenal institusi kekuasaan agama. Paus adalah wakil Kristus yang diklaim mempunyai sifat infallible [tidak dapat salah]. Ketika Paus melegalisasi kekejaman dan penindasan, tetap saja dianggap sebagai wakil Tuhan. Karena itu, kesalahan yang dilakukan Gereja adalah kesalahan pada agama itu sendiri. Ini berbeda dengan Islam. Jika ada penguasa Islam yang melakukan kesalahan atau kezaliman, itu dilakukannya sebagai individu dan tidak atas legalitas keagamaan, meskipun mungkin ia menggunakan alasan keagamaan tertentu. Islam tidak mengenal kekuasaan agama (Teokrasi). Karena itu, tidaklah tepat jika konsep politik dalam Islam, yang diterapkan selama ratusan tahun, yakni konsep khilafah, disebut dengan istilah dalam tradisi Kristen, yaitu “theokrasi”. Abul A’la Maududi malah meyebut Teokrasi sebagai pemerintahan syaithan.
Pada 31 Oktober 1517 Marthin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan di pintu gerejanya, di Jerman. Ia di antaranya menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” oleh pemuka gereja, menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasi akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521 Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun Luther berhasil mendapatkan perlindungan dari seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan gereja dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus. (Philip J. Adler, World Civilizations (Belmont: Wasworth, 2000), hlm. 314-315).
Berbagai penyelewengan penguasa agama dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan. Pemberontakan demi pemberontakan terus berlangsung, sehingga dunia Kristen Eropa kemudian terbelah menjadi dua bagian besar: Katolik dan Protestan. Beratus tahun kedua agama ini bersaing dan saling melakukan berbagai aksi pembantaian. Di Inggris Raja Henry VIII (1491-1547) memisahkan diri dari Paus dan membentuk Gereja sendiri, hanya karena Paus menentang perkawinannya dengan Anne Boleyn dengan menceraikan istrinya terdahulu, Catherine of Aragon. Tahta Ingris akhirnya jatuh ke tangan Protestan (Anglikan). Perebutan tahta Inggris oleh Gereja ini diwarnai dengan berbagai tindakan kejam yang di luar batas perikemanusiaan.
Di Prancis, pertarungan antara Katolik dan Protestan juga berlangsung sangat sengit. Salah satu kisah yang paling mengerikan adalah pembantaian kaum Protestan–terutama Calvinists–di Paris oleh kaum Katolik tahun 1572 yang dikenal sebagai “The St. Bartholomew’s Day Massacre”. Diperkirakan 10.000 orang mati. Selama berminggu-minggu jalan-jalan di Paris dipenuhi dengan mayat yang membusuk. (Philip J. Adler, World Civilization, hlm. 322. Seorang yang selamat dari pembantaian itu menggambarkan hari yang mengerikan itu: “Tidak seorang pun dapat mengukur berbagai kekejaman yang terjadi dalam pembunuhan-pembunuhan ini …. Sebagian besar mereka dimusnahkan dengan belati. Tubuh mereka ditikam, anggota tubuhnya dirusak, mereka dihina dengan cemoohan yang lebih tajam dari pedang … mereka memukul sejumlah orang tua tanpa perasaan, membenturkan kepala mereka ke batu di dermaga dan kemudian melemparkan sosok setengah mati itu ke sungai. Seorang anak yang terbungkus pakaiannya diseret di jalan dengan tali yang dililitkan di lehernya oleh anak-anak berumur sekitar 9 atau 10 tahun. … kemudian melemparkannya ke sungai, yang menjadi merah karena darah dan tidak dapat kembali ke warna asalnya untuk waktu yang panjang.”
Prancis juga dikenal dengan Revolusinya (1789) yang dahsyat yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”. Pada masa itu para bangsawan (clergy) di Prancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Ini menimbulkan dendam bagi masyarakat Barat dan berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang Agama. Tidak heran jika pada era berikutnya muncul sikap anti-pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism” pada abad ke-18.
Trauma inilah yang kemudian melahirkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci, sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan. Pada tahap selanjutnya, mereka terus mencari dalil-dalil dan alasan teologis untuk memperkuat argumentasi sekularisasi, khususnya ditemukan pada ayat-ayat tertentu pada Bible. Ini adalah trauma barat pada sejarah keagamaan mereka, yang sangat berbeda dengan pengalaman sejarah Islam, atau peradaban lainnya. Menghadapi serangan yang sangat kuat tersebut pihak Kristen akhirnya menyerah dan menerima proses sekularisasi sebagai bagian dari kenyataan.
Kedua, Problem Teks Bible
Problem ini berkaitan dengan otentisitas teks Bible dan makna yang terkandung di dalamnya. Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara Al-Qur’an dengan Bible dengan menyatakan bahwa semuanya adalah kitab suci, dan semuanya mukjizat. Padahal, kalangan ilmuwan Barat yang jeli bisa membedakan antara kedua kitab agama itu. Teks Al-Qur’an tidak mengalami problema, sebagaimana problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan, “Al-Qur’an tidak ada bandingannya dengan apa pun di luar Islam (The Quran has no parallel outside Islam).” (Norman Daniel, Islam and The West: The Making of an Image [Oxford: Oneworld Publications, 1997], hlm. 53).
Hebrew Bible (Perjanjian Lama), misalnya, hingga kini masih merupakan misteri. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis kitab ini masih merupakan misteri. Ia menulis, “Adalah sebuah fakta yang mengherankan bahwa kita tak pernah tahu secara pasti siapa yang telah membuat buku itu yang telah menjalankan peran penting dalam peradaban kita (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization).” Ia mencontohkan, The Five Book of Moses diduga ditulis oleh Moses; Book of Lamentation ditulis oleh Nabi Jeremiah; separuh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu bagaimana perujukan penulis itu memang benar adanya. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara, di dalam teksnya dijumpai banyak kontradiksi. (Richard Elliot Friedman, Who Wrote the Bible [New York: Perennial Library, 1989], hlm. 15-17).
Perjanjian Baru (The New Testament) juga menghadapi banyak problem otentitas teks. Prof. Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Dalam pembukaan bukunya, “A Textual Commentary on the Greek New Testament”, terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun 1975, Metzger menjelaskan, ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan yang lainnya.
Bahasa Yunani (Greek) adalah bahasa asal The New Testament. Banyaknya ragam teks dan manuskrip menyebabkan keragaman teks tidak dapat dihindari. Hingga kini ada sekitar 5.000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya. Cetakan pertama The new Testament berbahasa Greek, terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus (ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yanglengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bible untuk melengkapinya. Untuk kitab Wahyu (Revelation), misalnya, ia gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. (Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament [Stutgard: United Bible Societies, 1975], hlm. 13-21. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem (Nashville: Abingdon Press, 1972), hlm. 40.
Dalam bukunya yang lain, The Early Versions of the New Testaments, Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer yang berjudul Limitation of Latin in Representing Greek. Dalam buku itu, Fischer dikutip Metzger menulis, “Meskipun bahasa Latin secara umum sangat cocok untuk digunakan menerjemahkan dari bahasa Yunani, tetap saja ada bagian-bagian yang tidak bisa diekspresikan dalam bahasa Latin.”
Tahun 1519 terbit edisi kedua teks Bible dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Yunani yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bible dalam bahasa Yunani. Dalam edisi Yunani ini dikenal istilah “Textus Receptus” yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. (Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Tastament, hlm. 22-24). Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Prof. Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. (Bruce M. Metzger, The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance [Oxford: Clarendon Press, 1987], hlm. 273).
Bagaimana pun telitinya, satu terjemahan pasti tidak akan mampu mengekspresikan bahasa asalnya dengan tepat. Apalagi, jika terjemahan itu sudah dilakukan ke berbagai bahasa. Ambil satu contoh ayat dalam Bible, Kitab 1 Raja-Raja 11: 1 dalam sejumlah versi Bible ditulis sebagai berikut.
Versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) terbitan tahun 2000 ditulis: “Ada pun Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing. Disamping anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon, dan Het.”
Dalam versi The Living Bible ditulis: “King Salomon married any other girls besides the Egyptian princess. Many of them came from nations where idols were worshipped–Moab, Ammon, Edom, Sidon and from the Hittites.”
Sedangkan Bible King James Version menulis: “But King Solomon loved many strange women, together with the daughter of Paharaoh, women of Moabites, Ammonites, Edomites, Zidonians, and Hittites.”
Lain pula yang ada dalam versi The Bible Revised Standard Version: “Now King Solomon loved many foregn women; the daughter of Pharaoh, and Moabites, Ammonite, E’domite, Sido’niah, and Hittite women.”
Dalam edisi latin ‘Vulgate’ ditulis: “rex autem Salomon amavit mulieres alienigenas multas filiam quoque Pharaonis et Moabitidas et Ammanitidas Idumeas et Sidonias et Chettheas.”
Perhatikan, bagaimana sejumlah versi Bible menggunakan kata “mencintai” (loved/amavit), sedangkan The Living Bible menggunakan kata “married”. Faktanya, Salomon memang mengawini wanita-wanita asing itu. Kejahatan Salomon versi Bible digambarkan dalam Kitab 1 Raja-Raja 11: 1-9. Dalam kitab itu digambarkan perilaku Salomo yang tidak patut dilakukan oleh seorang nabi utusan Allah–dalam konsepsi Islam.
Ketiga, Problem Teologi Kristen
Dr. C. Groenen Ofm, seorang teolog Belanda, mencatat, “Seluruh permaslaahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem.” Setelah membahas perkembangan pemikiran tentang Yesus Kristus (Kristologi) dari para pemikir dan teolog Kristen yang berpengaruh, ia sampai pada kesimpulan bahwa kekacauan para pemikir Kristen di dunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural di Barat. “Kesimpangsiuran itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia Barat,” tulis Groenen. (C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen [Yogyakarta: Kanisius, 1988], hlm. 286).
Sepanjang sejarah peradaban Barat, terjadi banyak persoalan serius dalam perdebatan teologis. Pada zaman pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi pada zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Sejumlah ilmuwan seperti Saint Anselm, Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara akal (reason) dan teks Bible (revelation). Problem yang kemudian muncul ialah ketika para ilmuwan dan pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas Gereja, justru kedua hal itulah terletak problem itu sendiri. Di samping menghadapi problema otentisitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sejumlah ilmuwan mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengetahuan seperti Galileo Galilei (1546-1642) dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan, Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nocolaus Copernicus, dibakar hidup-hidup. (E.A. Livingstone, Oxford Concise Dictionary of Christian Church [Oxford: Oxford University Press, 1996]).
Jika para ilmuwan dipaksa tunduk kepada doktrin teologis yang mereka sendiri sulit memahaminya, tentu muncul benturan pemikiran. Padahal, konsepsi teologis Kristen–terutama fakta dan posisi ketuhanan Yesus–telah menjadi ajang perdebatan ramai di kalangan Kristen, sepanjang sejarahnya. Kelompok-kelompok yang tidak menyetujui doktrin resmi Gereja dicap sebagai heretics dan banyak di antaranya yang diburu dan dibasmi. Contohnya adalah satu kelompok yang bernama Cathary, yang hidup di selatan Prancis. Kelompok Cathary adalah penganut Catharism, satu kelompok heresy radikal pada zaman pertengahan. Cathary percaya karena daging adalah jahat, maka Kristus tidak mungkin menjelma dalam tubuh manusia. Karena itu, Kristus tidaklah disalib dan dibangkitkan. Dalam ajaran Cathary, Yesus bukanlah Tuhan, tapi malaikat. Untuk memperhambakan manusia, tuhan yang jahat menciptakan gereja, yang mempertontonkan “sihirnya” dengan mengejar kekuasaan dan kekayaan. Ketika kaum ini tidak dapat disdarkan dengan persuasif, Paus Innocent III menyerukan kepada raja-raja untuk memusnahkan mereka dengan senjata, sehingga ribuan orang dibantai. (Marvin Perry, Western Civilization, hlm. 175; The Encyclopedia Britanica [London: The Encyclopedia Britanica Company Ltd., 1926]).
Doktrin teologi Kristen tidaklah tersusun pada masa Yesus, tetapi beratus tahun sesudahnya, yakni pada tahun 325 dalam Konsili Nicea. Pelopor Konsili Nicea adalah Kaisar Konstantin, yang menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja. Konsili menjadikan Roma sebagai pusat resmi Christian ortodoxy. Dalam Konsili ini, aspek-aspek Ketuhanan Yesus diputuskan melalui pemungutan suara (voting). Buku The Messianic Legacy, yang ditulis oleh tiga orang pemikir Kristen: Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, mencatat bahwa Kristen memang berutang kepada Konstantin, tetapi tidak dapat dikatakan Konstantin sebagai seorang Kristen atau mengkristenkan Romawi. Cerita tentang ‘konversi’ Konstantin diperdebatkan. Ia tetaplah penganut paganisme. Tuhannya adalah Sol Invictus, dewa matahari kaum pagan. Paganisme juga menjadi agama resmi Romawi ketika itu. Buku ini menyebut pengaruh paganisme Constantin terhadap Kristen. Tahun 321 M keluar Edict yang menetapkan hari Minggu sebagai hari istirahat. Padahal, sebelumnya Kristen tetap menghormati hari Sabtu. Sampai abad ke-4 hari kelahiran Yesus diperingati pada 6 Januari. Tetapi, pada tradisi persembahan Sol Invictus, hari terpenting adalah 25 Desember. (Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, The Messianic Legacy [New Yor: Dell Publishing, 1986], hlm. 36-42).
The Interpreter’s Dictionary of the Bible menjelaskan bahwa istilah ‘trinitas’ merujuk pada pengertian: the coexistence of father, son, and holy spirit in the unity of the Godhead. Istilah ini bukan merupakan istilah Biblical. Tetapi, mewakili kristalisasi dari ajaran Perjanjian Baru.
Sejak Konsili Nicea, problem serius dan kontroversial memang masalah “ketuhanan Yesus”. Bagaimana menjelaskan kepada akal yang sehat bahwa Yesus adalah ‘Tuhan’ dan sekaligus ‘manusia’. Apa yang disebut kaum Katolik sebagai “Syahadat Nicea” secara eksplisit mengutuk pemikiran Arius, seorang imam Alexandria yang lahir tahun 280. Arius–didukung sejumlah uskup–menyebarkan pemahaman bahwa Yesus bukanlah Tuhan yang tunggal, esa, transenden, dan tak tercapai oleh manusia. Yesus adalah “firman Allah” yang secara metafor boleh disebut “Anak Allah”, bukanlah Tuhan, tetapi makhluk, ciptaan, dan tidak kekal abadi.
Tentang konsep ketuhanan Yesus, buku The Messianic Legacy mencatat bahwa Kristen yang dikenal saat ini bukan berasal dari zaman Yesus, tetapi dari Konsili Nicea, yang dicapai melalui pemungutan suara (At Nicea Jesus’s divinity, and the precise nature of his divinity, were establised by means of a vote. It is fair to state that Christianity as. We know It today derives ultimately not from Jesus’s time, but from the Council of Nicea). (The Messianic Legacy, hlm. 40)
Soal “Syahadat Katolik” juga menjadi perbincangan dan kontroversi hebat dalam sejarah Kristen. Konsili Efesus, tahun 431, melarang perubahan apa pun pada “Syahadat Nicea”, dengan ancaman kutukan Gereja (anathema). Namun, Konsili Kalsedon, tahun 451, mengubah “Syahadat Nicea”. Kutukan terhadap Arius dihapuskan. Naskah syahadat Konsili Kalsedon berasal dari konsili lokal di Konstantinopel tahun 381. Sebab, naskah edisi tahun 325 dianggap sudah tidak memadai untuk berhadapan dengan situasi baru. Kalangan teolog Kristen ada yang menyebut bahwa naskah tahun 381 adalah penyempurnaan naskah 325, tanpa mengorbankan disiplin teologisnya. Naskah syahadat itu di kalangan sarjana disebut “Syahadat dari Nicea dan Konstantinopel” disingkat N-C. Naskah syahadat N-C ini hingga sekarang masih menjadi naskah syahadat penting dari kebanyakan Gereja Kristiani. Namun, pada Konsili Toledo III di Spanyol tahun 589, Gereja Barat melakukan tambahan frasa “dan Putra” (Filioque) pada penggal kalimat “dan akan Roh Kudus … yang berasal dari Bapa.” Penambahan itu dimaksudkan untuk menekankan keilahian dan kesetaraan antara Putra dengan Bapa. Paus, yang mulanya menolak penambahan itu, akhirnya menerima dan mendukungnya. Namun, Gereja Timur menolak, karena melanggar Konsili Efesus. Penambahan ini kemudian menjadi penyebab utama terjadinya skisma–perpecahan–antara dua Gereja (Barat dan Timur) pada abad ke-11. Konsili Vatikan II juga membuat perubahan kecil pada Syahadat N-C, dengan mengganti kata pembuka “Aku percaya” menjadi “Kami percaya”. (Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, hlm.35-41).
Kontroversi seputar penyaliban Yesus itu memang terus berlangsung. John Dominic Crossan, profesor dalam Biblical Studies di DePaul University Chicago, menulis sebuah buku berjudul Who Killed Jesus? yang isinya membuktikan bahwa pemahaman tradisional terhadap terbunuhnya Yesus, yang digambarkan sebagai perbuatan kaum Yahudi, sebagaimana dipaparkan dalam Perjanjian Baru, bukan hanya salah, tetapi juga berbahaya. Ia juga mempertanyakan berbagai persoalan teologis yang mendasar, seperti “benarkah Yesus mati untuk menebus dosa-dosa manusia?” Juga “apakah keimanan kita sia-sia jika tidak ada kebangkitan tubuh Yesus?”
“Penyaliban” dan “Kebangkitan” adalah doktrin pokok dalam teologi Kristen. Namun, justru di sinilah terjadi perdebatan seru di kalangan teolog Kristen. Menurut John Dominic Crossan, cerita tentang Yesus, seperti tertera dalam Bible, disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Yesus. Itulah yang dibuktikan oleh Crossan. (John Dominic Crossan, Who Kille Jesus [New York: HarperCollins Publishers, 1995], hlm. 216-217).
Perdebatan seputar Yesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok Yesus itu benar-benar ada atau sekadar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1850-1935) dan seorang pengikutnya, William Benjamin Smith (1850-1934). (Howard Clark Kee, Jesus in History [New York: Harcourt, Brace & World Inc, 1970], hlm. 29). Bahkan, perdebatan seputar Yesus itu kadangkala sampai menyentuh aspek moralitas Yesus sendiri dalam aspek seksual. Marthin Luther sendiri dilaporkan menyebutkan bahwa Yesus berzina sebanyak tiga kali. Arnold Lunn, dalam bukunya, The Revolt Against Reason (London: Eyre & Spottiswoode, 1950), hlm. 233, mencatat: “Weimer mengutip sebuah paragraf dari The Table-Talk, di mana Luther menyatakan bahwa Yesus Kristus berzina sebanyak tiga kali, pertama dengan seorang wanita di sumur, kedua dengan Maria Magdalena, dan ketiga dengan wanita pezina,” yang dilepasnya begitu saja.
Perdebatan Yesus memang tidak berkesudahan. Padahal, di atas landasan ‘Ketuhanan Yesus’ inilah, teologi Kristen ditegakkan. Pada awal-awal kekristenan, mereka ingin menonjolkan aspek ketuhanan Yesus. Tetapi, teolog-teolog modern kemudian ingin menonjolkan aspek kemanusiaan Yesus, mendekati gagasan Arius yang dulu dikutuk Gereja. Menyimak perdebatan tentang Yesus yang tiada henti itu, maka teolog Kristen seperti Groenen membuat teori “pokoknya”, bahwa meskipun pemikiran kaum Kristen tentang Yesus Kristus berbeda-beda, tetapi Yesus tetap tidak berubah. “Yesus yang satu dan sama sejak awal diwartakan dan–menurut keyakinan Kristen harus diwartakan–‘sampai ke ujung bumi’ (Kis 1: 8) dan ‘sampai ke akhir zaman’ (Matius 28: 20) kepada ‘segala makhluk’ (Markus 16: 15)’.” Menurut Groenen, iman memang membutuhkan pemahaman, tetapi iman mesti mendahului pemahaman dan selalu melampaui pemahaman. Teologi Kristologi hanyalah sarana. Kristologi tidak membicarakan Yesus Kristus itu sendiri, tetapi pikiran orang tentang Yesus. (C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi …., hlm. 13, 286).
Memang persoalannya bukan pada diri Yesus–yang memang hakikatnya tidak tergantung pada pemahaman manusia. Tetapi, yang menjadi masalah bagi manusia adalah bagaimana memahami Yesus. Benarkah atau salahkan pemahamannya? Tuhan sendiri pada hakikatnya adalah Tuhan. Tidak berubah hakikat-Nya, apa pun pemahaman manusia tentang Dia. Tetapi, bagaimana manusia memahami Tuhan, di situlah masalahnya. Jika pemahamannya salah, maka dia pun menjadi salah, baik dalam pemikiran maupun tindakan.
Argumentasi Groenen semacam itu sulit dipahami oleh kalangan teolog yang sejak dahulu kala berusaha merumuskan pemahaman tentang Yesus, namun tidak pernah mencapai titik temu. Kepelikan itu bisa dipahami mengingat Yesus sendiri tidak pernah menyatakan bahwa dia adalah Tuhan. Paul Young mencatat bahwa seluruh penulis Perjanjian Baru menekankan hakikat kemanusiaan Yesus. Ia lapar, haus, dan lelah, sebagaimana manusia lainnya. Ia juga mempunyai emosi, bisa sedih dan senang. Tetapi, beratus-ratus tahun kemudian, Yesus dirumuskan dan disembah sebagai Tuhan. “Yesus ini seorang manusia asli, menjadi fokus peribadatan Kristen. Bentuk peribadatan yang sangat berbeda dengan agama-agamabesar dunia yang lain,” tulis Young.
Problem teologi Kristen, problem teks Bible, dan juga pengalaman Barat yang traumatis terhadap hegemoni Gereja selama ratusan tahun telah membentuk sikap ‘traumatis’ mereka terhadap Kristen. Cara pandang terhadap agama yang lahir dari peradaban Barat adalah konsep yang traumatis terhadap agama. Dari sinilah muncul paham sekularisasi–yang meskipun tidak membunuh agama, tetapi menempatkan agama pada pojok kehidupan yang sempit. Agama ditempatkan dalam wilayah personal dan membatasi wilayah kekuasaan mereka. Tak hanya itu, mereka juga melakukan proses liberalisasi dan dekonstruksi besar-besaran terhadap berbagai doktrin Kristen. Dalam bidang sosial-politik, mereka lahirkan konsep sekularisme, yang menemukan aplikasi penting pasca-Revolusi Prancis, 1789. Dalam bidang teologi, mereka mengembangkan konsep ‘teoligi inklusif dan pluralis’ yang menolak klaim Kristen sebagai satu-satunya agama yang benar (extra ecclesiam nulla salus). Dalam bidang organisasi keagamaan, mereka menghantam konsep “formal religion” dan mengembangkan konsep agama sebagai aktivitas. Dalam bidang kajian kitab suci, mereka mengembangkan ‘hermeneutika’, yang mendekonstruksi konsep Bible sebagai “The Word of God”, dan mengembangkan metode historical criticism terhadap Bible.
Melalui dominasi dan hegemoninya, Barat berusaha mengglobalkan konsep-konsep keilmuan dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pemikiran Islam. Proses liberalisasi dan sekularisasi di berbagai bidang yang terjadi di dunia Islam tidak lain adalah bagian dari globalisasi yang berangkat dari pengalaman dan realitas Barat dengan berbagai unsur yang membentuknya, seperti tradisi Judeo-Christian, tradisi Yunani, dan unsur-unsur suku-suku bangsa Eropa. Sebagai satu peradaban besar yang masih eksis hingga kini, Islam memiliki banyak perbedaan fundamental dengan peradaban Barat.
Jika perbedaan konsepsi dan sejarah antara teologi Kristen dengan Islam benar-benar dikaji secara cermat, seyogyanya tidak perlu ada kalangan Muslim yang latah menyebarkan paham sekularisme, pluralisme agama, metode kajian Bible untuk Al-Qur’an, dan sebagainya. Penjiplakan yang membabi buta terhadap tradisi Kristen-Yahudi–hanya karena terpesona oleh kemajuan fisik peradaban Barat–bisa dikatakan sama dengan upaya bunuh diri bagi Islam. Jika peradaban Barat kemudian memaksakan agar paham destruktif terhadap agama dianut oleh pemeluk agama-agama yang lain dapatlah dimaklumi. Sebab, peradaban Barat pada hakikatnya memang anti-agama. Muhammad Asad (Leopold Weiss) mencatat, peradaban Barat modern hanya mengakui penyerahan manusia kepada tuntunan-tuntunan ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tuhannya yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual, melainkan kenikmatan duniawi. Mereka mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban Romawi Kuno. Konsep keadilan bagi Romawi adalah keadilan bagi orang-orang Romawi saja. Sikap semacam itu hanya mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan pada konsep hidup yang sama sekali materialistik. Asad menilai, sumbangan agama Kristen terhadap peradaban Barat sangatlah kecil. Bahkan, saripati peradaban Barat itu sendiri sebenarnya ‘irreligious’.
Karena itu, sungguh sulit dipahami dengan akal sehat jika banyak cendekiawan Muslim yang latah dan ikut-ikutan perilaku Barat dalam “membunuh agama” mereka.
Sumber: Diringkas dari Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Adian Husaini (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 28-57
Oleh: Abu Annisa