Kebingungan Liberalisme: Proses Globalisasi Nilai-Nilai dari Barat ke Berbagai Peradaban Lain

Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, seorang pemikir yang dikenal cukup baik oleh dunia pemikiran Barat maupun Islam, memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan sekuler Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Menurut Al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekadar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. Berbagai problem kemanusiaan muncul sebagai hasil dari kacaunya nilai-nilai.

Salah satu problem moral yang terus mengguncang dan memicu kontroversi hebat di Barat hingga saat ini adalah problem homoseksualitas. Dunia Barat, bahkan kalangan Gereja Kristen, kini diguncang hebat dalam soal penentuan batas-batas moral soal homoseksualitas. Homoseksualitas yang berabad-abad dicap sebagai praktik maksiat oleh agama-agama justru kemudian diakui sebagai praktik yang manusiawi dan harus dihormati sebagai bagian dari penghormatan Hak Asasi Manusia.

Perkembangan kasus homoseksualitas di Barat kian menarik. Pemimpin-pemimpin Gereja semakin terdesak opininya, karena sebagian pemuka Kristen dan cendekiawannya pun bukan saja mendukung bahkan telah menjadi pelaku homoseksual atau lesbian. Dalam kasus homoseksual, para teolog Kristen juga berlomba-lomba membuat tafsiran baru, agar praktik maksiat itu disahkan oleh Gereja. Pada umumnya, kaum Kristen memahami bahwa homoseksual adalah penyebab kaum itu dihancurkan oleh Tuhan. Sehingga, mereka memopulerkan istilah “sodomi” yang menunjuk pada praktik maksiat antarsesama jenis. Tokoh-tokoh Gereja pada awal-awal Kristen, seperti Clement of Alexandria, St. John Chrysostom, dan St. Agustine mengutuk perbuatan homoseksual. Agustine menulis, “Perilaku memalukan sebagaimana yang dilakukan di Sodom haruslah tetap dibenci dan dihukum di mana pun, selamanya. Seandainya semua bangsa hendak melakukan hal itu, mereka sama bersalahnya di mata hukum Tuhan dan sekaligus tetap melarang kaum lelaki untuk melakukan hal ini (homoseksualitas).” Tahun 1975 Vatikan mengeluarkan doktrin “The Vatican Declaration on Social Ethics”, yang hanya mengakui praktik heteroseksual dan menolak pengesahan homoseksual. St. Thomas menyebut sodomi sebagai “contra naturam”, artinya bertentangan dengan sifat hakiki manusia (William F. Allen, Sexuality Summary. Ohio: Alba House Communications, 1977, hlm. 12-15).

Tetapi, sebagian teolog Kristen pendukung homoseksual kemudian membuat tafsiran lain. John J. McNeill SJ, Misalnya, menulis buku The Church and the Homosexual memberikan justifikasi moral terhadap praktik homoseksual. Menurut dia, Tuhan menghukum kaum Sodom dan Gomoroh bukan karena praktik homoseksual, tetapi karena ketidaksopanan penduduk kota itu terhadap Tamu Lot. Kaum Katolik mendirikan sebuah kelompok gay bernama “Dignity” yang mengajarkan bahwa praktik homoseksual tidak bertentangan dengan ajaran Kristus. Teolog lain, Gregory Baum, menyatakan, “Jika kaum homoseks bisa menghidupkan cinta, maka cinta homoseksual tidaklah bertentangan dengan naluri manusia.” Tahun 1976, dalam pertemuan tokoh-tokoh Gereja di Minneapolis, AS, dideklarasikan bahwa “kaum homoseks adalah anak-anak Tuhan (homosexual persons are children of God).”

Logika kaum sekuler di Barat yang enggan berpegang pada agamanya ini sebenarnya sederhana. Karena homoseksual sudah menjadi kenyataan yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Barat, maka untuk memberikan legitimasinya, tidak jarang mereka harus meerkayasa ajaran agama agar sesuai denan ‘tuntutan zaman’, agar Kristen tetap relevan untuk kaum homoseks; agar Kristen tidak dicap kuno, dan dapat diterima oleh masyarakat modern, sebab homoseksual sudah dipersepsikan oleh para pendukungnya sebagai gaya hidup modern. Maka, dunia Kristen semakin terpukul ketika media massa membongkar ribuan kasus fedofilia (pelecehan seksual terhadap anak-anak) yang dilakukan oleh para tokoh Gereja. Seolah-olah kemunafikan itu terbongkar, di mana tokoh-tokoh agama yang ‘tidak kawin’ dan punya hak memberikan pengampunan dosa ternyata melakukan tindakan keji dengan menzinai anak-anak.

Pada 27 Februari 2004, The Associater Press wire menyiarkan satu tulisan berjudul Two Studies Cite Child Sex Abuse by 4 Percent of Priests, oleh Laurie Goodstein, yang menyebutkan, pelecehan seksual terhadap anak-anak dilakukan oleh 4 persen pastur Gereja Katolik. Dari tahun 1950 sampai 2002 sebanyak 10.667 anak-anak dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual oleh 4.392 pastur. Studi ini dilakukan oleh The American Catholic Bishops tahun 2002 sebagai respon terhadap tuduhan adanya penyembunyian kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para tokoh Gereja.

Seorang pendeta Katolik Roma bernama A.W. Richard Sipe menulis buku berjudul “Sex, Priets, and Power: Anatomy of A Crisis” (1995). Buku ini menceritakan perilaku seksual di kalangan para pendeta dan pastor. Sebagai gambaran, pada 17 November 1992, TV Belanda menayangkan program 17 menit tentang pelecehan seksual oleh pemuka agama Kristen di AS. Esoknya, hanya dalam satu hari, 300 orang menelepon stasiun TV, dan menyatakan bahwa mereka juga mengalami pelecehan seksual oleh para pendeta di Belanda. The Boston Globe juga menerbitkan sebuah buku berjudul “Betrayal: The Crisis in the Catholic Church”. Buku ini membongkar habis-habisan pengkhianatan dan skandal sex yang dilakukan oleh para pemuka agama Katolik. Sebagai contoh, tahun 1992, di Tenggara Massacusetts, ditemukan seorang pastor bernama James R. Porter melakukan pelecehan seksual terhadap lebih dari 100 anak (pedofilia).

Puncak kehebohan dalam kasus seksual di kalangan Gereja adalah ketika pada November 2003, Gereja Anglikan di New Hampshire mengangkat Gene Robinson, seorang homoseks diangkat menjadi uskup. Maka, gerakan kaum homoseks dengan resmi mendapat legitimasi dari Gereja.

Peristiwa Gene Robinson itu adalah yang pertama dalam sejarah Kristen, yang kali ini terjadi di lingkungan Gereja Anglikan. Oleh Uskup Besar (Archbishop) of Canterbury, Reverend Rowan William, dikatakan, pelantikan Robinson itu akan membawa konsekuensi yang serius bagi keutuhan komunitas Gereja Anglikan. Robinson memang dikenal sebagai pelaku homoseksual yang terang-terangan. Ia telah hidup bersama dengan pasangan homoseksnya bernama Mark Andrew selama 14 tahun.

Terpilihnya Gene Robinson sebagai tokoh penting dalam Gereja bisa dikatakan sebagai satu puncak kesuksesan gerakan liberalisasi di dunia Kristen. Mereka berhasil menjungkirbalikkan satu ketentuan yang sangat tegas di dalam Bible, yang mengutuk perbuatan homoseksual. Dalam kitab Imama 20: 13 disebutkan, “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”

Namun, seperti diketahui, arus sekularisasi dan liberalisasi di dunia Barat begitu kuat berlangsung. Arus liberalisasi Gereja ini sudah cukup lama menerjang. Dignity, sebuah organisasi gay Katolik internasional, pada tahun 1976 sudah mempunyai cabang di 22 negara bagian AS, termasuk di Kanada. Di berbagai negara Barat, juga muncul organisasi serupa, seperti Acceptance di Australia, Quest di Inggris, dan Veritas di Swedia. Keanggotaan mereka ketika itu sudah mencapai 5.000 orang.

Pada edisi 6 Januari 1996, majalah The Economist menulis satu judul “Let them wed”, yang mengimbau agar kaum gay atau lesbi diberi hak hukum untuk melakukan perkawinan. Alasannya sederhana, mengapa orang yang mau melaukan tindakan yang tidak merugikan orang lain sedikit pun dilarang? Bukankah itu menjadi hak individualnya? Jika orang dewasa lain dibolehkan menikah, mengapa kaum homo dan lesbi tidak diperbolehkan?

Jadi, dasar logika yang digunakan adalah “hak dan kebebasan individu” dan “tidak merugikan orang lain”. Logika kebebasan individu–asal tidak merugikan orang lain–ini telah menjebak masyarakat Barat dan masyarakat sekuler lainnya untuk menerapkan hukum yang berdasarkan pada hak individu, seperti dalam kasus zina. Jika zina dihalalkan oleh masyarakat dan negara, lalu apa logikanya negara mau mengharamkan homoseksual?

Dalam konsep Bible, perbuatan zina dipandang sebagai kejahatan yang sangat berat. Hukuman bagi pezina adalah hukuman mati, dengan cara dilempari batu sampai mati. Beberapa jenis di antaranya malah dihukum bakar hidup-hidup. Jadi, jika zina yang jelas-jelas merupakan tindakan jahat saja telah dihalalkan, bagaimana mungkin mereka dapat menemukan logika bahwa homoseksual adalah perbuatan yang terlarang. Maka, bisa diduga, kasus homoseksual di negara-negara Barat dan negara sekuler lainya akan menjadi persoalan pelik. Satu sisi agama jelas mengutuk tindakan maksiat seperti itu, namun pada sisi lain, negara sudah terjebak pada pemikiran demokrasi sekuler, yang menyerahkan urusan moral pada pendapat masyarakat.

AS pernah mengalami kasus pelik tentang larangan minuman keras. Mula-mula rakyat Amerika menyetujui rencana pengundangan “The Prohibition Law of America”. Minuman keras mereka nilai menimbulkan dampak negatif terhadap akal, mental, dan ketenangan masyarakat. Akan tetapi, ketika hukum ini mulai diberlakukan sungguh-sungguh, rakyat Amerika yang sudah kecanduan alkohol kemudian memberontak, dan menuntut pembatalan perundang-undangan tersebut. Rakyat yang dulunya menerimanya, kemudian berbalik menolaknya.

Masyarakat Barat seperti terjebak dalam berbagai titik ekstrem dan lingkaran setan yang tiada ujung pangkal dalam soal nilai. Mereka berangkat dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lainnya. Dalam kasus homoseksual, dulu mereka memperlakukan kaum homoseks dengan sangat kejam dan sadis. Robert Held, dalam bukunya, Inquisition, memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan Inguisisi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dipaparkannya lebih dari 50 jenis dan model alat-alat penyiksa yang sangat brutal, seperti alat pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800 diperkirakan sekitar 2 sampai 4 juta wanita telah dibakar hidup-hidup di daratan Katolik maupun Protestan Eropa. Dalam buku itu juga disebutkan bahwa kaum homoseks digergaji hidup-hidup. Dalam kasus gerakan feminisme, Barat juga terjebak ke dalam titk-titik ekstrem. Jika dulu mereka menindas kaum wanita habis-habisan, maka kemudian mereka memberikan kebebasan tanpa batas kepada wanita.

Kaum feminis juga berusaha keras bagaimana agar gerakan mereka mendapat legitimasi dari Bible. Mereka tidak lagi menulis God, tetapi juga Goddes. Sebab, gambaran Tuhan adalam agama mereka adalah Tuhan maskulin. Mereka ingin Tuhan yang perempuan. Dalam buku Feminist Aproaches to the Bible, seorang aktivis perempuan, Tivka Frymer-Kensky, menulis makalah dengan judul “Goddesses: Biblical Echoes”. Aktivis lain, Pamela J. Milne, mencatat bahwa dalam tradisi Barat, Bible menjadi sumber terpenting bagi pendindasan terhadap perempuan. Tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku The Women Bible. Ia mengkaji seluruh teks Bible yang berkaitan dengan perempuan. Kesimpulannya, Bible mengandung ajaran yang menghinakan perempuan, dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar pandangan Kristen terhadap perempuan. Berikutnya, Stanton berusaha meyakinkan bahwa Bible bukanlah kata-kata Tuhan, tetapi sekadar koleksi tentang sejarah dan mitologi yang ditulis oleh kaum laki-laki. Sebab itu, perempuan tidak memiliki kewajiban moral untuk mengikuti ajaran Bible.

Globalisasi dan Westernisasi

Titik-titik ekstrem pada gerakan pembebasan wanita yang kemudian dikenal dengan gerakan “kesetaraan gender (gender equality)” ini juga menjadi tren global. Banyak kalangan Muslim yang kemudian mencoba mengotak-atik ajaran agama Islam yang dinilai membelenggu atau menindas wanita. Ujung-ujungnya adalah upaya untuk mendelegitimasi kitab suci Al-Qur’an, dengan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang bias gender, sebagaimana fenomena serupa dalam tradisi Kristen. Jika masyarakat sudah dibuat tidak meyakini kebenaran ajaran agama, maka yang akan dijadikan pegangan adalah akal manusia semata atau hawa nafsu mereka. Tidak ada standar kebenaran. Pada ketika itulah masyarakat akan terseret ke dalam arus nilai yang serba relatif dan temporal. Kebenaran tergantung pada kesepakatan. Jika masyarakat sepakat bahwa pelacuran atau minuman keras adalah halal dan baik, maka itu dinilai sebagai kebenaran. Agama tidak diberi hak untuk campur tangan menentukan baik dan buruk di tengah masyarakat.

Sejumlah cendekiawan sekular-liberal secara terang-terangan mempromosikan paham yang meletakkan agama adalah masalah privat, dan tidak berhak campur tangan dalam urusan seni. Seni adalah seni. Film, misalnya, dianggap sebagai karya seni, dan tidak layak dicampuri nilai-nilai agama. Tidak ada batas aurat, karena ini masalah seni. Dalam tradisi Yunani, hampir semua patung ditampilkan dalam bentuk telanjang bulat. Katanya, itu untuk menampilkan keindahan, menampilkan apa adanya, tanpa ada kemunafikan. Toh, di berbagai museum di Barat, sebagian patung ditutupi alat kelaminnya. Negara-negara Barat tertentu juga melarang orang berdemonstrasi dalam keadaan telanjang bulat.

Pada tingkat global, cara pandang sekular-liberal gaya Barat ini kemudian diglobalisasi sebagai bagian dari upaya pelestarian hegemoni. Ini adalah wajar dalam logika politis yang dominan saat ini. Demokratisasi liberal mengharuskan sekularisasi dan sekaligus pluralisme, yang tidak membedakan manusia atas dasar agama atau ras tertentu, namun manusia dikotak-kotakkan atas dasar bangsa dan negara. Proses imitasi terhadap pola pikir dan budaya kekuatan dominan akan memuluskan program hegemoni di bidang bisnis dan ekonomi. Dengan meminum Coca-Cola dan menyedot Marlboro, seseorang dapat merasa menjadi bagian dari masyarakat global yang bergengsi. Hanya cara pikir yang sudah ter-westernized yang memungkinkan seorang Muslim menggilai mode “polos tengah” yang mempertontonkan perutnya, rambut dicat warna-warni, dan aurat diumbar tanpa perhitungan. T-shirt dan jeans ketat mendominasi sebagian kalangan remaja, bukan karena pakaian ini nyaman dan sehat, melainkan karena sebagian artis yang dipuja dan dijadikan idol telah memopulerkannya. Busana minim bahan yang sangat vulgar mempertontonkan aurat dijadikan sebagai tren, kebanggaan kaum remaja. Ada kebingungan nilai yang melanda.

Jika ditelusuri, sikap eksploitatif terhadap tubuh wanita itu–atas nama pemujaan terhadap wanita–merupakan kutub ekstrem yang lain setelah pada masa peradaban Barat yang silam mereka berada di kutub penindasan wanita yang serba brutal. Sampai abad ke-17, di Eropa, wanita masih dianggap sebagai jelmaan setan atau alat bagi setan untuk menggoda manusia. Sejak awal penciptaannya, wanita memang dianggap sudah tidak sempurna. Mengutip seorang penulis Jerman abad ke-17, Adler menulis, “Adalah sebuah kenyataan bahwa kaum wanita hanya memiliki iman yang lebih lemah (kepada Tuhan) [It is a fact that women has only a weaker faith (in God)] ….” Dan itu, kata mereka, sesuai dengan konsep etimologis mereka tentang wanita, yang dalam bahasa mereka disebut female, berasal dari bahasa Yunani: femina. Kata femina berasal dari kata fe dan minus. Fe artinya fides, faith (kepercayaan atau iman). Adapun mina berasal dari kata minus, artinya ‘kurang’. Jadi, femina artinya ‘seseorang yang imannya kurang’ (one with less faith). Karena itu, kata penulis Jerman abad ke-17 itu: “Karena itu, wanita memang secara alami merupakan makhluk jahat (Therefore, the female is evil by nature).” [Philip J. Adler, World Civilization (Belmont: Wasworth, 2000), hlm. 289)].

Penyebaran budaya Barat atau Amerika yang didominasi oleh budaya konsumerisme, hedonisme, dan materialisme menjadi tema menarik dalam kajian tentang globalisasi. Globalisasi yang melanda dunia ditandai dengan hegemoni food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode), dan thought (pemikiran). Globalisasi adalah sesuatu yang kompleks dan sulit dihindarkan oleh umat manusia yang semakin terintegrasi dalam perkembangan alat-alat komunikasi dan transportasi modern. Anthony Giddens mencatat, “Globalisasi sesungguhnya merupakan satu set proses yang rumit, tidak tunggal. Dan segala proses ini bekerja dengan cara yang saling berlawanan atau berlainan arah.” (Anthony Giddens, How Globalization is Reshaping Our Lives (Londong: Profile Books, 1999, dikutip dari makalah Prof. Amer al-Roubaie berjudul Heritage, Culture, and Globalization, yang disampaikan dalam konferensi internasional bertemakan “The Ummah at the Crossroads: The Role of the OIC”, di Kuala Lumpur, 13-14 Oktober 2003).

Pada kenyataannya, globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk “imperialisme budaya” (cultural imperialsm) Barat terhadap budaya-budaya lain. Prof. Amer al-Roubaie, pakar Globalisasi di International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), mencatat: “Telah dipahami secara luas bahwa gelombang tren budaya global dewasa ini sebagian besar merupakan produk Barat, menyebar ke seluruh dunia lewat keunggulan teknologi elektronik dan berbagai bentuk media dan sistem komunikasi. Istilah-istilah seperti penjajahan budaya (cultural imperialism), penjajahan media (media imperialism), penggusuran kultural (cultural cleaning), ketergantungan budaya (cultural dependency), dan penjajahan elektronik (electronic colonialism) digunakan untuk menjelaskan kebudayaan global baru serta berbagai akibatnya terhadap masyarakat non-Barat.”

Hegemoni Amerika dalam dunia hiburan dan pembentukan budaya global dapat dikatakan sebagai bentuk “penjajahan budaya oleh Amerika (American Cultural Imperialism)”. Industri film Amerika dan berbagai stasiun TV-nya mendominasi pembentukan budaya global, dan di balik itu semua mempromosikan kepentingan-kepentingan Amerika dengan mengekspor modernitas dan mempropagandakan konsumerisme. Globalisasi adalah satu masyarakat post-kapitalis yang mendorong kapitalisme dengan mempromosikan sejumlah karakteristik dari kapitalisme. Itulah sebenarnya yang sedang menimpa umat manusia di seluruh pelosok dunia, sebuah proses imperialisme budaya yang dilakukan Barat, yang akhirnya juga tidak lepas dari kepentingan (interests) dari negara-negara kuat.

Berbagai kajian tentang fenomena globalisasi telah banyak diungkapkan. Namun, kuatnya arus konsumerisme, hedonisme, dan narkotikisme yang dijejalkan kepada masyarakat dunia melalui berbagai acara-acara hiburan memang sulit dibendung. Sihir-sihir dunia showbiz begitu menawan dan menyapu akal sehat. Mode datang silih berganti. Artis muncul dan lenyap tanpa henti, terus bergiliran. Manusia terus dijejali cara berpikir pragmatis dan hedonis, untuk melahap apa saja, menikmati hidup, tanpa peduli apakah cara yang ditempuh menghancurkan nilai-nilai akhlak dan agama atau tidak. Hidup adalah untuk mengejar kesenangan.

Jika nilai sekular-liberal Barat sudah mencengkeram otak sebagian kalangan Muslim–apalagi di kalangan tokoh atau pemimpin agama–maka problemnya menjadi sangat pelik. Sebab, dari mulut mereka akan keluar legitimasi keagamaan terhadap sesuatu yang jelas-jelas bathil, sebagaimana fenomena yang terjadi dalam agama Yahudi dan Kristen. Di Indonesia, hal seperti ini pernah terjadi dalam berbagai kasus, seperti kasus Inul dan film Buruan Cium Gue (BCG). Film BCG dipersoalkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan KH Abdullah Gymnastiar. Dengan tegas, pemimpim Pesantren Darut Tauhid itu menyatakan bahwa ajakan berciuman di luar nikah adalah sama dengan ajakan untuk berbuat zina. Hasilnya, pada tanggal20 Agustus 2004 film BCG ditarik. Tentu banyak yang bersyukur dengan ditariknya BCG dari peredaran. Namun, tampaknya ada di antara kalangan masyarakat Indonesia yang marah dan protes dengan penarikan BCG.

Menyusul pelarangan tersebut, pada 25 Agustus 2004, kelompok yang menamakan diri “Eksponen Kebebasan Berekspresi” (EKSPRESI), menentang dan menyesalkan pelarangan tersebut. Kelompok ini berpendapat bahwa pelarangan tidak mencerdaskan kehidupan warga Indonesia. Mereka menyatakan, “Maka kami menentang langkah sejumlah pihak, antara lain Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, MUI, dan KH Abdullah Gymnastiar, yang menyatakan sikap mereka terhadap film BCD melalui tekanan, bahkan ancaman, dan penghakiman sepihak, dengan mengatasnamakan “moral bangsa”.”

EKSPRESI khawatir, pemberangusan terhadap BCG akan membuka jalan bagi kembalinya represi dan kesewenangan terhadap dunia kreativitas seperti yang sering terjadi pada zaman Orde Baru. Tidak ada satu pihak pun yang bolehmengambil alih dan memonopoli kewenangan dalam melakukan penghukuman dan pemberangusan, atas nama apa pun. Baik itu alasan politik, moral, agama, dan adat. Kami cemas, sekali alasan itu dipakai, ia bisa dimanipulasi dan disalahartikan setiap waktu untuk memberangus kebebasan berkarya. Ini bukan saja membahayakan kebebasan berekspresi, namun pada gilirannya, juga akan membahayakan demokrasi negeri ini. Begitulah logika EKSPRESI.

Sebelumnya, kasus Inul, telah menyita begitu banyak pikiran warga masyarakat. Pro-kontra goyang ngebor Inul berlangsung hebat. Bahkan, seorang kiai terkemuka yang juga dikenal sebagai seniman dan penyair, KH Mustofa Bisri, harus merasa ikut membela Inul dengan memamerkan karyanya berupa lukisan berjudul “Zikir Bersama Inul”. Dalam lukisan itu, Kiai Mustofa melukis sekelompok kiai berpakaian khas lengkap dengan sarung, jubah putih, dan sorban, duduk berzikir mengelilingi sesosok wanita bertubuh bahenol yang sedang bergoyang ala penyanyi dangdut kontroversial itu.

Di era globalisasi, pro-kontra tentang batas-batas moral akan selalu terjadi. Kaum sekular-liberal dengan mudahnya berpikir bahwa “kebebasan berekspresi” adalah standar moral yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Jadi, kata mereka, tidak boleh ada satu pihak pun yang boleh mengambil alih dan memonopoli kewenangan dalam melakukan penghukuman dan pemberangusan, atas nama apa pun. Baik itu alasan politik, moral, agama, dan adat.

Logika kaum liberal ini berasal dari prinsip “humanisme sekular”, yang menempatkan manusia sebagai Tuhan. Manusialah yang menentukan segala hal, dengan kebebasan individunya–asal tidak merugikan orang lain. Mereka tidak mau ada campur tangan agama dalam masalah moral. Mereka ingin mengatur diri mereka sendiri. Menurut mereka, Tuhan tidak berhak campur tangan dalam urusan kehidupan. Negara, ulama, atau kelompok apa pun tidak boleh ikut-ikutan melarang.

Kelompok semacam ini tidak mau belajar dari sejarah dan juga pengalaman-pengalaman negara lain. Pada kasus film BCG, persoalan intinya bagi kaum Muslimin adalah soal zina. Al-Qur’an sudah menegaskan bahwa zina adalah dosa besar. Allah SWT berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan tindakan yang buruk.” (Al-Isra: 32). Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri.” (HR Thabarani dan Al-Hakim). Beliau juga bersabda, “Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian, maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada Allah SWT, semoga kalian tidak menemui zaman itu. Lima perkara itu ialah (yang pertama) tidak merajalela praktik perzinaan pada suatu kaum, sampai mereka berani berterus terang melakukannya, melainkan akan terjangkit penyakit menular dengan cepat, dan mereka akan ditimpa penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang lalu ….” (HR Ibnu Majah).

Jadi, dalam pandangan Islam, zina adalah perbuatan kriminal kelas berat, dan kejahatan yang sangat serius, sehingga segala hal yang menjurus ke arah zina, yang mendekati zina wajib ditutup. Film BCG dengan jelas sekali mengajak masyarakat untuk mendekati zina, yang dalam bahasa Aa’ Gym dikatakan, judul film itu artinya sama dengan “buruan zinahi gue”. Kaum sekular-liberal memandang bahwa zina bukanlah kejahatan, karena tidak merugikan orang lain. karena itu, KUHP kita warisan Belanda juga tidak melihat zina sebagai kejahatan.

Islam memandang bahwa zina adalah sumber kehancuran masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw. Di Indonesia wabah zina dan pembudayaan perilaku kebebasan seksual di luar nikah sebenarnya sudah sangat mengkhawatirkan. Angka aborsi (pengguguran kandungan), misalnya, tampak fantastis. Tahun 1997 WHO memperkirakan sekitar 4,2 juta bayi di gugurkan di Asia Tenggara. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan, ketika itu, Khofifah Indar Parawansa, mengutip data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dalam tahun 1999-2000, diperkirakan wanita yang melakukan aborsi sebanyak dua juta orang, di antaranya 750.000 remaja yang belum menikah. Dr. Biran Affandi SpOG, Ketua Umum Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI), menunjuk angka 2,3 juta untuk aborsi di Indonesia per tahun.

Jika fenomena semacam itu sudah muncul, maka nilai moral agama akan hancur dan memasuki lingkaran setan kebingungan yang tiada ujung. Cara mengatasinya tentu saja kembali kepada agama dan tidak mengikuti langkah-langkah setan yang terkutuk. Wallahu a’lam.

Sumber: Diringkas dari Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Adian Husaini (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 3-27.

Oleh: Abu Annisa