Aktivis Islam Menghadapi Tantangan Global: Upaya Memperbanyak Basis

Globe

Alislamu.com — Setelah jama’ah memfokuskan aktifitas dakwahnya pada upaya-upaya perbaikan individu dan pengkaderan dengan gemblengan tarbiyah dan I’dad, kemudian mempertalikan mereka dengan ikatan ukhuwah dan Islam ingga tertata dengan baik.

Setelah itu, maka ia harus memilih figur-figur da’I yang akan mengemban tanggung jawab tabligh dakwah di setiap tempat.

Tak mungkin bagi para da’I untuk menuai hasil dari pekerjaan mereka dan memetik buah dakwah mereka kecuali sesudah berjalan menurut manhaj yang telah digariskan dan rencana yang matang untuk menarik simpati manusia dan memperoleh pendukung.

Manhaj tersebut harus bersandar pada asas-asas berikut:

Pertama: Mempelajari lingkungan dan situasinya.
Kedua: Mengikuti kaidah dalam berbicara dan percakapan.

Yakni berbicara dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh kaumnya, perlahan dalam pengucapan, tidak memaksakan diri dan membuat-buat ucapan supaya kelihatan fasih, berbicara sesuatu yang tidak membuat bosan dan jenuh, berbicara menurut kadar kemampuan pemahan obyek, dan lainnya.

Ketiga: Menentukan skala prioritas

Hendaknya seorang da’I mulai lebih dahulu menyeru kepada aqidah sebelum ibadah dan kepada ibadah sebelum tata cara hidu; demikian seterusnya.

Keempat: Menjauhkan diri dari perselisihan fiqhiyah

Dalam sebuah kaidah dikatakan, “Kita beramal dalam perkara yang kita bersepakat atasnya dan bertoleransi sebagian kita pada sebagian yang lain dalam perkara yang kita berselisih di dalamnya.”

Kelima: Menetapi cara-cara berdakwah yang lembut dan santun.

Keenam: Menguasai situasi majlis dan memberikan kesan positif pada diri orang.

Ketujuh: Menggunakan sarana-sarana tabligh sebagai pendukung dakwah.

Kedelapan: Memposisikan orang sesuai dengan kedudukannya.

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan

Sesungguhnya seorang da’I tak mungkin dapat memberikan kesan pengaruh yang mendalam pada diri orang jika dia tidak menjiwai dakwah dengan penjiwaan yang benar dan tulus dan menampakkan kesan-kesan penjiwaannya itu pada anggota badan, dan seluruh gerak-geriknya tanpa dibuat-buat, tanpa memaksakan diri atau over acting.

Tak mungkin seorang da’I dapat menjiwai dakwah Islam, turun dikancah dakwah dengan tekad, keikhlasan dan kesabaran, kecuali meletakkan dalam angannya dua hal:
1. Mengetahui sejauh mana konspirasi-konsipirasi musuh yang ditujukan kepada Dienul Islam dan negeri-negeri Islam.
2. Meletakkan isu-isu persoalan utama kaum muslimin dalam lubuk hati dan perasaannya.

Akan tetapi apakah cukup bagi jama’ah islam hanya mendidik dan melatih para anggotanya hanya dalam hal manhaj dakwah saja dan mengembalikan persoalan interaksi dengan dakwah ke dalam hati dan perasaan mereka masing-masing, kemudian membiarkan mereka bekerja tanpa perencanaan yang sistematis dan tanpa langkah-langkah program yang terfokus?

Jama’ah harus menyusun konsep program yang sistematis dan jelas targetnya untuk para anggotanya dimana poin-poin programnya yang pertama adalah membagi-bagi pekerjaan bidang dakwah, lalu masing-masing bidang menjalankan tugas dan fungsinya. Adapun pembagian tugas ini disesuaikan dengan pengetahuan dan spesialisasinya pada lingkup dan lingkungan yang menjadi obyek garap.

Yang terpenting para da’I harus tetap beraktifitas dan bekerja serta berpikir mencari solusi terbaik untuk merumuskan metode perjuangan dan strategi dakah yang tepat, bagaimanapun situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Allah akan senantiasa menyertai mereka dan Dia akan menolong dan membela mereka, menunjukkan jalan bagi mereka serta menuntun mereka meraih kejayaan Islam dan kemenangan kaum muslimin.

1. Perencanaan yang Matang

Apa rambu-rambu dari perencanaan yang matang dan terfokus yang harus ditempuh jama’ah Islam dan pemimpinnya?

Mereka yang menggunakan strategi perjuangan dengan cara revolusi politik dan perubahan social di dunia meletakkan dalam pertimbangan empat cara untuk mencapai tujuan meraih kemenangan:

a. Kudeta militer
b. Perang gerilya
c. Revolusi rakyat
d. Pemilihan umum

Kita akan membahas dan mendiskusikan setiap metode dan mana yang paling benar dan tepat untuk mencapai tujuan dan target, berdasarkan realita jama’ah dan kemampuan yang dimilikinya, posisi strategis serta kekompakan dan soliditasnya.

Pertama: Kudeta Militer

Sesungguhnya amat sulit sekali di suatu tempat, orang-orang Islam merebut tampuk kekuasaan melalui cara kudeta militer di bawah kekuasaan rezim sekuler, karena beberapa alasan berikut:

1. Sesungguhnya para penguasa sukuler, baik komunis, atau sosialis atau nasionalis, tidak gampang dan tidak bodoh membiarkan seorang perwira di jajaran militer yang mempunya prinsip Rabbku adalah Allah dan agamaku adalah islam, berada di tempat yang penting dan di posisi yang strategis. Mereka menggunakan badan rahasia yang kuat dan terorganisir rapi berupa badan pengawasan dan badan intelijen untuk mengawasi gerak-geriknya.
2. Tak seorangpun perwira militer di bawah kekuasaan rezim sekuler yang bisa mencapai level kepemimpinan tinggi berpengaruh kecuali sesudah melalui tahap-tahap ujian luar dan dalam untuk mengetahui loyalitasnya kepada pemerintah dan kebenciannya kepada Islam.
3. Seorang perwira muslim yang taat agama akan dapat dengan cepat terlihat jati dirinya di mata mereka. Yakni ketika dia mengerjakan shalat tepat waktu, tak mau menghadiri pesta-pesta hiburan dan lainnya.
4. Dari waktu ke waktu, pemerintah sekuler selalu mengumumkan daftar baru perwira-perwira Islam yang dibebas tugaskan (non job) atau dimutasi. Dan jika ada jajaran militer, perwira yang belum terbuka kartunya dan belum tersingkap jati dirinya, maka jumlahnya sangat sedikit; tak mungkin bagi mereka yang hanya sedikit ini bisa merubah rezim pemerintahan atau mencetuskan kudeta militer.

Kedua: Perang Gerilya

Tak mungkin pula bergantung dengan cara perang gerilya dalam melakukan perubahan terhadap pemerintahan manapun, kendati perang tersebut terorganisir rapi dan meski operasi-operasi militernya terarah dan terfokus.

Itu karena perang gerilya hanya mengandalkan sekelompok kecil dari warga masyarakat yang terpelajar dan terlatih dalam setiap operasi-operasi peperangan yang dilakukanya. Mereka hanya menanti kesempatan demi kesempatan untuk melancarkan serangan terhadap suatu instansi-instansi pemerintah, merobohkannya dan membakarnya, atau melakukan penyerangan terhadap para pejabat tinggi Negara dengan jalan penculikan atau pembunuhan.

Ini dari satu sisi, kemudian dari sisi lain; mereka yang melakukan peperangan gerilya ini mengandalkan kerahasiaan yang sangat tinggi dalam aksi-aksi militer dan operasi-operasi peperangannya; baik persembunyianya, rencana dan operasionalnya. Ini berarti mereka tidak memiliki wilayah territorial bebas untuk tempat berlindung, untuk mengaktualisasikan kemerdekaan mereka serta menikmati ketenangan dan rasa aman saat mereka menginjakkan kaki di sana.

Mereka yang memiliki pengalaman dalam soal peperangan dan revolusi hampir-hampir bersepakat bahwa kelompok-kelompok gerilyawan yang memerangi rezim pemerintahan yang berkuasa, tak dapat diandalkan untuk merubah tatanan yang ada, yang demikian itu karena kekuatan mereka, baik dari sisi jumlah personil maupun perlengkapan militernya tidak cukup memadai untuk mengalahkan rezim penguasa. Dari sisi lain, kelompok-kelompok gerilyawan ini menjadi target operasi militer rezim penguasa. Mereka diburu untuk dilumpuhkan, disapu dan ditumpas. Paling-paling kelompok gerilyawan itu hanya bisa menggoyang rezim penguasa, tidak akan dapat menggulingkannya. Bahkan konsekuensi yang harus mereka terima adalah kehancuran dan kemusnahan.

Inilah kenyataannya, kecuali jika mereka menggunakan cara-cara yang tidak syar’I dan tidak bermoral dalam menggulingkan rezim yang berkuasa, dimana sasaran operasi-operasi militer mereka adalah menghancurkan lembaga-lembaga ekonomi milik rakyat, yang notabene untuk menjaga kepentingan rakyat. Disamping itu cara-cara tersebut juga menjadi salah satu penyebab jatuhnya korban yang besar di kalangan sipil akibat operasi-operasi penyerangan mereka dan bom-bom yang mereka ledakkan.

Dari keterangan yang saya kemukakan di atas, menjadi jelaslah bahwa tidak mungkin bagi orang-orang Islam untuk mengendalkan cara perang gerilya dalam upaya mereka menggulingkan rezim penguasa, karena cara tersebut bisa dikatakan setenah mustahil di satu sisi, dan sisi lain cara tersebut tidak syar’I dan tidak bermoral.

Ketiga: Revolusi Rakyat

Sesungguhnya yang dimaksud dengan Revolusi Rakyat (People Power) adalah seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelompok dan unsur, tua muda, lelaki dan wanita, kalangan pelajar dan pekerja, semuanya bergerak secara serentak menentang rezim penguasa, berusaha menggulingkannya serta menggantikannya dengan yang lebih baik.

Revolusi dalam pengertian dan logika seperti ini tak mungkin dapat mencapai tujuan menjatuhkan rezim penguasa dan melakukan perubahan system secara total jika tidak bersandar pada dua hal utama berikut:

1. Kepemimpinan yang tunggal yang seluruh anak bangsa tanpa kecuali mendukung dan berjuang bahu membahu bersamanya.
2. Memberikan bai’at (janji setia) kepadanya untuk mendengar dan taat dalam keadaan sempit maupun lapang, rela maupun terpaksa dan untuk beramal serta melaksanakan perintah.

Adapun jika jama’ahnya banyak, dan di sana sini ada bai’at, setiap jama’ah mempunyai Imam (amir) yang dibai’at dan dibela oleh masing-masing pendukungnya, dan setiap imam memiliki jama’ah sendiri yang ia pimpin dan perhatikan, ini –demi Allah—adalah benar-benar perpecahan dan perselisihan, bahkan merupakan sebab timbulnya bencana, merusak umat, pembunuh revolusi, perongrong amal perjuangan dan membuat musuh-musuh Islam senang.

Terkadang revolusi rakyat tidak memerlukan perlawanan, penggunaan senjata dan cara-cara kekerasan, revolusi yang didukung segenap potensi umat, disiplin dalam ketaatan dan memberikan bai’at pada pimpinan dan Amir seperti ini hanya cukup dengan menunjukkan kemarahannya terhadap rezim penguasa dan mencabut legitimasinya, dengan jalan demonstrasi-demonstrasi besar-besaran secara damai dan arak-arakan massa yang besar dan dan bergelombang.

Dan ketika rezim penguasa menghadapi penentangan yang luas dan kemarahan rakat yang tak terbendungkan ini, seberapapun mereka bertahan, seberapapun mereka melakukan pembantaian dan seberapapun mereka melakukan penangkapan, maka pada akhirnya mereka harus menyerah terhadap kemarahan rakyat dan tunduk kepada tuntutan mereka dan meninggalkan kursi kekuasaannya. Dan akhirnya kemenangan di tangan rakyat dan terjadi proses alih kekuasaan, dimana pemerintah baru menggantikan rezim lama.

Bagaimana dengan Jihad (revolusi) Mujahidin Afghan?

Jihad Afghan jika kita nilai dengan tolok ukur Islam dan timbangan yang obyektif, pasti kita akan mendapati bahwa ia sangat jauh berbeda disbanding revolusi-revolusi lain pada umumnya. Ya benar, berbeda dengan yang lain dalam hal-hal berikut:
1. Ketika muncul dengan nama Islam, dan ketika memaklumatkan jihad pertama kalianya sebagai jihad fie sabilillah.
2. Masyarakat di sana memegang teguh aqidah Islam, bisa hidup keras dan sederhana, memiliki sifat sabar dan pantang menyerah dan berpengalaman dalam jihad dan perang.
3. Tak ada pilihan bagi penduduk di sana kecuali harus mengangkat senjata melawan rezim komunis yang telah menjual Negara, bangsa dan agama kepada Rusia dan pasukan militernya, yang melakukan invasi ke negeri mereka.
4. Di negeri Afghanistan yang luas, terdapat tempat-tempat yang strategis seperti gunung-gunung n gtuldan iklim yang bersuhu sangat dingin. Tempat-tempat itu sangat strategis dan memberikan kemudahan bagi mujahidin untuk bersembunyi dan berlindung dalam menghadapi ancaman serta mempersiapkan diri dan menggalang kekuatan untuk melakukan pertempuran dan perlawanan.
5. Mudah bagi para mujahidin di tempat manapun untuk menjadikan tempat-tempat strategis tadi sebagai daerah bebas untuk markas perjuangan mereka. Mereka bisa membuat basis-basis militer di sana serta menggerakkan pasukan dari sana. Dan mereka telah melakukannya sehingga dua pertiga wilayah Afghanistan telah berada di tangan mujahidin, berkat karunia Allah.
Bertitik tolak dari dasar penilaian di atas, maka yang membedakan jihad Afghan dengan revolusi-revolusi pada umumnya, adalah bahwa mujahidin memulai jihad mereka dengan berkah Allah dan mereka terus berjihad fie sabilillah untuk membebaskan negeri mereka dari cengkraman kuku komunis dan pemerintah boneka atheis.

Dan dengan niat yang tulus, aqidah yang kokoh, ketabahan mereka yang tergoyahkan, tekad mereka yang membaja, dan jihad mereka yang terus menerus berkesinambungan, maka mereka —dengan izin Allah— akan meraih kesuksesan, kemenangan yang nyata serta dapat mewujudkan pemerintahan islam yang murni.

Keempat: Pemilu di bawah system demokrasi.

Sesungguhnya cara ini sangat tidak mungkin untuk bisa digunakan sebagai sarana melakukan perubahan, bahkan sangat sulit di suatu tempat orang-orang Islam bisa meraih kendali kekuasaan melalui system pemilihan wakil rakyat (system parlemen) di bawah kekuasaan rezim sekuler!.

Yang demikian itu disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Penerimaan calon untuk ikut dalam pemilihan berada di tangan penguasa sekuler. Merekalah yang menyeleksi para calon legislative menurut aturan main mereka.
2. Hak membatalkan hasil suara dalam pemilihan di tangan mereka juga. Merekalah yang mengantarkan seseoang ke parlemen atau menjatuhkan siapa saja yang mereka kehendaki.
3. Hak pembubaran parlemen di tangan mereka. Ketika mereka melihat para anggota parlemen menempuh langkah-langkah kebijakan yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka mereka segera membekukan parlemen aau membubarkannya, atau mencabut hak kekebalan dari sebagian anggotanya.

Saya ingin membisikkan pada telinga mereka yang ingin cepat-cepat meraih kemenangan tanpa mau mengambil sebab-sebab mengantarkan kepada kemenangan, akan realita di bawah ini:

Kita seharusnya membedakan antara tabi’at jama’ah yang bertemu dan bersatu di atas prinsip-prinsip Islam dan dakwah Illa Allah di dalam masyarakat jahiliyah, dimana penguasanya sekuler, memusuhi para da’I dan para tokoh reformasi dan bertindak represif; dengan tabi’at masyarakat yang memeluk agama Islam, memberikan bai’at kepada pemimpin (Islam), dan terbina dalam gemblenangan aqidah dan prinsip-prinsip tarbiyah yang terpuji; sementara mereka menunggu kesempatan dan momentum yang untuk menegakkan ‘izzatul Islam dan Daulah Islam.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka dapatlah saya kataka bahwa kondisi jama’ah Islam di lingkungan masyarakat jahiliyah adalah seperti jama’ah mukminah (kelompok orang-orang beriman) yang dimpimpin oleh Nabi saw. Pada fase Makkah.

Sementara tabi’at masyarakat yang warganya memulik agama Islam seperti seperti masyarakat yang dimpimpin Rasul pada fase Madinah. Apabila hal ini telah jelas, maka selayaknya bagi kita untuk membedakan antara perlawanan suatu masyarakat terhadap masyarakat yang lain dengan perlawanan suatu jama’ah terhadap suatu makasyarakat.

Sekuat apapun jumlah dan persiapan suatu jama’ah, maka ia tidak akan menghadapi sebuah masyarakat besar dengan rezimnya, penguasanya, perlengkapanny, jahiliyahnya dan kekerasannya.

Adapun masyarakat, apabila para anggotanya telah memeluk Islam, memberikan bai’ahnya kepada seorang amir, telah lengkap persiapan jumlah personal dan perlengkapannya, maka sesungguhnya ia akan mampu merubah rezim pemerintahan, dapat mendirikan daulah dan memberlakukan syari’at Allah.

Dan sebagai penerapan kaidah ini:
Sesungguhnya Rasulullah saw. Tidak menyetujui keinginan sebagian sahabat Anshar dalam bai’ah Aqabah Kedua, tatkala mereka meminta izin kepada beliau untuk menyerang penduduk Mina dengan pedang-pedang mereka. Mereka hendak melakukan hal tersebut setelah mereka memahami bahwa bai’at tadi menuntut kesiapan mereka untuk berperang dengan bangsa manapun juga, baik yang berkulit merah, putih atau hitam.

Dalam kitab “Imtaa’ul Asmaa’” halaman 37 dikemukakan, “Bai’at Aqabah kedua ini adalah untuk memerangi bangsa berkulit merah dan berkulit hitam. Setelah selesai bai’ah mereka, maka mereka minta izin Rasulullah saw. Untuk menyerang penduduk Mina dengan padang-padang mereka, namun Rasulullah saw. Mecegah mereka dengan ucapannya, ‘Kita belum diperintahkan untuk itu.’ Lalu mereka mengurungkan niatnya dan kembali ke Madinah.

Sekiranya tujuan dakwah pada fase Makkah hanyalah melenyapkan gembong-gembong kafir dan pentolan-pentolan musyrik, niscaya Rasulullah saw. Memerintahkan para pengikutnya untuk membunuh dan melenyapkan mereka.

Sekiranya tujuan masuknya seseorang ke dalam islam adalah seorang muslim menerjunkan dirinya di medan ke syahidan fie sabilillah, niscaya Nabi saw. Dan para sahabatnya mengamalkan prinsip ini ketika berlangsungnya bai’at, ketika mereka masih dalam skala jama’ah.

Tak diragukan lagi bahwa isti’maalul quwwah (penggunaan kekuatan) pada saat jama’ah dalam keadaan lemah dan dalam fase I’dad, adalah tidak selaras dengan tujuan-tujuan jangka panjang di dalam menegakkan Daulah islam, menyebarkan Islam ke penjuru dunia dan melenyapkan taghut-taghut yang bersimaharajalela di muka bumi.

Adapun fase Madinah, sesungguhnya fase ini sangat jauh berbeda dengan fase Makkah. Pada fase Madinah, Islam tersebar di setiap rumah, perkampungan dan kabilah, dan jika kita kecualikan kaum munafikin yang hanya mempresentasikan kelompok kecil saja dibandingkan dengan keseluruhan penduduk Madinah, maka sesungguhnya kota Madinah dengan semua penduduk yang ada di dalamnya dari kaum tua dan muda, lelaki dan wanita, besar dan kecil, telah memberikan bai’at dan loyalitasnya kepada Rasul.

Dari sini kita memahami akan rahasia disyari’atkannya perang di Madinah oleh Islam, yakni ketika kaum muslimin telah memiliki daulah dan eksistensi serta kekuatan dan kekuasaan di bawah pimpinan Rasul.

Tidaklah mengherankan jika kita melihat Nabi saw. Dalam periode ini –setelah Allah mengizinkan berjihad—dapat menumpas akar kemusyrikan dan paganism di seluruh kawasan Jazirah Arab dan menjadikan peribadatan hanya kepada Allah saja. Dan sebenarnya, Nabi saw. Menggerakkan satu pasukan yang berjumlah besar di Makkah –setelah melanggar perjanjian Hudaibiyah—dan ketika Nampak di atas cakrawala kota Makkah pasukan Islma yang besar, penduduk Makkah takluk sepenuhnya kepada orde baru (Islam) dan memberikan loyalitasnya serta tongkat kepemimpinannya kepada Nabi saw. Maka terjadilah perubahan total setelah peristiwa tersebut, sehingga peribadatan hanya semata-mata untuk Allah, setelah mereka sebelumnya menyembah latta, ‘Uzza, Manaat dan Hubal!

Setelah penaklukan Makkah, berkembanglah dakwah dan pengaruh agama islam di wilayah Tihamah, Nejed, Bahrain dan Yaman, dan terus meluas dan bertambah besar ke kawasan Arab dan negeri-negeri sekitarnya.

Dari sini kita mengetahui, apa yang dilakukan Nabi saw. Pada masa periode Makkah dan periode Madinah. Dan itu merupakan contoh praktek nyata bagi para juru dakwah dan bagi setiap orang yang beramal untuk Islam.

Maka tidak boleh bagi para aktifis dakwah Islam –ketika masih dalam kondisi lemah dan I’dad—untuk menggunakan kekuatan sehingga mereka tidak terseret ke arah peperangan yang memusnahkan, menghadapi penyiksaan dan penindasan.

Adapun ketika telah kokoh pilar-pilar kekuatan mereka, telah berkembang basis-basis pengaruh mereka dan telah sampai buah dari jerih payah mereka di setiap rumah, perkampungan dan kelompok masyarakat, maka bolehlah bagi mereka menempuh jalan “Aktifitas yang terfokus (jihad)” dalam rangka melenyapkan kekufuran dan menyingkirkan kekuasaan para taghut!!!

Dan pada umumnya kemenangan akan berada di pihak mereka, jika mereka memurnikan niat, menyatukan barisan di bawah satu komando kepemimpinan, menyempurnakan persiapan dan terjunke kancah pertempuran atas nama Islam.

Tak pelak lagi bahwa kenyataan yang dihadapi kaum muslimin berpengaruh besar terhadap kesinambungan mereka dan fase-fase dakwah mereka. Terkadang tekanan realita dan tantangan kekuasaan membuat seorang muslim lemah sampai dimana dia kehilangan kemampuan untuk bekerja secara sistematis dan menempuh fase-fase dakwah secara rasional. Di sini para pemuda bertanya, “Sampai kapan kita berada di bawah penindasan penguasa? Sampai kapan kita bersabar di bawah kelaliman dan kesewenangan? Sampai kapan kita harus berdiam diri menghadapi konspirasi busuk musuh-musuh Islam? …Sampai kapan…? Adakah di sana langkah upaya untuk membebaskan diri dari kenyataan yang menyakitkan ini?”

Dan ketika golongan pemuda yang bersemangat revolusioner dan terburu-terburu merespon pertanyaan-pertanyaan yang muncul ini dengan meminta agar melakukan perlawanan bersenjata dan melakukan pembalasan segera, meski dakwah sebagai taruhannya dan kelangsungan jama’ah sebagai resikonya. Kemudian berkumpullah sekelompok di antara mereka untuk menggunakan kekuatan (senjata) lalu menerjunkan diri mereka dan dakwah mereka bersama setiap orang yang mengikuti dakwah Islam…dalam bahaya yang mengancam, keburukan yang merata dan bencana yang mengahancurkan.

Al-Qur’anul Karim telah mengingatkan para pemuda aktifis dakwah Islam dengan segenap peringatan terhadap logika yang kurang perhitungan dan pemikiran yang bahaya ini. Al-Qur’an telah menerangkan bahwa orang yang paling bersemangat, bertindak serampangan dan terburu-buru adalah mereka yang pada akhirnya ditimpa kelemahan, keluh kesah, keputus-asaan dan kekalahan.

Allah berfirman, “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Setelah diwajibkan atas mereka berperangan, tiba-tiba sebagian mereka takut kepada manusia, seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat takutnya dari pada itu…” (An-Nisaa’: 77).

Sayyid Quthb rahimahullah mengatakan di dalam Tafsir Fie Zhilaalil Qur’an (II/712), “Sesungguhnya orang yang paling bersemangat, paling emosional, dan orang paling terburu nafsu terkadang menjadi orang paling takut, paling ciut nyali dan paling jatuh mentalnya. Yang demikian itu karena karena sikap emosional, terburu nafsu dan semangat yang meledak-ledak pada umumnya timbul lantaran tidak memperhitungkan resiko dan konsekuensi sebenarnya; bukan timbul karena keberanian, ketabahan dan ketetapan hati. Juga timbul karena kurangnya kesabaran dan ketabahan menghadapi kesempitan dan gangguan. Kurangnya kesabaran mendorong mereka menuntut aksi pergerakan, pembelaan dan kemenangan dalam bentuk apapun tanpa memperhitungkan harga yang harus dibayarkan untuk itu, sehingga ketika dihadapkan kepada mereka beban yang lebih berat dari yang mereka bayangkan dan harga yang lebih mahal dari yang mereka perkirakan, mereka pun menjadi orang yang pertama kali dicekam ketakutan, kecemasan dan jatuh morilnya.”

Dan terkadang gelombang semangat dan terburu-buru untuk meraih kemenangan di kalangan para pemuda mencapai taraf dimana para murabbi, para musrif, para komandan dan para pemikir terseret dalam arus ini dan mereka kehilangan kemampuan untuk mengontrol, memimpin dan kendali penguasaan diri. Ini merupakan jalan yang berbahaya dan respon yang teruburu nafsu. Mereka akan mengetahui akibat dan konsekuensinya kelak, dan betul-betul akan mengetahui bahaya dan kerugiannya. Betapa sering mereka menggigit jari karena merasa sesal ketika melihat keadaan yang mengenaskan dan memilukan menimpa dakwah dan para aktifisnya, dan menghancurkan kaum tua maupun mudanya.

Seorang pemimpin yang dikaruniai Allah akan dan pengetahuian, dan ia terserert dalam arus emosional yang menghancurkan dan menempuh jalan konfrontasi yang membinasakan, tanggung jawabnya di hadapan Allah, sejarah dan generasi umat lebih besar dibanding tanggung jawab para mutammisun dan muta’jjilun. Lebih-lebih ketika akibat yang ditimbulkan adalah kota-kota menjadi hancur, kaum lelaki tewas terbunuh, anak-anak menjadi yatim, wanita-wanita menjadi janda, kehormatan dinodai, harta beda dirampas, keluarga-keluarga terusir. Sungguh tanggung jawabnya amatlah besar, perhitungannya amat rumit dan menyakitkan.

Sesungguhnya musuh-musuh Islam sangatlah ingin sekiranya jama’ah-jama’ah Islam keluar dari khittahnya, lalu meledak-ledak semangat jihadnya dan tergesa-gesa untuk merebut kemenangan serta berupaya memetik buah sebelum tiba waktunya… Lalu pemerintah sekuler menjadikan hal tersebut sebagai alasan bagi mereka untuk melakukan tindakan represif, menyiksa para aktifis Islam dan menumpas mereka serta melumpuhkan dakwah mereka… ini diluar ekses dan dampak negative yang ditimbulkan oleh tindakan tergesa-gesa tersebut terhadap kelangsungan jama’ah, perwujudan sasarannya dan terhadap kegagalan rencana-rencananya dan masa depannya.

Sesungguhnya tekanan keadaan dan kelaliman para penguasa taghut hendaknya jangan menggiring harakah Islam atau sebagian para pemuda yang tidak sabaran untuk mengambil solusi yang salah dan mengambil langkah-langkah yang berakibat pahit; kendati masa penantian terhadap solusi yang terfokus (jihad) dan tahapan-tahapan positif dalam meraih kemenangan ini lama waktunya, namun sesungguhnya ia pada hakekatnya adalah sesuatu yang benar dan hikmah, lamanya waktu tidak menghilangkan urgensi dan kopositipan dari solusi yang benar terfokus itu. Singkatnya waktu bukanlah tanda bahwa pekerjaan yang terburu nafsu dan merusak itu adalah hak dan benar. Sesungguhnya solusi yang terfokus dan tahapan-tahapan positip dalam rasionalitas awal disertai dengan penderitaan, kepayahan, tekanan keadaan, sabar dan menahan kesabaran di atas jalan yang penuh cobaan dan terjun di medan tabligh dan dakwah dengan hikmah dan mau’izhah hasanah, dan menghimpun segenap potensi di segenap lapisan masyarakat dan keompok-kelompoknya, merupakan hal terpenting yang seharuskan dilakukan oleh harakah-harakah Islam di berbagai negeri dan di seluruh penjuru bumi. Hal-hal inilah yang akan melahirkan di tengah-tengah umat, suatu basis kekuataan massa yang sangat kokoh, yang melalui tangan mereka bangunan Daulah Islam bisa tegak, dan dengan upaya dan perjuangan mereka ‘izzah Islam bisa wujud di kalangan bangsa-bangsa muslim.

Ketika kaum muslim telah sampai pada fase “basis kekuataan massa ang koko”, dan gerakan mereka telah berkembang di berbagai kumpulan dan kelompok bana’ul Islam, dan menyebar ke seluruh penjuru negeri, ke setiap rumah, perkampungan, setiap institusi dan kelompok, maka pada saat itulah datang saat keputusan dan tahap pelaksanaan, dan tidak diragukan lagi bahwa dalam fase ini umat Islam akan membayar harga yang sangat mahal berupa pengorbanan, jiwa dan raga, akan tetapi dengan inayah Allah Ta’ala kaum muslimin akan memetik buah dari jihad, pengorbanan dan kesyahidan mereka dan mereka akan bergembira dengan sepenuh rasa kegembiraan karena pertolongan Allah dan Izzul Islam.

Adapun jika para pemuda aktifis dakwah terjun ke medan-medan pertempuran tanpa sasaran, dan mencari syahadah tanpa tujuan dan gugur di medan-medan kemudian tanpa harga, maka ini betul-betul tindakan kurang perhitungan, menggilas mujahidin itu sendiri, memukul harakah-harakah Islam dan bumi Islam, dan memapankan kekuatan musuh dan kaum tiran untuk membuat kerusakan, berbuat zhalim dan bertindak sewenang-wenang di bumi.

Ingat, hendaknya para pemuda Islam memikirkan kelangsungan dakwah mereka, mengokohkan bahtera mereka, menjauhkan dari perbutan ghuluw (berlebih-lebihan) yang memicu emosi dan membuat mereka terburu nafsu. Allah SWT sekali-kali tidak akan mengurangi pahal amal kebaikan mereka dan tidak akan menyia-nyiakan jerih payah mereka dan tidak akan menghampakan usaha serta ikhtiar mereka dan akan senantiasa bersama mereka jika mereka memurnikan niat, mengokohkan perjalanan dakwah serta mengambil sebab…

Sumber: Diringkas dari kitab Asy-Syabab al-Muslimu Fii Muwaajahati at-Tahaddiyaati, atau Aktivis Islam Menghadapi Tantangan Global, karya: Dr. Abdullah Nashih ‘Ulwan, terj. Abu Abu Abida al-Qudsi (Pustaka Al -‘Alaq, 2003), hlm. 246-269.