Larangan Melakukan Perbuatan Kaum Luth

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas,” (al-A’raaf: 81).

Allah Ta’ala berfirman, “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu),” (an-Naml: 55).

Allah Ta’ala berfirman, “Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun[1149] dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar,” (al-Ankabuut: 29).

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan atas ummatku adalah perbuatan kaum Luth (homoseksual),” (Hasan, HR at-Tirmidzi [1457]).

Diriwayatkan dasri Abdullah bin Abbas r.a, “Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth’,” (Shahih, HR Ahmad [I/3090]).

Kandungan Bab:

  1. Larangan keras terhadap perbuatan kaum Luth.
  2. Hukuman bagi pelaku liwath adalah dibunuh. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas r.a, ia berkata, “Rasulllah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah baik pelaku maupun yang dilakukan terhadapnya’,” (Shahih, HR Abu Dawud [4462]).
  3. Para ulama berbeda pendapat tentang kaifiyah membunuhnya. Ada yang mengatakan, diruntuhkan bangunan atas keduanya. Ada yang mengatakan, dilemparkan dari tempat yang tinggi sebagaimana yang dilakukan terhadap kaum Luth. Dan pendapat yang paling kuat adalah dirajam, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw. tentang pelaku liwath, “Rajamlah baik yang di atas maupun yang di bawah. Rajamlah keduanya.”
  4. Bila dikatakan, “Paraulama telah berselisih pendapat tentang hukuman bagi pelaku liwath.” Maka jawabnya perselisihan ini tidak mu’tabar, berdasarkan beberapa alasan:
    • Shahihnya hadits-hadits tentang hukuman bagi pelaku liwath.
    • Ijma’ sahabat atas pembunuhan pelaku liwath. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (V/40), “Tidak ada riwayat dari Nabi saw. bahwasanya beliau menetapkan hukuman bagi pelaku liwath. Karena perbuatan seperti ini tidak dikenal di kalangan bangsa Arab dan permasalahan tersebut tidak pernah diangkat kepada beliau. Akan tetapi telah shahih riwayat bahwasanya beliau bersabda, ‘Bunuhlah baik pelaku ataupun yang dilakukan terhadapnya.’ Hadits ini diriwayatkan oleh penulis kitab Sunnan yang empat dan sanadnya shahih. At-Tirmidzi berkata, ‘Hadits hasan dan Abu Bakar menetapkan hukum ini serta menulis kepada Khalid setelah bermusyawarah dengan para sahabat. Dan Ali adalah orang yang paling keras dalam masalah ini’.”

    Ibnu Qashar dan Syaikh kami berkata, “Para sahabat telah bersepakat atas pembunuhan pelaku liwath. Dan mereka berselisih tentang cara membunuhnya.” Abu Bakar ash-Shidiq berkata, “Dilempar dari tempat yang tinggi.” Ali berkata, “Diruntuhkan bagunan atasnya.” Dan Ibnu Abbas berkata, “Keduanya dibunuh dengan batu.” Ini merupakan kesepakan mereka atas pembunuhan pelaku liwath meskipun mereka berbeda pendapat tentang cara membunuhnya.Penulis kitab ad-Da’ wad Dawa’ berkata (hal.263), “Para sahabat Rasulullah saw. telah bersepakat atas pembunuhan pelaku liwath. Tidak ada seorangpun dari mereka yang menyelisihinya. Dan mereka berbeda pendapat tentang cara membunuhnya. Sebagian orang menyangka bahwasanya mereka berselisih dalam hal membunuhnya dan mengira bahwa masalah ini diperselisihkan di antara para sahabat. Padahal masalah ini adalah ijma’ di antara mereka, bukan masalah yang diperselisihkan.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/453-463.