Larangan Memotong Tangan Pencuri yang Tidak Mencapai Nishab dalam Mencurinya

Diriwayatkan dari Aisyah r.a, dari Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh dipotong tangan pencuri kecuali ia mencuri barang seharga seperempat dinar atau lebih,” (HR Muslim [1684]).

Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada potong tangan pada pencurian tsamar dan katsar,” (Shahih, HR at-Tirmidzi [1449] dan Ibnu Majah [2593]).

Diriwayatkan dari Amr bin Sya’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah saw., bahwasanya beliau ditanya tentang buah yang masih tergantung di pohon. Maka beliau bersabda, “Barangsiapa mengambilnya karena kebutuhan tanpa mengantonginya, maka tidak ada hukuman atasnya. Barangsiapa yang membawanya keluar maka ia dikenakan denda dua kali lipat dan hukuman. Barangsiapa mencuri buah yang telah disimpan dalam tempat pengeringan kurma dan mencapai harga seperempat dinar maka ia dipotong tangannya,” (Shahih lighairihi, HR Abu Dawud [1710] dan at-Tirmidzi [1289]).

Diriwayatkan dari Junadah bin Abi Umayah, dia berkata, “Kami bersama Busr bin Arthah berada dalam perjalanan di lautan. Lalu dibawalah seorang pencuri bernama mashdar yang telah mencuri kain bukhtiyah. Maka Busr berkata, ‘Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak boleh dipotong tangan karena mencuri dalam perjalanan.’ Kalaulah bukan karena hadits itu niscaya aku telah memotong tangannya’,” (Shahih, HR Abu Dawud [4408] dan at-Tirmidzi [1450]).

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a, bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Tidak ada hukum potong tangan bagi seorang muntahib (penodong), pencopet, dan pengkhianat,” (Shahih, HR Abu Dawud [4391]).

Kandungan Bab:

  1. Hukuman potong tangan bagi pencuri ditetapkan dalam Kitab, Sunnah, dan ijma’. Akan tetapi dalam masalah ini ada beberapa cabang yang menghalangi jatuhnya hukum potong tangan. Itulah yang aku kumpulkan dalam bab ini.
  2. Tidak boleh dipotong tangan seorang pencuri kecuali jika barang yang dicurinya telah mencapai harga seperempat dinar lebih, atau tiga dirham, atau harga al-mijan (perisai). Tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini. Satu dinar sama dengan dua belas dirham. Maka seperempat dinar ialah tiga dirham. Dan harga al-mijan adalah tiga dirham.

    Oleh karena itu nishab barang curian adalah tiga dirham. Jika barang yang dicuri telah mencapai tiga dirham, maka jatuhlah hukum potong tangan. Dan jika belum mencapai tiga dirham, maka tidak dipotong.

  3. Mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam dari tempat penyimpanan. Jika barang itu tidak disimpan atau dilindungi atau mengambil secara terang-terangan maka ia disebut mukhtalis, muntahib, dan khaain dan tidak ada hukum potong tangan atasnya.
  4. Buah-buahan jika telah dipagar dan yang dicuri telah mencapai nishab maka wajib dijatuhkan hukum potong tangan. Namun jika tidak dipagar maka ia terkena denda yang dilipatgandakan dan hukuman. Dengan demikian hadits Abdullah bin Amr mengkhususkan hadits Rafi’.

    Ath-Thahawi berkata dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/173), “Rasulullah saw. membedakan buah yang dicuri antara buah yang disimpan di tempat pengeringan dengan buah yang belum disimpan yakni yakni masih berada di pohon. Dan menetapkan hukum potong tangan dalam pencurian buah yang telah disimpan. Adapun buah yang belum disimpan maka sangsinya adalah denda dan hukuman.”

    Penjelasan hadits ini dan hadits riwayat Rafi’ dari Rasulullah saw, “Tidak ada hukum potong tangan pada tsamar dan katsar,” adalah membawakan hadits Rafi’ kepada makna buah-buahan yang berada di kebun dan tidak dipagar atau dilindungi apa-apa yang ada di dalamnya. Dan apa yang disebutkan dalam hadits Abdullah bin Amr sebagai tambahan bagi hadits Rafi’. Berbeda dengan hadits Rafi’, dalam hadits ini disebutkan hukum potong tangan dan tidak ada hukum potong tangan pada selain itu. Kedua atsar ini sejalan dan tidak bertentangan. Dan ini adalah ucapan Abu Yusuf.

  5. Demikian halnya mencuri kambing yang berada di padang gembalaan. Yakni tempat khusus untuk mengembala yang berada di gunung. Tidak ada hukum potong tangan padanya kecuali jika dipagar atau dijaga.
  6. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah penjagaan bagaimana sifatnya. Dan yang benar adalah setiap bentuk yang dimaklumi manusia sebagai bentuk penjagaan bagi harta semacam itu. Maka itu mu’abar. (lihat Syarah Sunnah [X/319]).
  7. Tidak ditegakkan hukuman pada saat safar dan peperangan.

    At-Tirmidzi berkata (4/53), “Inilah yang diamalkan menurut sebagian ulama, diantaranya al-Auza’i. Tidak boleh ditegakkan hukuman dalam pertempuran saat berhadapan dengan musuh karena dikhawatirkan orang yang dijatuhkan hukuman itu akan bergabung dengan musuh. Dan jika imam telah keluar dari medan pertempuran dan kembali ke daarul Islam maka hukuman dilaksanakan pada orang yang berhak menerimanya. Demikian yang dikatakan al-Auza’i.”

  8. Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukuman potong tangan pada orang yang mengingkari barang pinjaman. Karena perbendaan mereka dalam menyikapi kisah seorang wanita Makhzumiyah, apakah ia meminjam barang lalu mengingkarinya ataukah ia mencuri. Keduanya disebutkan dalam riwayat.

    Diriwayatkan dari Aisyah r.a, dia berkata, “Seorang wanita Makhzumiyah meminjam barang lalu mengingkarinya. Maka Nabi saw. memerintahkan agari dipotong tangannya,” (HR Muslim [1688]).

    Dan diriwayatkan juga darinya, “Orang-orang Quraisy dibuat prihatin oleh seorang wanita Makhzumiyah yang mencuri,” (takhrij akan disebutkan pada berikutnya).

    Saya katakan, “Kedua riwayat ini tidak saling bertentangan, walhamdulillah, ditilik dari beberapa sisi:

    1. Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini menafsirkan maksudnya. Diantaranya penejelasan bahwasanya mengingkari barang pinjaman termasuk dalam kategori mencuri menurut tinjauan syar’i.
    2. Riwayat ini tidak bertentangan dengan sabda Nabi saw, “Tidak ada hukum potong tangan bagi khaain,” dimana sebagian ulama membawakan maknanya kepada orang yang meminjam lalu mengingkari. Dan yang benar al-khaain adalah yang mengingkari barang titipan.

    Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah membantas masalah ini dan berkata dalam Zaadul Ma’ad (V/50), “Dan hukuman bagi seorang wanita yagn meminjam barang lalu mengingkarinya adalah dipotong tangannya. Imam Ahmad menyebutkan hukuman ini, dan ini tidaklah bertentangan. Adapun hukum Nabi saw. yang mengangkat hukum potong tangan dari seorang muntahib, mukhtalis, dan khaain, yang dimaksud dengan khaain adalah orang yang mengkhianati barang yang dititipkan kepadanya.”

    Adapun orang yang mengingkari barang pinjaman termasuk dalam kategori mencuri menurut tinjauan syari’at. Karena Nabi saw. ketika para sahabat melaporkan kepada beliau tentang seorang wanita yang meminjam barang dan mengingkarinya, beliau memerintahkan agar dipotong tangannya, seraya mengatakan, “seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya telah aku potong tangannya.”

    Dimasukkan seroang yang mengingkari barang pinjaman dalam kategori pencuri adalah sebagaimana dimasukkannya seluruh benda yagn memabukkan dalam kategori khamr. Maka silahkan diperhatikan. Itu adalah penjelasan bagi ummat tentang maksu Allah dalam kalam-Nya.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/453-463.