Larangan Menggunakan Kata Seandainya Pada Beberapa Sebab

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Mukmin yang kuat lebih baik lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah dan pada keduanya terdapat kebaikan. Carilah apa saja yang bermanfaat untuk dirimu dan mintalah pertolongan kepada ALlah dan janganlah kamu patah semangat. Apabila musibah yang menimpamu janganlah kamu katakan, ‘seandainya aku melakukan ini dan itu.’ Tetapi ucapkanlah, Qadarallah masyaa fa’ala (demikianlah takdir ALlah, apa yang Dia kehendaki pasti akan Dia lakukan).’ Sebab kata seandainya dapat membuka pintu masuk syaitan,” (HR Muslim [2664]).

Kandungan Bab:

  1. Celaan terhadap ucapan, “Seandainya aku melakukan ini dan itu.” Sebab ini menunjukkan bahwa ia tidak taat dan tidak rela menerima keputusan yang telah ditetapkan Allah. Sesungguhnya apa yang telah ALlah takdirkan pasti akan terjadi tanpa ada yang menolaknya. Penggunaan kata seandainya pada kondisi seperti ini, dapat memasukkan ke dalam hati unsur penentangan terhadap takdir dan dijadikan syaitan sebagai celah untuk mengganggu.
  2. Tidak mengapa mengatakan kata ‘Seandainya” untuk waktu yang akan datang atau sebagai penyesalan terhadap ketaatan yang luput dari amalan. Hadits-hadits yang mencantumkan perkara tersebut diartikan dengan makna seperti ini.

     

  3. Celaan yang tercantum dalam bab ini menunjukkan hukum haram. Sebab apa saja yang dapat membuka celah bagi amalan syaitan, yang dapat membuat lemah dan rugi, tidak diragukan keharamannya. Berbeda bagi yang berpendapat bahwa perkara di atas hukumnya makruh. Allahu a’lam.
  4. Menyesali sesuatu yang telah berlalu tidak akan membuatnya kembali. Oleh karena itu seorang insan harus menggantinya dengan perasaan rela terhadap takdir yang telah ditetapkan Allah dan memicunya agar lebih giat mentaati Allah pada masa yang akan datang.
  5. Menyeseali sesuatu yang telah berlalu termasuk gangguan syaitan yang dapat merusak hati seorang insan, membuatnya sedih dan membuatnya berputus asa dasri rahmat Allah SWT.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/330-331.