Malik bin Sinan

Mukadimah

Ini merupakan sirah yang semerbak harum dari seorang shahabat yang mulia lagi agung, yang lebih suka mendahulukan kampung akhirat dan memilihnya daripada dunia. Terlebih lagi, dia mendapatkan kabar gembira dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai penghuni surga, mendapatkan derajat yang tinggi dalam hal keberanian dan heroisme pada saat-saat yang kritis dalam jihad.

Shahabat ini sangat menonjol sewaktu Perang Uhud, sebuah peperangan yang mampu memilah antara yang baik dan yang buruk, yang di sana tampak mana yang suci lagi pilihan dari kalangan shahabat yang mulia dan kemurnian orang-orang Muslim, dengan noda kemunafikan dan orang-orang munafik di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul. Dengan begitu Allah memuliakan orang-orang Muslim yang tersisa bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan keridhaan dan ampunan. Adapun mereka yang gugur sebagai syahid mendapatkan pahala Allah dan keridhaan-Nya.

Tokoh kita kali ini merupakan orang yang menonjol dari para shahabat yang membenarkan apa yang mereka janjikan kepada Allah, lalu mereka menerjemahkan kebenaran mereka ini lewat perkataan dan perbuatan. Tidak diragukan bahwa sirah para pahlawan mampu mengelus jiwa dan membimbing tabiat, yaitu ketika kita menyadari perangai-perangai yang baik pada diri para pahlawan itu. Meskipun memang tokoh kita kali ini memiliki sejumlah sepak terjang yang agung dan menonjol bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam, toh tidak semua sirahnya bisa kami dapatkan, meskipun memang kami tidak mengatakan mayoritasnya. Tapi lembaran-lembaran ini kami akan menuturkan sekilas dua kilas kehidupan shahabat yang heroik ini, tentu saja menurut kemampuan kami untuk itu.

Sekarang marilah kita memasuki celah-celah kisah yang harum dari shahabat ini, agar kita juga dapat mengharumkan setiap pendengaran. Siapakah shahabat yang menjadi pahlawan Perang Uhud ini, yang namanya terpatri sepanjang masa?

Namanya Malik bin Sinan bin Ubaid Al-Anshary Al-Khazrajy Al-Khudry, salah seorang shahabat.” Dia juga ayah dari seorang shahabat yang mulia, Sa’d bin Malik, yang terkenal dengan julukan Abu Sa’id Al-Khudry, yang senantiasa menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan meriwayatkan seribu seratus tujuh hadits dari beliau.

Istri Malik bin Sinan bernama Anisah bintu Amr bin Qais Al-Anshariyah An-Najariyah. Sebelumnya Anisah adalah istri An-Nu’man bin Amir Al-Ausy Azh-Zhafry, yang dari perkawinannya ini melahirkan anak bernama Qatadah bin An-Nu’man, seorang shahabat yang mulia. Apa yang engkau ketahui tentang Qatadah? Kemudian dia dinikahi Malik bin Sinan dan melahirkan anak bernama Abu Sa’id Al-Khudry dan Al-Furai’ah. Anisah termasuk wanita yang masuk Islam dan berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, begitu pula Al-Furai’ah yang ikut Baiat Ar-Ridhwan. Dialah yang meminta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk kembali kepada keluarganya di Bani Khudrah, setelah suaminya dibunuh ketika sedang mencari seorang budaknya. Maka saat itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Al-Furai’ah, “Tetaplah di rumahmu hingga masa iddahmu habis. ”

Malik bin Sinan mempunyai dua orang saudara, yaitu Haritsah bin Sinan dan Tsabit bin Sinan. Haritsah mempunyai dua putri, yaitu Ar-Rabab dan Ar-Rabi’, yang keduanya masuk Islam dan ikut berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Tsabit juga mempunyai dua putri, yaitu Khalidah dan Ummu Tsabit, yang keduanya juga masuk Islam dan berbaiat kepada Rasulullah Shall-allahu Alaihi wa Sallam.

Inilah keluarga Malik bin Sinan, yang hidup di Yatsrib, yang kemudian hati mereka dimasuki iman. Inilah sebuah keluarga yang mulia, menerima kedatangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam dengan hati yang terbuka lebar dengan keimanan dan jiwa yang siap untuk bekorban. Dengan karunia Allah, Bani Aus dan Khazraj rela berkorban untuk menjadi penolong bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di antara mereka adalah Malik bin Sinan, yang menerima kedatangan beliau di negerinya, dengan mengulurkan perlindungan dan pertolongan. Pengorbanan, cinta dan jihad itu dimaksudkan untuk kepentingan jalan Allah. Semenjak pertama kali Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menapakkan kaki di bumi Madinah, Malik bin Sinan senantiasa membawa anaknya yang masih kecil, Abu Sa’id ke majelis-majelis Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, agar dia dapat menyerap dari petunjuk Nabawi, sehingga dia menjadi shahabat yang menonjol dan ulama mereka, berkat barakah kebersamaannya dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, di samping karena kebersihan jiwanya.

 

Perjumpaan yang Diberkahi

Malik bin Sinan memiliki kedudukan yang terpandang di tengah kaumnya, Al-Khazraj. Orang-orang biasa datang kepadanya agar dia merukunkan hubungan di antara mereka. Pasalnya, dia memiliki ketajaman pemikiran, ketenangan dalam menyampaikan kata-kata dan juga kewibawaan kepribadiannya, ditambah lagi dengan tutur katanya yang baik. Dia juga termasuk orang-orang yang merukunkan jika terjadi perselisihan antara Aus dan Khazraj. Dia juga termasuk orang-orang yang mendorong terciptanya perdamaian dan penghentian peperangan, konflik dan perselisihan yang berlarut-larut sekian lama antara dua suku ini, karena orang-orang Yahudi selalu mengipasi konflik dengan cara apa pun.

Malik bin Sinan mendengar kasak-kusuk dari orang-orang Yahudi tentang munculnya seorang nabi. Mereka mempelajari kemunculan Rasulullah di dalam kitab-kitab mereka dan juga mengajarkan sifat-sifat beliau ataupun nama beliau kepada anak-anak mereka, begitu pula tempat hijrah beliau, yaitu Madinah. Ketika itu jiwa Malik bin Sinan sudah merasakan kegembiraan karena isyarat kedatangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dia juga tidak menutup-nutupi apa yang dia rasakan dalam jiwanya itu. Dia ceritakan kepada anggota keluarganya dan kepada anaknya.

Abu Sa’id Al-Khudry meriwayatkan satu pengabaran tentang hal itu, dia berkata, “Aku mendengar ayahku, Malik bin Sinan berkata, ‘Suatu hari aku mendatangi Bani Abdul-Asyhal untuk berbincang-bincang dengan mereka, yang saat itu kami berada dalam suasana gencatan senjata. Maka aku mendengar Yusya’ orang Yahudi berkata, ‘Tak lama lagi akan muncul seorang nabi yang bernama Ahmad dari tanah suci’.”

Khalifah bin Tsa’labah bertanya dengan nada sinis, “Bagaimana sifatnya?”

Yusya’ menjawab, “Orangnya tidak pendek dan tidak pula tinggi. Di kedua matanya ada warna merah, biasa mengenakan mantel, menunggang keledai, pedangnya ada di atas pundaknya dan negeri ini menjadi tempat hijrahnya.”

Malik bin Sinan berkata, “Lalu aku pulang menemui kaumku, Bani Khudrah. Saat itu aku benar-benar tertarik dengan apa yang disampaikannya. Lalu kudengar seseorang bertanya, ‘Apakah Yusya’ sendiri yang mengatakan hal itu?’ Setiap orang Yahudi Yatsrib mengatakan hal yang sama.”

Abu Sa’id Al-Khudry terus mengikuti kisah ayahnya ini dengan berkata, “Ayahku, Malik bin Sinan menuturkan, ‘Lalu aku keluar hingga tiba di Bani Quraizhah. Aku mendapatkan semua penduduknya menyebut-nyebut nama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam. Maka Az-Zubair bin Batha, seorang Yahudi berkata, ‘Bintang warna merah sudah tampak, yang penampakannya menjadi pertanda munculnya seorang nabi. Tak seorang pun yang menyisa kecuali Ahmad dan inilah tempat hijrahnya’.”

Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu menuturkan, ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tiba di Madinah, ayahku menceritakan kejadian ini kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka beliau bersabda, “Sekiranya Az-Zubair masuk Islam, maka para pemimpin mereka yang lain tentu akan mengikuti langkahnya.”

Ini merupakan perjumpaan yang diberkahi, perjumpaan antara Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Malik bin Sinan Radhiyallahu Anhu. Itu merupakan perjumpaan yang mendatangkan taufik, sehingga Malik mendapatkan tempat yang tehormat dan khusus di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dia bersama anaknya adalah dua orang shahabat yang utama dan terpandang. Malik bin Sinan mempunyai sepak terjang yang terkenal, menggambarkan kebaikan, kejujuran, pemenuhan janji, ungkapan rasa cinta dan penebusan diri.

Sumber: Lelaki Yang Dijamin Surga, Ahmad Khalil Jam’ah, Darul Falah, H. 2-5.