Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendapat Pertama, menyatakan bahwa tidak dibolehkan wanita haid untuk berdiam diri di dalam masjid. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Ini berdasarkan beberapa dalil, diantaranya;
(1) Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (Qs. an-Nisa: 43)
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang junub tidak boleh mendekati masjid kecuali hanya sekedar lewat tanpa berdiam diri. Begitu juga wanita haid, karena haid seperti orang yang junub, sama-sama berhadats besar.
(2) Hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha ia berkata,
أَمَرَنَا تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar para gadis dan wanita-wanita yang dipingit pada dua hari raya, dan beliau memerintahkan para wanita yang sedang haid menjauh dari mushalla (tempat shalat) kaum muslimin.” (HR. al-Bukhari, 927 dan Muslim, 1473)
Hadits di atas menunjukkan larangan wanita haid untuk mendekati tempat shalat ‘Id. Tempat shalat ‘Id dihukumi masjid. Dan ini menunjukkan larangan wanita haid untuk masuk masjid.
(3) Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya,
أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَائِضٌ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي الْمَسْجِدِ وَهِيَ فِي حُجْرَتِهَا يُنَاوِلُهَا رَأْسَهُ
“Dia menyisir rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat sedang haidh ketika Beliau sedang i’tikaf di masjid, ketika itu Beliau menjulurkan kepala Beliau kepadanya.” (HR. al-Bukhari, 1905)
Hadits di atas menunjukkan bahwa ‘Aisyah dalam keadaan haid menyisir rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di luar masjid. Seakan beliau mengetahui bahwa wanita haid tidak boleh masuk masjid.
(4) Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ
“Karena saya tidak menghalalkan masuk masjid untuk orang yang sedang haid dan juga orang yang sedang junub.” (HR. Abu Daud, 201)
Hadits di atas secara tegas menunjukkan ketidakbolehan seorang wanita haid untuk tinggal di masjid
Pendapat Kedua, menyatakan bahwa wanita haid boleh berdiam diri di dalam masjid, jika dia berwudhu’ dan ada keperluan untuk menuntut ilmu atau sejenisnya, serta tidak mengotori masjid. Ini adalah pendapat sebagian ulama al-Hanabilah, al-Muzani, Abu Daud, Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Hazm.
Mereka berdalil dengan beberapa hadits dan atsar di bawah ini;
(1) Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ
“Sesungguhnya seorang Muslim itu tidak najis.” (HR. al-Bukhari, 274)
Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang muslim itu tidak najis, artinya seorang wanita, walaupun sedang haid, dirinya tidak najis, yang najis hanyalah tempat keluarnya haid. Jika tempat tersebut dibalut, sehingga tidak mengotori masjid, maka dibolehkan dia berdiam diri di masjid. Ini dikuatkan dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ
“Sesungguhnya haidmu tidak terletak pada tanganmu (maksudnya tidak akan mengotori).” (HR. Muslim, 450)
(2) Hadits wanita yang dahulu bekerja di Masjid Nabawi sebagai cleaning service dan pengumpul sampah. Dia berdiam diri di masjid. Ini menunjukkan bolehnya wanita haid tinggal di masjid karena wanita tersebut tidak lepas dari haid.
(3) Atsar yang diriwayatkan ‘Atha’ bin Yasar bahwasanya beliau berkata, “Saya melihat beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal mereka sedang junub, tetapi mereka sudah berwudhu seperti wudhunya shalat.” Perkataan yang sama juga diriwayatkan dari Zaid bin Aslam.
(4) Mereka juga mengatakan bahwa jika seorang musyrik saja boleh berdiam di masjid sebagaimana yang terjadi pada Tsumamah bin Utsal ketika diikat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama beberapa hari di tiang masjid. Maka seorang wanita muslimah yang haid, tentunya lebih dibolehkan.
(5) Adapun hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang larangan seorang wanita haid masuk masjid yang dijadikan dalil kelompok pertama adalah hadits dhaif, karena di dalamnya terdapat perawi yang bernama Jasrah binti Dajajah. Al-Bukhari mengatakan bahwa dia mempunyai banyak keanehan. Di dalamnya juga terdapat perawi lain yang bernama Faliyat bin Khalifah, ini adalah perawi yang tidak dikenal, sebagaimana disebutkan oleh Abi Hatim di dalam al-Jarh wa at-Ta’dil.
Hadits di atas juga didhaifkan oleh al-Khaththabi di dalam Ma’alim as-Sunan, Ibnu al-Qayyim di dalam Tahdzib as-Sunan, an-Nawawi di dalam al-Majmu’, dan Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla.
Kesimpulan:
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa wanita yang haid hendaknya tidak ke masjid dan berdiam diri di dalamnya, jika tidak ada keperluan. Tetapi jika ada keperluan seperti mendengarkan pengajian dan itu sangat diperlukan baginya, maka dibolehkan dengan beberapa syarat, diantaranya berwudhu sebelum masuk masjid, membalut tempat keluarnya haid dengan pembalut dan tebal dan aman, duduk di bagian belakang masjid atau jika memungkinkan duduk di teras atau luar masjid.
Kesimpulan ini menggabungkan antara kedua pendapat ulama di atas, serta memberikan kemudahan dan manfaat bagi wanita haid. Kesimpulan ini dikuatkan dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ
“Janganlah kalian menghalangi kaum wanita pergi ke masjid Allah.” (HR. al-Bukhari, 849 dan Muslim, 668)
Sumber: Fikih Masjid, Dr. Ahmad Zain An-Najah, Puskafi, https://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/857/bab-4-hukum-duduk-dan-tidur-di-masjid/