- Hukum Duduk di Masjid Bagi yang Berhadast Kecil
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Pendapat Pertama, Dibolehkan bagi yang berhadast kecil untuk duduk di masjid. Sebagian mengatakan bahwa ini merupakan kesepakatan ulama. Dalilnya bahwa Ahlush Shuffah mereka tidurnya di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahlush Shuffah adalah orang-orang muhajirin yang fakir tidak memiliki rumah, mereka menetap dan tidur di masjid Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat Kedua, mengatakan bahwa bagi yang berhadast kecil dimakruhkan duduk di masjid. Di dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah disebutkan bahwa Abu Sawwar tidak menyukai seseorang yang sengaja duduk-duduk di masjid padahal dia belum berwudhu. Diriwayatkan juga bahwa Sa’id Ibnu al-Musayyib dan al-Hasan al-Basri ketika ditanya tentang seorang yang berhadast kecil, mereka berdua berkata, “Hendaknya dia melewati masjid saja dan jangan duduk di dalamnya.”
Adapun orang yang mabuk dilarang untuk tinggal di masjid. Ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (Qs. an-Nisa: 43)
- Hukum Duduk di Masjid Bagi yang Berhadast Besar
A. Hukum Orang Junub Berdiam di Masjid
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang junub berdiam di masjid.
Pendapat Pertama, mengatakan tidak boleh orang yang junub berdiam di masjid. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. (az-Zaila’i, Tabyinu al-Haqaiq 1/56; al-Qarrafi, adz-Dzakhirah 1/314; an-Nawawi, al-Majmu’ 2/160)
Dalil mereka adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“(Jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (Qs. an-Nisa: 43)
Berkata an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 2/160, “Berkata Imam asy-Syafi’i di dalam al-Umm, ‘Berkata ulama al-Qur’an, ‘Arti ayat di atas adalah Janganlah kalian mendekati tempat shalat.’ Berkata asy-Syafi’i, ‘Pernyataan itu benar karena tidak ada orang melewati shalat, yang ada adalah orang melewati tempat shalat, yaitu masjid’.”
Kelompok pertama yang melarang orang yang junub berdiam di masjid berbeda pendapat: apakah orang junub jika hanya melewati masjid tanpa berdiam diri juga dibolehkan? Mayoritas ulama dari kelompok ini mengatakan boleh, berdasarkan ayat di atas (Qs. an-Nisa: 43). Sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya.
Pendapat Kedua, mengatakan bahwa dibolehkan orang junub untuk berdiam di masjid jika dia berwudhu, ini pendapat al-Hanabilah. (Ibnu Qudamah, al-Mughni 1/107)
Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Yasar bahwasanya beliau berkata, “Saya melihat beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal mereka sedang junub, tetapi mereka sudah berwudhu seperti wudhunya shalat.” Perkataan yang sama juga diriwayatkan dari Zaid bin Aslam.
Pendapat Ketiga, mengatakan bahwa boleh bagi orang yang junub untuk berdiam di masjid secara mutlak. Ini pendapat madzhab adh-Dhahiriyah.
(a) Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طَرِيقِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ جُنُبٌ فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ جُنُبًا فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjumpa dengannya di salah satu jalan Madinah, sementara ia dalam keadaan junub.” Abu Hurairah berkata, ‘Aku malu dan pergi diam-diam’. Abu Hurairah lalu pergi mandi dan kembali lagi setelah itu, beliau lalu bertanya: “Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Aku tadi junub. Dan aku tidak suka bersama Tuan sedang aku dalam keadaan tidak suci.” Beliau pun bersabda: “Subhaanallah! Sesungguhnya seorang Muslim itu tidak itu najis”.” (HR. al-Bukhari, 274)
Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang muslim itu tidak najis, artinya walaupun dia dalam keadaan junub dan berdiam di masjid, tidak akan membuat masjid menjadi najis.
(b) Mereka juga mengatakan bahwa jika seorang musyrik saja boleh berdiam di masjid sebagaimana yang terjadi pada Tsumamah bin Utsal ketika diikat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama beberapa hari di tiang masjid. Maka orang muslim yang junub tentunya lebih dibolehkan.
Kesimpulan: Dari ketiga pendapat di atas maka pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama. Adapun dalil yang disebut oleh pendapat ketiga adalah tertolak, karena dua hal sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 2/160;
(1) Syari’ah telah membedakan antara orang musyrik dengan orang muslim yang sedang junub. Sebagaimana tersebut di dalam hadits di atas. Kalau syari’ah membedakan antara keduanya maka tidak boleh disamakan.
(2) Orang musyrik tidak meyakini kehormatan masjid maka syari’ah tidak memaksanya. Sedangkan orang muslim meyakininya maka harus menghormati. Hal ini seperti jika seorang kafir harbi merusak barang seorang muslim, maka tidak wajib untuk menggantinya. Berbeda dengan seorang muslim yang merusak barang saudaranya, maka dia wajib menggantinya.
Sumber: Fiqih Masjid, Dr. Ahmad Zain An Najah, MA., Puskafi, https://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/857/bab-4-hukum-duduk-dan-tidur-di-masjid/