Secara umum, hukum i’tikaf yang tidak dinadzarkan adalah sunnah Namun, agar lebih jelas dan gamblang, berikut kami paparkan dengan ringkas pendapat empat madzhab perihal hukum i’tikaf:
- Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa i’tikaf ada tiga macam; wajib, sunnah muakkadah, dan mustahab. I’tikaf wajib adalah i’tikaf yang merupakan bentuk nadzar, seperti ucapan, “Aku bernadzar akan beri’tikaf untuk Allah selama satu hari.” I’tikaf sunnah muakkadah adalah i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan amalan Rasulullah. Beliau senantiasa mengerjakan i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Para Ummahatul Mukminin pun mengerjakannya sepeninggal beliau. Adapun i’tikaf di selain sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, menurut ulama Hanafiyah masuk dalam kategori i’tikaf mustahabb.
- Kalangan ulama Malikiyah menyatakan bahwa i’tikaf adalah bentuk mendekatkan diri kepada Allah dan satu ibadah nafilah yang baik dan dianjurkan oleh syariat, bagi laki-laki dan perempuan. Terlebih dikerjakan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hanya saja, i’tikaf menjadi wajib apabila ia dijadikan sebagai nadzar.
- Kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa i’tikaf adalah ibadah sunnah yang dianjurkan di setiap waktu, kecuali apabila ia dijadikan sebagai nadzar maka ia menjadi wajib dan harus dipenuhi. Landasan dalil atas pendapat ini adalah bahwa Rasulullah senantiasa mengerjakan i’tikaf. Para istri beliau juga senantiasa melaksanakannya sepeninggal beliau. Landasan lain perihal wajibnya i’tikaf sebagai bentuk pemenuhan nadzar adalah sabda Rasulullah, “Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka hendaklah ia mentaati-Nya. Juga, jawaban beliau saat Umar berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah bernadzar akan beri’tikaf di Masjidil Haram satu malam.” Beliau bersabda, “Penuhilah nadzarmu!”
Syarat-syarat l’tikaf
Ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi demi keabsahan i’tikaf. Di antara syarat-syarat tersebut ada yang disepakati oleh empat madzhab dan ada pula yang diperselisihkan. Berikut kami paparkan syarat-syarat tersebut lengkap dengan kesepakatan dan perbedaan pendapat empat madzhab terhadapnya.
- Islam
I’tikaf yang dikerjakan oleh orang kafir tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah. Hal ini dikarenakan Islam merupakan di antara cabang keimanan dan syarat diterimanya ibadah seorang hamba oleh Allah.
- Akal dan Tamyiz
Orang gila dan anak kecil tidak sah untuk melaksanakan i’tikaf. Kecuali, bila anak kecil tersebut telah mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk), maka i’tikaf yang dikerjakannya dinilai sah. Sebab, anak kecil yang belum mumayyiz tidak dikategorikan dalam kelompok orang yang cakap dalam melaksanakan ibadah.
- Lokasi Pelaksanaan I’tikaf adalah di Masjid
Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Adapun menurut ulama Hanafiyah, tidak mengapa mengerjakan i’tikaf di masjid rumah bagi perempuan.
- Niat
Ini adalah syarat yang disepakati oleh empat madzhab. Landasan dalilnya adalah sabda Rasulullah, “Amalan bergantung pada niat.” Juga, dikarenakan i’tikaf merupakan ibadah mahdhah, sehingga ia tidak sah tanpa niat, sebagaimana halnya puasa, shalat dan seluruh ibadah yang lain. Ulama Syafi’iyah menambahkan pada i’tikaf fardhu agar niat yang dihadirkan spesifik, yaitu niat i’tikaf fardhu.
- Puasa
Puasa adalah syarat mutlak dalam i’tikaf menurut ulama Malikiyah. Niat juga merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam i’tikaf yang dinadzarkan menurut ulama Hanafiyah. Berbeda dengan keduanya, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak mensyaratkan puasa dalam i’tikaf, sehingga i’tikaf tanpa disertai puasa tetap sah, kecuali apabila i’tikaf yang dikerjakan adalah i’tikaf yang dinadzarkan ada puasa di dalamnya.
Landasan dalil adanya syarat puasa dalam i’tikaf adalah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Daruquthni dari ibunda ‘Aisyah “Tidak ada i’tikaf (yang absah) kecuali dengan puasa.” Adapun dalil tidak adanya syarat puasa dalam i’tikaf adalah perkataan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Daruquthni, “Tidak ada kewajiban puasa atas orang yang beri’tikaf kecuali ia menjadikannya wajib atas dirinya.”
- Suci dari Junub, Haid, dan Nifas
Ini adalah syarat menurut jumhur ulama, hanya saja kondisi sedang tidak junub adalah syarat menurut Malikiyah untuk diperbolehkan mene-tap di masjid, bukan untuk keabsahan i’tikaf. Bila orang yang mengerjakan i’tikaf mimpi basah, maka ia wajib mandi, baik ia di dalam masjid atau di luar masjid. Demikian halnya menurut ulama Hanafiyah. Jadi, seandainya orang yang junub melaksanakan i’tikaf, maka i’tikafnya sah disertai adanya hukum haram. Adapun suci dari haid dan nifas, ini adalah syarat sah i’tikaf wajib.
- Izin Suami untuk Istri
Syarat ini ditetapkan oleh kalangan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sehingga, i’tikaf seorang perempuan tanpa izin suaminya tidak sah, meskipun i’tikaf yang ia kerjakan adalah i’tikaf yang dinadzarkan. Ulama Malikiyah memiliki pandangan lain, mereka menyatakan bahwa i’tikaf seorang perempuan tanpa izin suaminya adalah sah, namun ia berdosa.
Durasi l’tikaf
- Durasi minimal i’tikaf menurut ulama Hanafiyah adalah sebentar dan tanpa ada batasan tertentu. Ukurannya adalah menetap diser-tai dengan niat. Andai ada orang yang beri’tikaf meniatkannya saat berjalan, maka berdasarkan fatwa madzhab Hanafiyah orang tersebut dinilai telah beri’tikaf. Mereka menambahkan bahwa tidak disyaratkan harus berpuasa pada i’tikaf sunnah dan menetap disertai niat dinilai sebagai i’tikaf meski tanpa aktivitas apa pun.
- Kalangan ulama Malikiyah menyatakan bahwa durasi minimal i’tikaf adalah satu hari satu malam disertai dengan puasa, baik pada bulan Ramadhan atau pada bulan yang lain. Menurut mereka, orang yang tidak mampu berpuasa, maka i’tikafnya tidak sah.
- Kalangan ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa dalam i’tikaf disyaratkan adanya satu kadar waktu yang dapat disebut sebagai menetap atau bertempat tinggal. Lebih jelas mereka menyatakan bahwa kadarnya harus lebih panjang dari kadar thuma’ninah dalam ruku’, sujud, dan lain sebagainya.
- Kalangan ulama Hanabilah memandang bahwa durasi i’tikaf adalah satu waktu yang layak disebut sebagai menetap, meski hanya sebentar.
Dari berbagai ulasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jumhur ulama sepakat, bahwa durasi i’tikaf adalah sebentar saja, dan ulama Malikiyah mensyaratkan lama durasi minimal i’tikaf adalah satu hari satu malam.
Lokasi I’tikaf
Di manakah i’tikaf dapat dilaksanakan? Menurut ulama Hanafiyah, kaum lelaki melaksanakan i’tikaf di masjid jami’, yaitu masjid yang ter-dapat imam dan muadzinnya, meski tidak digunakan untuk shalat lima waktu. Inilah yang secara mutlak disepakati oleh para ulama berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud, “Tidak ada i’tikaf (yang sah dikerjakan) kecuali di masjid jami.” Adapun untuk perempuan, menurut ulama Hanafiyah lokasi yang dapat digunakan untuk i’tikaf bagi mereka adalah di masjid rumahnya, yaitu tempat yang telah diperuntukkan khusus untuk shalat.
Kalangan ulama Hanabilah menyatakan bahwa kaum laki-laki yang wajib mengerjakan shalat jamaah tidak diperkenankan untuk beri’tikaf selain di masjid jami. Ini berdasarkan firman Allah, “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah [2]: 187). Sekiranya i’tikaf dinilai sah untuk dikerjakan selain di masjid, niscaya Allah tidak akan mengkhususkan masjid dalam hal haramnya melakukan mubasyarah (hubungan suami istri) yang diharamkan dalam i’tikaf. Mereka menyatakan demikian karena menurut ulama Hanabilah, shalat berjamaah hukumnya adalah wajib, sedangkan i’tikaf di selain masjid jami’ akan menimbulkan dua kemungkinan; pertama, meninggalkan shalat wajib. Kedua, keluar dari masjid untuk shalat yang mengakibatkan terulang-ulangnya niat i’tikaf seseorang. Meski demikian, mereka memperbolehkan pelaksanaan i’tikaf di seluruh masjid dengan dua catatan:
- I’tikaf yang dikerjakan tidak bertepatan dengan waktu shalat, seperti malam atau setengah hari. Apabila di suatu masjid ada pelaksanaan shalat jamaah untuk sebagian waktu, maka pada waktu tersebut diperbolehkan untuk beri’tikaf.
- Orang yang beri’tikaf tidak diharuskan mengerjakan shalat dengan berjamaah, seperti orang yang sakit, memiliki udzur, perempuan, anak kecil dan orang yang berada di suatu desa di mana pada desa tersebut tidak ada yang mengerjakan shalat selain dia.
- Adapun untuk perempuan, menurut ulama Hanabilah, diharamkan untuk beri’tikaf di masjid rumah, karena masjid rumah bukanlah masjid dalam arti yang sebenarnya. Masjid rumah juga tidak diperlakukan sebagaimana masjid biasa. Sekiranya dibolehkan bagi perempuan untuk beri’tikaf di masjid rumah, niscaya Ummahatul Mukminin memberi teladan sebagai bentuk penjelasan akan kebolehannya.
- Kalangan ulama Malikiyah menyatakan bahwa lokasi i’tikaf adalah di seluruh masjid. Namun, mereka menyatakan bahwa i’tikaf tidak sah dikerjakan di masjid rumah. Menurut mereka, orang yang berniat i’tikaf dengan durasi di mana ada shalat Jumat di dalamnya, maka masjid yang dijadikan lokasi i’tikaf menjadi spesifik di masjid jami’, agar ia tidak keluar membatalkan i’tikaf untuk mengerjakan shalat.
- Kalangan ulama Syafi’iyah menyatakan, bahwa lokasi pelaksanaan i’tikaf adalah di masjid, baik di teras atau bagian lain yang masih termasuk masjid. Namun, masjid jami’ lebih diutamakan untuk menghindari perbedaan dengan mereka yang mewajibkannya, banyaknya jama’ah di dalamnya dan tidak perlu keluar untuk melaksanakan shalat jamaah hingga i’tikaf menjadi batal. Ini berlaku bagi selain orang yang bernadzar untuk beri’tikaf dengan rentang waktu di mana shalat Jumat ditegakkan pada rentang waktu tersebut.
- Adapun untuk perempuan, menurut qaul jadid dalam madzhab Syafi’i tidak diperbolehkan untuk melaksanakan i’tikaf di masjid rumah. Sebab, masjid rumah bukanlah masjid dengan landasan dalil bahwa masjid rumah dapat diubah-ubah dan orang yang junub pun diperkenankan untuk menetap di dalamnya. Juga dikarenakan istri-istri Rasulullah dahulu beri’tikaf di masjid. Seandainya cukup di rumah, niscaya mereka akan lebih dahulu mengerjakannya di rumah.
Kesimpulan dari uraian tersebut adalah: Pertama, ulama Malikiyah dan Syafi’iyah memperbolehkan pelaksanaan i’tikaf di masjid mana pun. Kedua, ulama Hanafiyah dan Hanabilah mensyaratkan masjid yang dijadikan lokasi i’tikaf adalah masjid jami’. Ketiga, menurut jumhur ulama perempuan tidak diperbolehkan beri’tikaf di masjid rumah. Keempat, menurut ulama Hanafiyah perempuan diperbolehkan untuk beri’tikaf di masjid rumah.
Sumber: Fiqih Shiyam Ramadhan, Tim Ulin Nuha MA An-Nuur, Zam-Zam, h. 172-178.