Larangan Menutupi Dinding

Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid al-Juhani dari Abi Thalhah al-Anshari, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung.’ Ia berkata, ‘Lalu aku mendatangi Aisyah r.a, dan aku bertanya, ‘Orang ini mengabarkan kepadaku bahwasanya Nabi saw. bersabda, ‘Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada ajing dan patung. Apakah Anda pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. menyebutkannya?’ Aisyah menjawab, ‘Tidak, hanya saja aku akan mengabarkan kepada kalian apa yang aku lihat sendiri. Waktu itu aku melihat beliau sedang keluar dalam sebuah peperangan, lalu aku mengambil permadani sabut yang berbulu dan aku jadikan gorden pintu. Ketika beliau pulang, beliau melihat permadani itu hingga tergambar kebencian di wajahnya. Lalu beliau menariknya hingga koyak atau robek dan bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk menutupi batu dan tanah dengan kain.’ Aisyah berkata, ‘Maka kami potong gorden tersebut dan kami jadikan dua buah bantal yang diisi dengan sabut dan beliau tidak mengkritik pembuatan itu’,” (HR Muslim [2107]).

Diriwayatkan dari Ali bin Husein dengan sanad yang mursal, “Dilarang menutupi dinding,” (Hasan lighairihi, HR al-Baihaqi [VII/272]).

Diriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab, ia berkata, “Abdullah bin Zaid diundang untuk menghadiri jamuan makan. Ketika ia menghadirinya, ia melihat rumah itu penuh dengan hiasan. Kemudian ia duduk di luar sambil menangis. Ditanyakan kepadanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Ia menjawab, ‘Dahulu apabila Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan dan tiba saatnya berpisah beliau mengucapkan, ‘Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu dan akhir dari amalanmu’.”

Abdullah bin Zaid kembali melanjutkan, ‘Pada suatu hari beliau melihat seorang laki-laki mengangkat burdahnya dengan sepotong kayu.’ beliau bersabda, “Hadapkanlah ke arah matahari terbit.’ Ia berkata, ‘Seperti ini.’ yakni dengan mengangkat kedua tangannya seraya berkata, ‘Sesungguhnya dunia datang menghampiri kalian.’ hingga tiga kali. Yakni telah datang. Hingga seakan-akan kami mengira dunia akan menimpa kami. lalu beliau bersabda, “Apakah keadaan kalian hari ini lebih baik ataukah ketika makanan dan pakaian kalian melimpah ruah hingga kalian melapisi dinding rumah kalian dengan kain sebagaimana Ka’bah’?”

Abdullah berkata, “Bagaimana aku tidak menangis ternyata aku masih hidup ketika kalian melapisi rumah kalian dengan kain seperti Ka’bah,” (Shahih, HR al-Baihaqi [VII/272]).

Kandungan Bab:

  1. Haram menutupi dinding dengan permadani ataupun yang selainnya sebab hal itu termasuk pemborosan dan perhiasan yang tidak dianjurkan syari’at.

    Al-Baihaqi berkata (VII/273), “Agaknya hukum seperti itu disebabkan adanya unsur-unsur pemborosan di dalamnya. Allahu a’lam.”

    Saya katakan, “Hadits Abdullah bin Zaid memberi catatan lain bahwa tidak boleh satu rumah pun yang menyerupai Baitullah, dengan alasan bahwa kiswah hanya dikhususkan untuk Ka’bah bukan untuk rumah lainnya. Allahu a’lam

  2. Sudah sepantasnya mengingkari perbuatan yang mungkar dan tidak menganggapnya remeh, sebagaimana apa yang tleah dilakukan oleh Rasulullah saw. Dan sebagaimana para salaf enggan masuk ke dalam rumah yang dindingnya ditutupi oleh kain.

    Salim bin Abdullah berkata, “Aku mengadakan pesta pernikahan sewaktu ayahku masih hidup. Maka ayahkupun mengundang orang-orang. Dan Abu Ayyub termasuk orang yang diundang. Sementara rumahku sudah ditutupi dengan permadani dinding berwarna hijau. Lalu Abu Ayyub masuk dan melihatku sedang berdiri. Ia memperhatikan dinding rumahku yang sudah ditutupi dengan permadani dinding berwarna hijau. Ia berkata, ‘Ya Abdullah apakah kalian yang menutupi dinding dengan permadani?’ Dengan malu ayahku berkata, ‘Kami dikendalikan kaum wanita wahai Abu Ayyub.’ Lalu ia berkata, ‘Tadinya aku khawatir kaum wanita mengendalikan perkara ini namun aku tidak khawatir mereka mengendalikan dirimu. Aku tidak akan makan makanan kalian dan tidak akan masuk ke rumah kalian.’ Kemudian ia pun keluar,” (Shahih, HR Bukhari [IX/249]).

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/238-239.