Macam-macam takdir itu antara lain:
1. At-taqdiirul ‘aam (takdir yang bersifat umum).
2. At-taqdirul basyari (takdir yang berlaku untuk manusia).
3. At-taqdiirul ‘umri (takdir yang berlaku bagi usia).
4. At-taqdiirus sanawi (takdir yang berlaku tahunan).
5. At-taqdirul yaumi (takdir yang berlaku harian).
At-taqdiirul ‘aam (takdir yang bersifat umum).
Ialah takdir Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia mengetahuinya (dengan ilmu-Nya), mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya. Jenis ini ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah Ta’ala:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj: 70)
Dalam Shahiih Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi bersabda:
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيْرَ الْخَلَائِقِ، قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةِ، قَالَ: وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ.
“Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” Beliau bersabda, “Dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.”
At-taqdiirul basyari” (takdir yang berlaku untuk manusia).
Ialah takdir yang di dalamnya Allah mengambil janji atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb mereka, dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu, serta Allah menentukan di dalamnya orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka.
Dia berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak- anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabb mu. Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb).” (QS. Al- A’raaf:172)
Dari Hisyam bin Hakim, bahwa seseorang datang kepada Nabi lalu mengatakan, “Apakah amal-amal itu dimulai ataukah ditentukan oleh qadha’?” Rasulullah menjawab:
إِنَّ اللَّهَ أَخَذَ ذُرِّيَةَ آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ، ثُمَّ أَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ، ثُمَّ أَفَاضَ بِهِمْ فِي كَفَّيْهِ فَقَالَ: هَؤُلَاءِ فِي الْجَنَّةِ، وَهَؤُلَاءِ فِي النَّارِ، وَأَهْلُ الْجَنَّةِ مُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَأَهْلُ النَّارِ مُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ
“Allah mengambil keturunan Nabi Adam dari tulang sulbi mereka, kemudian menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka, kemudian mengumpulkan mereka dalam kedua telapak tangan-Nya seraya berfirman, ‘Mereka di Surga dan mereka di Neraka.’ Maka ahli Surga dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Surga dan ahli Neraka dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Neraka.”
At-taqdiirul ‘umri (takdir yang berlaku bagi usia).
Ialah segala takdir (ketentuan) yang terjadi pada hamba dalam kehidupannya hingga akhir ajalnya, dan juga ketetapan tentang kesengsaraan atau kebahagiaannya.
Hal tersebut ditunjukkan oleh hadits ash-Shadiqul Mashduq (Nabi Muhammad) dalam Shahiihain dari Ibnu Mas’ud secara marfu’:
إِنْ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ، فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، بكتب رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ..
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia(nya)….”
At-taqdiirus sanawi (takdir yang berlaku tahunan).
Yaitu dalam malam Qadar (Lailatul Qadar) pada setiap tahun. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala:
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad-Dukhaan: 4)
Dan dalam firman-Nya:
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ سَلَامُ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Pada malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr: 4-5)
Disebutkan, bahwa pada malam tersebut ditulis apa yang akan terjadi dalam setahun ke depan, mengenai kematian, kehidupan, kemuliaan dan kehinaan, juga rezeki dan hujan, hingga (mengenai siapakah) orang-orang yang (akan) berhaji. Dikatakan (pada takdir itu), Fulan akan berhaji dan Fulan akan berhaji.
Penjelasan ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, demikian juga al-Hasan serta Sa’id bin Jubair.
At-taqdiirul yaumi (takdir yang berlaku harian)
Dalilnya ialah firman Allah :
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
“… Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. Ar-Rahmaan: 29)
Disebutkan mengenai tafsir ayat tersebut: “Kesibukan-Nya ialah memuliakan dan menghinakan, meninggikan dan merendahkan (derajat), memberi dan menghalangi, menjadikan kaya dan fakir, membuat tertawa dan menangis, mematikan dan menghidupkan, dan seterusnya. “
Apa Kewajiban Hamba Berkenaan dengan Masalah Takdir?
Kewajiban seorang hamba dalam masalah ini ialah mengimani qadha’ Allah dan qadar-Nya, serta mengimani syari’at, perintah dan larangan-Nya. Ia berkewajiban untuk membenarkan khabar (berita) dan mentaati perintah.
Jika ia berbuat kebajikan, hendaklah ia memuji Allah dan jika ia berbuat keburukan, hendaklah ia memohon ampun kepada-Nya. Ia pun mengetahui bahwa semua itu terjadi dengan qadha’ Allah dan qadar-Nya. Sesungguhnya, ketika Nabi Adam melakukan dosa, maka dia bertobat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya. Sedangkan iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah melaknat dan mengusirnya. Barang siapa yang bertobat, maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam dan barang siapa yang meneruskan dosanya serta berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka, dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis.
“Dengan pemahaman terhadap qadar Allah dan pelaksanaan terhadap syari’at-Nya secara benar, maka manusia akan menjadi seorang hamba -yang hakiki-, sehingga dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, ash-shiddiqin, asy- syuhada’ dan ash-shalihin. Cukuplah dengan persahabatan ini suatu keberuntungan dan kebahagiaan. “
Kesimpulannya, ia wajib mengimani keempat tingkatan takdir yang telah disinggung sebelumnya. Yaitu, tidak ada sesuatu pun yang terjadi melainkan Allah telah mengetahui, mencatat, menghendaki, dan menciptakannya. Ia mengimani juga bahwa Allah memerintahkan agar mentaatiNya dan melarang bermaksiat kepada- Nya, lalu ia melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Apabila Allah memberi taufik kepadanya untuk melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka hendaklah ia memuji Allah dan meneruskan hal itu. Tetapi apabila dirinya dibiarkan dan dipasrahkan (oleh Allah) kepada dirinya sendiri, lalu ia melakukan kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan, maka hendaklah ia beristighfar dan bertaubat.
Kemudian, hamba juga berkewajiban untuk bekerja demi kemaslahatan duniawinya, dan menempuh cara-cara yang benar yang dapat menghantarkan ke sana, lalu ia berjalan di muka bumi dan segala penjurunya. Jika berbagai perkara datang sesuai dengan apa yang dikehendakinya, hendaklah ia memuji Allah, dan jika datang tidak sesuai dengan yang diinginkannya, maka ia terhibur dengan qadar Allah. Ia tahu bahwa itu semua terjadi dengan qadar Allah , dan bahwa apa yang menimpanya tidak pernah luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan pernah menimpanya.
“Jika hamba mengetahui secara global bahwa Allah dalam apa yang diciptakan dan diperintahkan-Nya memiliki hikmah yang besar, maka hal ini cukuplah baginya (menjadikannya tenang). Kemudian setiap kali bertambah ilmu dan keimanannya, maka semakin tampak pula baginya hikmah Allah dan rahmat-Nya yang mengagumkan akalnya, serta menjelaskan kepadanya kebenaran apa yang dikabarkan Allah dalam kitab-Nya. ”
Bukan menjadi suatu keharusan bagi setiap orang untuk mengetahui detail pembicaraan tentang iman kepada qadar, tetapi keimanan secara global ini sudah mencukupi. Ahlus Sunnah wal Jama’ah -sebagaimana yang dinyatakan oleh mereka- tidak mewajibkan atas orang yang lemah apa yang diwajibkan atas orang yang mampu.
Sumber: Kupas Tuntas Masalah Takdir, Muhammad bin Ibrahim al Hamd, Pustaka Ibnu Katsir, Hal 84-90.