Kesanggupan

Matan

وَالِاسْتِطَاعَةُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا الِاسْتِطَاعَةُ الَّتِي يَجِبُ بِهَا الفِعْلُ – مِنْ نَحْوِ التَّوْفِيقِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُوصَفُ المَخْلُوقُ بِهِ -: فَهِيَ مَعَ الفِعْلِ. وَأَمَّا الِاسْتِطَاعَةُ مِنْ جِهَةِ الصِّحَّةِ وَالوُسْعِ، وَالتَّمْكِينِ وَسَلَامَةِ الآلَاتِ: فَهِيَ قَبْلَ الفِعْلِ، وَبِهَا يَتَعَلَّقُ الخِطَابُ، وَهُوَ كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا}

Kemampuan itu ada dua: (pertama) kemampuan yang menyebabkan terjadi perbuatan —semacam taufik yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk— ia terjadi menyertai perbuatan. (Kedua) adapun kemampuan dalam arti kesehatan tubuh, potensi, kekuatan, dan selamatnya diri dari bermacam musibah, ia terjadi sebelum melakukan amalan. Dengan itulah hukum tersebut digantungkan, sebagaimana yang difirmankan Allah: Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sebatas kesanggupannya. (Surah Al-Baqarah: 286).”

Keterangan

Kesanggupan, kemampuan, kekuasaan dan kelonggaran adalah kata-kata yang berdekatan maknanya. Dibaginya kesanggupan itu menjadi dua bagian adalah pendapat umumnya Ahlussunnah, dan itulah pendapat yang adil. Kaum Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan kemampuan itu hanya datang setelah berbuat. Pendapat itu kemudian diterima oleh sekelompok Ahlussunnah sehingga mereka menyatakan bahwa kesanggupan hanya ada ketika berbuat.

Pendapat yang dipegang oleh umumnya Ahlussunnah adalah bahwa seorang hamba memiliki kemampuan yang menjadi barometer larangan dan perintah atas dirinya. Kadang kemampuan itu sudah ada sebelumnya dan tidak harus ada terus bersamanya. Ketika melakukan perbuatan, kemampuan itu harus ada menyertainya. Tidak mungkin ada perbuatan tanpa adanya kemampuan.

Bentuk Kesanggupan Pertama: Potensi Kemampuan Dan Sarana Yang Memadai

Adapun kemampuan pada sisi kesehatan, dan kelonggaran, serta kemampuan daya tahan tubuh dan sarana yang memadai, sesungguhnya hal tersebut ada sebelum berbuat. Inilah yang disebutkan Allah dalam firman-Nya,

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا

” Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (Surah Ali Imran: 97)

Berhaji diwajibkan atas orang yang berkemampuan. Kalau berhaji itu hanya sanggup dilakukan oleh orang yang sudah berhaji (yakni sesudah berbuat), tentu ia hanya wajib atas orang yang sudah melakukan haji juga. Orang tidak akan mendapatkan siksa karena meninggalkan haji? Ini jelas bertentangan dengan keyakinan yang sudah menjadi aksioma dalam Islam. Demikian halnya dengan yang diceritakan Allah tentang orang munafik,

لَوِ ٱسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ

Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” (Surah At-Taubah: 42)

Allah mengingkari pernyataan mereka jika yang mereka maksud adalah kesanggupan berbuat yang sesungguhnya (yang memang tidak mereka miliki). Tentu mereka tidaklah berdusta dengan mengatakan demikian (sehingga Allah tidak mendustakan mereka). Allah mendustakan mereka karena yang mereka maksud adalah tidak sanggup karena sakit atau tidak punya harta. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاۤءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضٰى

“Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang yang lemah, orang yang sakit.” (Surah At-Taubah: 91)

Bentuk Kesanggupan Kedua: Kesanggupan Yang Berarti Perbuatan Itu Sendiri

Adapun kesanggupan dalam arti kemampuan diri yang sebenarnya, bukanlah persyaratan untuk dibebani hukum. Sebagaimana difirmankan Allah,

مَا كَانُوْا يَسْتَطِيْعُوْنَ السَّمْعَ وَمَا كَانُوْا يُبْصِرُوْنَ

“Mereka tidak mampu mendengar (kebenaran) dan tidak dapat melihat(nya).” (Surah Hud: 20)

Artinya, yang dinafikan di situ adalah kemampuan sebenarnya. Bukan karena tidak ada sarana atau sebab musabab. Karena sarana itu sebenarnya ada. Hanya saja karena mereka itu benci kebenaran, hingga terasa berat bagi mereka, mungkin karena dengki kepada pelakunya, atau hanya memperturutkan hawa nafsu. Maka merekapun tidak mampu lagi mendengarnya. Demikian juga pernyataan sahabat Musa (Khidir) alaihis salam,

إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا

“Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.” (Surah Al-Kahfi: 67)

Yang dimaksud beliau adalah kesanggupan untuk sabar yang sesungguhnya. Bukan sebab mesabab dan sarana untuk bisa bersabar. Karena semua itu tidak ada. Tidakkah kita lihat bahwa beliau (Nabi Khidir) mencelanya karena ketidaksabarannya? Musa tidak mampu bersabar karena pendapatnya yang bertentangan. Beliau tidak memiliki ilmu dalam hal tersebut. Ini Bahasa yang biasa digunakan oleh umumnya orang Arab dan bangsa-bangsa lain. Orang yang membenci orang lain akan dikatakan, “Ia tidak sanggup berbuat baik kepadanya.” Kalau dia mencintainya, maka dikatakan, “Ia tidak sanggup menyakitinya.” Orang yang tidak memiliki sarana dan persyaratan tidaklah tercela karena tidak melakukan perbuatan tersebut. Tetapi yang tercela adalah yang enggan melakukannya padahal ia memiliki sarana untuk mengerjakannya.

Sumber: Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, Abdul Hammad Al-Ghunaimi, Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, Dasar-dasar Aqidah menurut ulama salaf. Penerbit Pustaka Tibyan, Solo