Larangan Menelisik Tentang Takdir

Tahawiyah

 وَأَصْلُ القَدَرِ سِرُّ اللهِ فِي خَلْقِهِ، لَمْ يَطَّلِعْ عَلَىٰ ذَلِكَ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ، وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ، وَالتَّعَمُّقُ وَالنَّظَرُ فِي ذَلِكَ ذَرِيعَةُ الخِذْلَانِ، وسُلَّمُ الحِرْمَانِ، وَدَرَجَةُ الطُّغْيَانِ، فَالحَذَرَ كُلَّ الحَذَرِ مِنْ ذَلِكَ نَظَرًا وَفِكْرًا وَوَسْوَسَةً، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ طَوَى عِلْمَ القَدَرِ عَنْ أَنَامِهِ، وَنَهَاهُمْ عَنْ مَرَامِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ:

 {لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} الأنبياء: ٢٣

 فَمَنْ سَأَلَ: لِمَ فَعَلَ؟ فَقَدْ رَدَّ حُكْمَ الكِتَابِ، وَمَنْ رَدَّ حُكْمَ الكِتَابِ؛ كَانَ مِنَ الكَافِرِينَ.

Asal dari takdir adalah rahasia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tak dapat diselidiki baik oleh malaikat yang dekat  dengan-Nya, ataupun Nabi yang diutus-Nya. Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga keharaman, dan mempercepat penyelewengan. Hati-hatilah dengan kesungguhan dari seluruh pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikan-bisikan tentang takdir tersebut karena Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tidak diketahui makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya: 

“Allah tidak ditanya mengenai perbuatan-Nya tetapi manusialah yang akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya).” (Surah Al-Anbiya: 23) 

Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Allah berbuat demikan?” berarti ia menolak hukum al-Qur`an. Barangsiapa menolak hukum al-Qur`an, berarti ia termasuk orang-orang kafir.

Syarah:

Maksud dari memberat-beratkan diri adalah berlebihan dalam mempelajari takdir, memperbincangkan dan mengulas persoalan. Semua perbuatan ini adalah kejahatan yang hina. Dan maksud dari kehati-hatian adalah berhati-hati dalam masalah takdir. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, “Sekelompok orang dari kalangan sahabat datang menjumpai Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Kami mendapati pada diri kami sesuatu yang amat sangat membayakan bila diucapkan oleh seorang di antara kami?’ Beliau menanggapi, ‘Apakah betul kalian mendapatkannya?’ Mereka menjawab, ‘Betul wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Itulah iman iman yang sesungguhnya.” (Hadits riwayat Muslim, no. 132)

Isyarat sabda beliau, ‘Itu adalah iman yang sesungguhnya.’ Ditujukan kepada apa yang mereka anggap berbahaya untuk diucapkan tadi.

Dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata bahwa suatu hari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam keluar dan menyaksikan orang-orang tengah memperbincangkan takdir, ia (perawi) bertutur, “Seolah-olah wajah beliau bagaikan biji delima yang terpecah saking marahnya.” Ia (perawi) meneruskan bahwa beliau bersabda, “Kenapa kalian mempertentangkan ayat Allah yang satu dengan yang lain? Karena itulah orang-orang sebelum kamu binasa.” Ia (perawi) berkata, “Tidak pernah aku merasa iri untuk hadir dalam satu majelis yang pada majelis itu ada Rasulullah seperti irinya aku untuk hadir di majelis tadi. Karena aku memang tidak menghadirinya.” (Hadits riwayat Ibnu Majah, no. 85)

Allah berfirman,

 فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلَاقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَاقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِيْ خَاضُوْاۗ

“Maka mereka telah menikmati bagiannya, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya.” (Surah At-Taubah: 69)

Allah juga berfirman,

وَمَا لَه فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

“Dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun.” (Surah Al-Baqarah: 200)

Artinya: Kamu sekalian menikmati bagian kamu di dunia ini sebagaimana yang dinikmati orang-orang sebelum kamu. Kamupun memperbincangkan apa yang mereka perbincangkan. Artinya perbincangan kamu sama dengan mereka, atau seperti, kelompok, golongan atau generasi yang juga memperbincangkan hal itu. Allah Ta’ala menghubungkan antara menikmati bagian dengan memperbincangkan satu hal. Karena kerusakan dalam agama memang ditimbulkan lewat amalan atau keyakinan. Yang pertama lewat syahwat, yang kedua lewat syubhat.

Wallahu A’lam Bihs Shawab

Sumber: Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, Abdul Hammad Al-Ghunaimi, Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, Dasar-dasar Aqidah menurut ulama salaf. Penerbit Pustaka Tibyan, Solo