Shalat Subuh adalah Faktor Dilapangkannya Rezeki

Th (2)

Seorang hamba, walau sezuhud apa pun dan sangat tidak peduli dengan urusan dunia, ia tetap senang kalau lapang rezekinya. Minimal cukup untuk menutupi kebutuhan diri sendiri, menyelamatkan muka dari hinanya meminta-minta. Dan demi Allah, untuk mencapai ini jalannya adalah dengan menaati Allah.

Pernah suatu ketika Nabi ﷺ shalat Subuh, begitu selesai beliau pun kembali ke rumah dan mendapati putrinya, Fatimah, sedang tidur. Beliau pun membalikkan tubuh Fatimah dengan kakinya, lantas berkata pada putrinya, “Hai Fatimah, bangun dan saksikanlah rezeki Rabbmu, karena Allah membagi-bagikan rezeki para hamba-Nya antara shalat Subuh dan terbitnya matahari.” (HR. Mundziri)

Ini bukan berarti orang yang pergi melaksanakan shalat Subuh pasti pulang dengan kantong penuh uang seperti asumsi para pencari dunia dan budak uang atau seperti perkataan orang-orang yang suka mempermainkan bahwa setelah matahari terbit berarti terputuslah rezeki! Bukan, sama sekali bukan. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa ketaatan kepada Allah dengan cara menjaga untuk terus ikut dalam shalat Subuh berjamaah secara konsisten, akan mendatangkan taufik dari Allah, sehingga nantinya seorang hamba memperoleh keridhaan dan kelurusan dari Rabbnya, yang pada gilirannya ia akan menghabiskan sisa harinya dalam pertolongan dan kemudahan dari Allah dalam urusan-urusannya.

Memang benar, taat kepada Allah sudah cukup menjadi jaminan kantong ini pasti terisi penuh dengan uang. Bagaimana tidak, sementara Allah sendiri telah berfirman:

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (Ath-Thalaq [65]: 2-3)

Akan tetapi, penulis memohon kepada Allah untuk semua teman yang sama-sama menjalankan shalat Subuh dan partner dalam kebaikan, agar terlindung dari pelaksanaan shalat Subuh dan partner dalam rangka menunggu-nunggu imbalan duniawi, tanpa dimaksudkan untuk memperoleh pahala akhirat; atau engkau termasuk yang, “…beribadah kepada Allah hanya di tepi (tidak dengan keyakinan); maka jika memperoleh kebaikan, ia merasa puas, dan jika ditimpa suatu bencana, ia berbalik ke belakang (kembali kafir). Rugilah ia di dunia dan akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” (Al-Hajj [22]: 11).

Hari ini, betapa banyak manusia yang tidak menjaga adab dengan baik terhadap Allah, Sang Pencipta, padahal penyebabnya adalah kemalasan mereka sendiri. Misalnya, seseorang pergi untuk menyelesaikan salah satu urusannya, tetapi kebetulan tidak berjalan dengan baik, ia pun memaki hari, memaki waktu subuh, dan mengambinghitamkannya, “Ini adalah hari yang kelam,” ucapnya.

Allah, Rabb kita, memberitahukan kita bahwa rezeki bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكآتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk semua negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf [7]: 96)

Firman Allah, “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil, dan (Al-Qur’an) yang diturun- kan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada sekelompok yang jujur dan taat. Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka” (Al-Maidah [5]: 66).

Nabi Muhammad, Nabi yang jujur lagi tepercaya, mengabarkan kita kalau Allah telah mewahyukan kepada beliau bahwa jiwa tidak akan mati sampai habis jatah rezekinya, setelah itu beliau perintahkan kita dengan sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara mencari rezeki. Jika rezeki salah seorang dari kalian lambat, maka janganlah ia mengejarnya dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah, karena anugerah Allah tidak dicapai dengan maksiat. (HR. Hakim)

Adapun para pencari akhirat, mereka memiliki anggapan berbeda terkait dengan rezeki yang ada di antara shalat Subuh hingga terbitnya matahari. Mereka melihat diberikannya taufik untuk bisa melaksanakan shalat Subuh saja sudah merupakan rezeki yang besar. Jika kemudian setelah itu ia diberi kemudahan untuk berdzikir setelah shalat Subuh hingga terbitnya matahari berarti Allah telah memberikan rezeki terbaik kepadanya.

Sisi Lain yang Terlupakan

Hari ini, banyak sekali orang yang memperbincangkan produktivitas kerja dan program-program untuk memacu diri kepada kemajuan. Kalau Anda katakan kepada kaum muslimin bahwa hadir dalam shalat Subuh berjamaah bagi setiap pekerja bisa memberikan efek positif dalam peningkatan dan melimpahnya nilai produktivitas, tentu mereka akan meremehkan Anda dan melontarkan kata-kata yang bernada merendahkan Anda.

Kebanyakan orang menilai bahwa profesionalitas dalam memanfaatkan waktu untuk bekerja adalah faktor terpenting untuk meningkatkan nilai produktivitas serta bertambah makmurnya kehidupan. Setuju, ini memang bagus. Tengoklah bangsa Eropa yang ateis dan negara-negara yang mengikuti jejak mereka, ketika melihat musim dingin tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaan, mereka berinisiatif membuat alat pengatur waktu, yang sering kita sebut jam, sehingga kadang mereka mempercepatnya satu jam lebih awal, kadang memperlambatnya. Mereka berasumsi hal itu bisa menambah waktu dalam sehari. Orang yang pertama kali melakukan im adalah pemimpin klasik mereka, Benjamin Franklin.

Adapun dirimu, wahai Akhi muslim, harimu tidak perlu dipercepat satu jam atau diperlambat. Sebab harimu dimulai sejak terbitnya fajar dan terkait dengan pelaksanaan berbagai kewajiban. Demi Allah, kami telah mencoba memulai aktivitas kerja begitu selesai shalat Subuh dalam berbagai bidang, baik pertanian, industri, atau sekadar kegiatan membaca. Ternyata kami mendapati berkah yang besar dalam aktivitas yang kami lakukan pada waktu tersebut.

Sumber: Keajaiban Shalat Subuh, ‘Imad ‘Ali ‘Abdus Sami’, Wacana Ilmiah Press, hal 50-55.