Beribadah Agar Berbahagia

Alam

يأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 21)

Jika engkau ingin memahami bagaimana ibadah merupakan sebuah perniagaan agung dan kebahagiaan terbesar, serta sikap fasik dan bodoh merupakan kerugian dan kebinasaan yang nyata, perhatikan cerita berikut ini:

Pada suatu hari dua orang prajurit menerima perintah untuk pergi ke sebuah kota yang jauh. Pada awal-awal perjalanan, mereka bersama- sama sampai akhirnya berpisah. Sebelum berpisah, keduanya bertemu dengan seorang lelaki yang berkata pada mereka, “Jalan sebelah kanan ini, di samping tidak mengandung bahaya, sembilan dari sepuluh musafir yang melaluinya akan menemukan kelapangan, ketenangan, dan keberuntungan. Sementara, jalan sebelah kiri tidak bermanfaat. Sembilan dari sepuluh para pelintasnya mengalami kerugian besar.” Perlu diketahui bahwa kedua jalan tersebut memiliki jarak yang sama. Yang membedakan hanya satu, yaitu pejalan yang melalui sisi kiri-yang tidak mau terikat dengan peraturan dan pemerintah tidak membawa tas barang dan senjata sehingga seolah- olah perjalanan menjadi ringan dan nyaman. Sebaliknya, pejalan yang melalui sisi kanan yang terikat dengan posisi dirinya sebagai prajurit harus membawa bekal berisi perbendaharaan makanan seberat 4 kilo dan senjata negara seberat 2 kilo di mana dengan itu bisa mengalahkan semua musuh.

Setelah kedua prajurit itu mendengar ucapan lelaki pemberi petunjuk tadi, orang yang bahagia melewati jalan sebelah kanan. Ia berjalan seraya memikul sejumlah beban namun hatinya tenang dan jiwanya bebas dari segala ketakutan. Adapun orang yang malang enggan menjadi prajurit dan tidak mau terikat peraturan. Dia meniti jalan sebelah kiri. Meski fisiknya bebas dari beban, namun kalbunya dibayang-bayangi oleh rasa berutang budi dan jiwanya tersiksa oleh berbagai kecemasan yang tak terhingga. Ia melintasi jalannya dengan terus mengemis kepada setiap orang serta cemas terhadap segala hal, dan takut terhadap semua kejadian. Ketika sampai di tempat tujuan, ia pun mendapatkan hukuman sebagai balasan atas sikapnya yang lari dan membangkang.

Adapun pejalan yang melintasi jalan sebelah kanan, yang patuh terhadap aturan keprajuritan serta menjaga tas dan senjatanya, berjalan dalam kondisi lapang dan jiwanva tenang tanpa harus mengharap budi baik orang atau takut kepada siapa pun. Ketika sampai di kota tujuan, di sana ia mendapatkan upah yang sesuai dengannya sebagai prajurit yang telah menyelesaikan tugas dengan baik.

Wahai orang yang ceroboh dan liar! Ketahuilah bahwa salah satu dari kedua musafir di atas adalah mereka yang taat terhadap hukum ilahi, sementara yang lain adalah para pembangkang yang mengikuti hawa nafsu. Sementara, jalan tersebut adalah jalan kehidupan yang berasal dari alam arwah, kemudian melintasi kubur guna menuju kepada alam akhirat.

Tas dan senjatanya berupa ibadah dan takwa. Betapapun ibadah tampak berat, namun sebenarnya ia berisi kelapangan yang tak terlukiskan. Hal itu karena seorang abid dalam shalatnya mengucap lâ ilâha illallâh. Artinya, tiada Pencipta dan Pemberi rezeki selain Allah. Manfaat dan bahaya berada di tangan-Nya. Dia Mahabijak yang tidak berbuat sia-sia. Dia juga Maha Penyayang yang kasih sayang dan kebaikan-Nya demikian berlimpah.

Orang mukmin yakin dengan ucapannya. Karena itu, dalam segala hal ia menemukan pintu yang terbuka menuju perbendaharaan rahmat Tuhan sehingga ia ketuk pintu tersebut dengan doa. Ia pun melihat segala sesuatu tunduk atas perintah-Nya, sehingga ia bersimpuh di hadapan-Nya dengan sikap merendah. Ia membentengi diri di hadapan semua musibah dengan sikap tawakal sehingga imannya membuat dirinya merasa aman dan tenang.

Ya, sumber keberanian serta seluruh kebaikan hakiki adalah iman dan pengabdian. Sebaliknya, sumber segala ketakutan serta seluruh keburukan adalah kesesatan. Andaikan bola bumi menjadi bom yang bisa meledak, barangkali ia tidak akan membuat takut sang abid yang memiliki kalbu bersinar. Bahkan, bisa jadi ia melihatnya sebagai salah satu qudrat Tuhan yang luar biasa sehingga ia merasa kagum dan senang. Sebaliknya, seorang fasik yang kalbunya mati, meski ia seorang filosof yang dianggap cerdas, apabila melihat meteor di angkasa ia akan takut dan cemas seraya bertanya-tanya, “Mungkinkah bintang ini menabrak bumi kita?” Ia terempas dalam lembah ilusi. (Amerika pernah ketakutan dengan keberadaan meteor yang terlihat di langit sehingga banyak penduduk yang meninggalkan tempat tinggal mereka saat malam). Ya, meski kebutuhan manusia terhadap segala sesuatu tak terhingga, namun modalnya nyaris tidak ada. Meski ia dihadapkan pada ujian yang tak bertepi kemampuannya juga tidak berarti. Pasalnya, kadar modal dan kemampuannya sejauh apa yang bisa ia gapai sementara wilayah harapan, keinginan, penderitaan dan cobaannya sangat luas sejauh mata memandang.

Karena itu, jiwa manusia yang lemah dan tak berdaya benar-benar membutuhkan berbagai hakikat ibadah dan tawakal, serta tauhid dan sikap pasrah. Keuntungan, kebahagiaan, dan nikmat yang didapat darinya juga sangat besar. Siapa yang penglihatannya masih sehat pasti bisa melihat dan menjangkaunya. Pasalnya, seperti diketahui bahwa jalan yang tidak berbahaya tentu lebih dipilih daripada jalan yang berbahaya meski kemungkinan manfaat yang ada padanya satu banding sepuluh. Terlebih persoalan kita ini, yakni jalan ibadah, di samping tidak berbahaya dan kemungkinan manfaatnya sembilan puluh persen, ia juga memberikan kepada kita perbendaharaan kebahagiaan abadi. Sebaliknya, jalan kefasikan dan kebodohan-seperti pengakuan si fasik itu sendiri- di samping tidak memberi manfaat ia juga menjadi sebab datangnya derita dan kebinasaan abadi disertai kerugian dan tidak adanya kebaikan. Ini sudah menjadi kepastian dan kesepakatan para ulama. Ia adalah sebuah keyakinan yang kuat sesuai dengan informasi dari kalangan yang mencapai tingkatan kasyaf.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebagaimana akhirat, kebahagiaan dunia juga terletak pada ibadah dan seberapa taat kita menjadi hamba Allah.

Karena itu, kita harus senantiasa mengucap alhamdulillah atas ketaatan dan taufik yang Allah berikan. Kita wajib bersyukur kepada- Nya karena kita menjadi muslim.

Sumber: Rahasia Kenikmatan Beribadah, Badiuzzaman Said Nursi, Zaman, hal 14-16.