Sudah dijelaskan bahwa takwa berkaitan dengan hati dan anggota badan. Mari kita mulai dengan mengenali takwa pada anggota tubuh, yakni dengan mengamati apakah perbuatan lahiriah sesuai dengan Al-Quran dan As Sunnah. Kalau perbuatan lahiriah sudah bisa dikategorikan telah memelihara batasan-batasan Allah Swt., silakan lanjutkan dengan mengamati kalbu. Kalau sikap kalbu seseorang istiqamah dan sesuai dengan tujuan aktivitas lahiriah yang dilakukan, maka ia adalah salah satu kekasih-Nya. Sayangnya, sulit menemukan orang seperti itu pada zaman ini.
Introspeksi ini harus dilakukan secara mendetail dengan mengamati setiap aktivitas anggota tubuh: apakah sudah sesuai dengan perintah dan larangan Tuhan atau tidak?. Lidah, misalnya, apakah ia mengucapkan apa yang diperintahkan Allah, seperti menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran? Kalau sudah yakin bahwa lidah hanya mengucapkan apa yang diperintahkan, amatilah apakah ia juga sudah menjauhi perkataan yang dilarang? Jika ternyata lidah memang terpelihara dari ragam ucapan yang dilarang.
Lanjutkanlah dengan mengamati mata: apakah mata hanya melihat hal yang halal dan menjauhi hal yang haram? Apabila mata memang beristikamah dan hanya memandang apa yang dibolehkan, teruskanlah dengan mencermati telinga: apakah telinga hanya mendengarkan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang? Bila telinga sudah menjalankan tugasnya dengan baik, lanjutkanlah dengan mengamati tangan: apakah tangan benar-benar hanya menyentuh benda halal dan menjauhi benda haram?. Kalau ternyata tangan sudah seperti yang diharapkan, lanjutkanlah dengan memperhatikan kaki: apakah kaki sudah menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan?
Jika kaki sudah berfungsi sesuai dengan perintah Allah, lanjutkanlah dengan mengamati perut, kemaluan, dan begitulah seterusnya. Apabila sudah benar-benar yakin bahwa seluruh anggota tubuh beristikamah dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, jangan terburu-buru merasa puas! Amatilah tujuan dalam melaksanakan semua itu. Apakah semua aktivitas lahiriah itu hanya ditujukan untuk mengharap rida Allah atau tidak?
Setelah mendapati semua aktivitas hanya ditujukan untuk mengharap rida Allah, resapilah!, adakah rasa takjub dalam diri hingga merasa lebih baik daripada orang lain karena telah berhasil menaati-Nya?
Jika tidak menemukan rasa takjub dalam diri, perhatikan!, adakah rasa sombong karena telah melakukan semua itu? Kalau memang tidak ada, dan itu memang tidak boleh, amatilah: adakah perasaan bahwa kemampuan melakukan ibadah ini adalah berkat besarnya hasrat dan tekad dalam diri, bukan berkat bantuan [dan rahmat] Allah? Apabila memang tidak tebersit perasaan picik itu sedikit pun, sadarilah: adakah rasa bangga dalam diri karena sukses menepis perasaan picik itu?
Kalau memang tidak ada, cermati: apakah motivasi melakukan semua itu benar-benar hanya Allah Swt.?
Kalau semua perasaan menyimpang tersebut memang tidak ada dalam hati, perhatikan: adakah perasaan picik lain, seperti iri, merasa hebat, dan berambisi mendapatkan kemuliaan di muka bumi? Apabila, setelah direnungkan, ternyata semua itu jauh dari diri, orang pasti sadar bahwa dirinya jauh dari Allah kendati merasa dekat dengan-Nya, berpaling dari-Nya walaupun merasa menghadap kepada-Nya, dan bersandar kepada makhluk meskipun merasa bersandar kepada-Nya.
Wallahu alam bishshowab
Sumber: Belajar Ikhlas, Izzuddin Bin Abdissalam, hal 20-22