Larangan Minum Sambil Berdiri

Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, dari Nabi saw, “Bahwasanya beliau telah melarang seseorang minum sambil berdiri,” (HR Muslim [2024]).

Qatadah berkata, “Kami tanyakan, bagaimana dengan makan?” Beliau menjawab, “Lebih buruk dan menjijikkan.”

Diriwatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, “Bahwasanya Nabi saw. mencela minum sambil berdiri,” (HR Muslim [2025]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah salah seorang dari kalian minum sambil berdiri dan bagi yang lupa ia muntahkan’,” (HR Muslim [2026]).

Kandungan Bab:

  1. Telah tercantum dalam kedua kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lain dari Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Umar r.a. bahwasanya mereka minum sambil berdiri dan mereka menisbatkan perbuatan mereka kepada Nabi saw. 
  2. Oleh karena, sebagian ulama merasa kesulitan memahami hadits larangan bahkan sebagian yang lain nekat mendhaifkan hadits tersebut. Sebenarnya tidak ada yang sulit dan tidak ada yang perlu didhaifkan. Dalam masalah ini para ulama telah menempuh beberapa cara:
    1. Tarjih: Hadits-hadits yang membolehkan lebih shahih daripada hadits yang melarang. 
    2. Nasakh: Sebagian ulama mengklaim bahwa hadits-hadits larangan dimansukhkan oleh hadits-hadits pembolehan, dengan bukti perbuatan yang dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin dan sebagian besar para sahabat dan tabi’in juga membolehkannya. Sebaliknya, Ibnu Hazm mengklaim bahwa hadits-hadits pembolehan dimansukhkan oleh hadits larangan. Ia berpegang dengan alasan bahwa pembolehan adalah asal sedang larangan adalah hukum dari ketetapan syar’i. Barangsiapa mengatakan boleh setelah adanya larangan harus menunjukkan dalil. 
    3. Takwil: Sekelompok ulama mengartikan hadits minum sambil berdiri itu dengan minum sambil berjalan. Dan sekelompok lain mengartikannya jika tidak membaca basmalah ketika minum. 
    4. Kompromi: Sekelompok ulama ada yang mengkompromikan kedua hadits. Yaitu dengan cara mengartikan bahwa hadits larangan menunjukkan hukum makruh dan hadits pembolehan merupakan penjelasan untuk hadits larangan.

    Saya katakan, “Cara pengkromian hadits merupakan cara terbaik karena dapat mengamalkan semua hadits. Hanya saja mungkin kita kompromikan hadits-hadits tersebut dengan cara terbaik, yaitu dari konteks hadits-hadits larangan menunjukkan hukum haram, apalagi bila kita perhatikan ciri-cirinya maka akan kita temukan bahwa tidak ada jalan untuk mengatakan selain hukum haram. Ciri-ciri tersebut adalah:

    1. Larangan minum sambil berdiri. 
    2. Penegasan larangan dengan kata celaan. Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa kata celaan lebih keras dari pada sekedar larangan. 
    3. Penjelasan bahwa syaitan minum bersama orang yang minum sambil berdiri. 
    4. Perintah untuk memuntahkan bagi mereka yang minum sambil berdiri.

    Adapun hadits pembolehan semuanya berasal dari perbuatan Rasulullah saw. Sementara hadits qauliyah lebih dikedepankan daripada hadits fi’liyyah, sebab hadits fi’liyah ada kemungkinan hanya khusus untuk Rasulullah saw. saja. Namun mengartikan hadits pembolehan tersebut untuk kondisi udzur, seperti tempat yang sempit atau kantung air yang tergantung itu lebih kedepankan.

    Adapun cara-cara lain ada kesan dipaksakan dan kaku. Khususnya pernyataan nasakh, sebab tidak boleh masuk ke tahap penasakhan jika pengkompromian mungkin untuk dilakukan. Dan hadits fi’liyah tidak dapat dimansukh oleh hadits qauliyah. Allahu a’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/170-172.