Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. telah melarang menenggak air dari mulut bejana,” (HR Bukhari [5625] dan Muslim [2023]).
Diriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, “Maukah kalian aku beritahukan beberapa hal yang terlarang yang telah diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami? Rasulullah saw. telah melaragn minum langsung dari mulut timba atau kantung air dan tidak mengizinkan tetangga untuk menyandarkan kayu di rumahnya,” (HR Bukhari [5627]).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a, ia berkata, “Nabi saw. melarang minum langsung dari mulut kantung air,” (HR Bukhari [5629]).
Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata, “Dilarang minum langsung dari mulut kantung air karena dapat membuatnya bau,” (Shahih, HR al-Hakim [IV/140]).
Kandungan Bab:
- Dilarang minum langsung dari mulut kantung air dan syariat menyebut beberapa sebab:
- Khawati akan merubah bau air dan tempatnya sehingga timbul rasa jijik yang akhirnya air tersebut dibuang. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits Aisyah r.a. yang berbunyi, ‘Karena dapat membuatnya bau.”
- Dikhawatirkan ada hewan yang masuk ke dalam tempat minum tersebut, sepertiular sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah r.a. dengan sanad yang marfu’, “Dilarang minum langsung dari mulut kantung air.” Ayyub berkata, “Diceritakan kepada kami bahwa seseorang minum langsung dari kantung air lantas keluar seekor ular dari kantung tersebut,” (Shahih, HR Ahmad [IV/230]).
- Orang yang minum dengan cara seperti ini menjadikan air yang keluar dari kantung air itu terlalu banyak tercurah melebihi kebutuhannya dan membuatnya tersedak.
-
Larangan ini menunjukkan hukum pengharaman. Ditinjau dari beberapa hal di atas dapat menguatkan bahwa larangan ini menunjukkan pengharaman.
Al-Hafidz berkata dalam Fathul Bari (X/91), “An-Nawawi berkata, ‘Para ulama sepakat bahwa larangan di sini menunjukkan makruh bukan haram.’ Demikianlah yang ia katakan.”
Perkataan an-Nawawi yang menyatakan kesepakatan para ulama di sini masih perlu diteliti kembali.
An-Nawawi juga berkata, “Untuk lebih menguatkan bahwa hukumnya makruh ialah adanya hadits-hadits yang memberikan keringanan untuk melakukannya.”
Saya katakan (Ibnu Hajar), “Aku tidak pernah melihat adanya hadits-hadits yang bersanad marfu’ menunjukkan bolehnya minum langsung dari mulut kantung air kecuali dari perbuatan Nabi saw. sementara hadits yang melarang semuanya berasal dari ucapan beliau yang tentunya lebih kuat jika kita lihat dari sebab dilarangnya perbuatan tersebut. Semua yang telah disebutkan oleh para ulama tentang sebab, tentunya Rasulullah saw. terpelihara dari hal itu, karena ia seorang maksum, berakhlak mulia dan hati-hati ketika beliau menuangkan air dan sifat lain yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Menurut kaidah fikih dari keseluruhan perkaran ini berada di sekitar hukum makruh dan haram. Dan kaidah lebih merajihkan pendapat yang mengatakan haram.”
- Larangan ini khusus bagi yang minum langsung ke mulut tempat air. Adapun bagi yang menuangkannya ke gelas lalu ia minum tidak termasuk larangan.
- Hadits shahih yang isinya Rasulullah saw. pernah minum langsung dari mulut kantung air, seperti hadits Ummu Tsabit bnti Tsabit r.a. berkata, “Raulullah saw. masuk ke rumahku lalu sambil berdiri berdiri minum langsung dari mulut kantung air yang tergantung. Lantas aku berdiri ke mulut kantung tersebut dan memotong talinya,” (Shahih, HR at-Tirmidzi [1892] dan Ibnu Majah [2423]).
Apabila dilihat dari sisi hadit Ummu Tsaabit di atas tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang melarang:
- Hadits-hadits yang melarang adalah hadits ucapan Rasulullah dan hadits-hadits yang berisikan dispensasi adalah hadits perbuatan Rasulullah saw. Hadits qauliyah lebih didahulukan daripada hadits fi’liyah.
- Semua hadits yang menyebutkan pembolehkan berkaitan dengan kantung air yang tergantung. Untuk ini ada hukum khusus dari kantung air lainnya. Karena hadits tersebut adalah dalil pembolehan untuk kantung air tergantung saja bukan pembolehan secara mutlak. Jadi pembolehan tersebut harus dipahami untuk kondisi yang darurat saja agar hadits larangan dan hadits pembolehan dapat dikompromikan.
- Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa hadits larangan dihapus oleh hadit pembolehan adalah pendapat yang marjuh. Karena tahap penghapusan hukum tidak boleh dilakukan jika ada beberapa kemungkinan. Adapun kedua khabar tersebut dapat dikompromikan, maka tidak perlu masuk pada tahap penghapusan.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/166-169.