Menjadi Kekasih Allah (Bagian 2)

Cinta Allah

Allah menjamin kebahagiaan orang-orang beriman di surga. Kalaupun terkadang manusia itu selalu dihantui rasa takut. Imam Ibnu Hazm mengatakan, “sesungguhnya semua manusia itu sedang berusaha mengusir rasa takutnya. ”
Takut dari kemiskinan, maka ia bekerja. Takut dari kematian maka ia beramal, dan lain sebagainya.
Adapun konsekwensi hidup itu penuh dengan ujian. Terlebih bagi para kekasih Allah. Hal ini tertuang dalam surah Al-Anbiya ayat 35. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”
Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa keburukan itu ujian dan kenikmatan itu pun ujian.
Buya Hamka rahimahullah menjelaskan dengan gamblang tentang ciri-ciri wali Allah. Dengan bahasa sederhana beliau menerangkan bahwa mereka adalah kaum muslimin yang memiliki iman yang mantap. Beliau menggambarkan jika ingin melihat orang-orang beriman, maka lihatlah mereka pada sholat subuh berjama’ah. Namun jika ingin melihat orang-orang muslim saja, maka lihatlah pada sholat Jum’at.
Terlebih dalam hal ini, orang-orang mukmin akan terhindar dari kemunafikan. Karena sejatinya munafik adalah muslim di dunia, sedangkan ia kafir di akhirat. Imam ibnu Mulaikah mengatakan,

أدركت ثلاثين من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يخافون من النفاق

“Aku menjumpai tiga puluh sahabat Nabi SAW, mereka semuanya takut dan khawatir terjangkit penyakit nifaq.”
Maka, bisa kita ukur diri kita, manakala waktu sholat subuh kita masih tertidur pulas, bisa jadi masih ada tanda penyakit nifaq dalam diri kita.
Adapun syarat untuk mendapatkan kecintaan Allah adalah iman, sebagaimana yang dijelaskan imam ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Bahwa iman itu terdiri dari 3 komponen.
1. Ada di dalam kalbu. Yaitu terdiri dalam 24 macam. Seperti rasa takut kepada Allah, cinta, harap, sabar, ikhlas, tawakal, dan lain-lain.
2. Berasal dari lisan. Yaitu ada 7 macam. Sebagai contoh berdakwah, berdzikir, berbicara yang baik, dan lainnya. Bahkan dari pembicaraan seseorang, siapapun mampu menebak karakter si pembicara tersebut. Di dalam sebuah ungkapan dikatakan,

تكلم أخبرك من أنت

“Berbicaralah kamu, niscaya akan aku ketahui siapa dirimu yang sebenarnya.”
Maka dalam ini juga menjadi perhatian bagi kita agar bisa menjaga lisan. Dan menggunakan lisan hanya untuk kebaikan.
3. Dengan beramal dengan seluruh anggota badan.
Allah juga mengabarkan bahwa diri-Nya sebagai pelindung bagi orang-orang beriman para wali Allah. Sebagaimana dalam ayat-Nya yang mulia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ۗ وَا لَّذِيْنَ كَفَرُوْۤا اَوْلِيٰۤــئُهُمُ الطَّا غُوْتُ ۙ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِ ۗ اُولٰٓئِكَ اَصْحٰبُ النَّا رِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

“Allah Pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 257)

Sebagai standarisasi orang beriman dan yang hidup imannya, Allah gambarkan dalam surah Al-Anfal ayat 2.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِ ذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَا دَتْهُمْ اِيْمَا نًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal,” (QS. Al-Anfal 8: Ayat 2)

Benar sekali. Standar yang Allah berlakukan bagi mukmin sejati adalah yang selalu interaksi dengan Al-Qur’an dan tidak pernah terputus koneksinya.

Nabi bersabda, “barangsiapa yang membaca 10 ayat Al-Qur’an maka tidak dicatat sebagai orang yang lalai, dan barangsiapa yang membaca 100 ayat, maka ia dicatat sebagai orang yang qonithin”. (HR. Hakim)
Seolah orang yang membaca 100 ayat Al-Qur’an dalam hari-harinya adalah setara dengan ia mendirikan sholat tahajjud. Maa syaa Allah.

Kualitas iman seseorang dibuktikan dengan amal nyata berupa ketakwaan. Abdullah bin Mas’ud pernah berkata, Ciri-ciri orang bertakwa ada 3:

1. Senantiasa taat kepada Allah, dan tidak melanggar-Nya.
2. Senantiasa mensyukuri nikmat Allah, dan tidak mengkufuri nikmat dari-Nya. Adapun wujud dari mensyukuri nikmat Allah adalah dengan menggunakan nikmat-Nya di jalan ketaatan.
Para ulama menjelaskan, jika seseorang tidak memanfaatkan nikmat Allah di jalan ketaatan kepada Allah, maka nikmat tersebut akan menjadi bala’ dan bencana. Laa Hawla wala quwwata illa billah.
3. Selalu ingat kepada Allah. Nabi bersabda,

تنام عيني ولا ينام قلبي

“Mataku terpejam, akan tetapi hatiku tidak tidur selalu terjaga.” (HR. Ahmad)

Bahkan Allah mengancam orang-orang yang melalaikan nikmat Allah dalam surah Al-Hasyr ayat 19.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَ نْسٰٮهُمْ اَنْفُسَهُمْ ۗ اُولٰٓئِكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr 59: Ayat 19)

Sedangkan orang-orang yang lalai adalah orang-orang yang disifati sebagai penghuni neraka.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَـقَدْ ذَرَأْنَا لِجَـهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَا ۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَا ۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَا ۗ اُولٰٓئِكَ كَا لْاَ نْعَا مِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰٓئِكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

“Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf 7: Ayat 179)
Di sisi lain sebagai pembelaan dan perlindungan yang maksimal dari Allah kepada para wali-Nya, Allah berfirman dalam hadits Qudsi. Dimuat dalam riwayat Al-Bukhari Rasulullah bersabda, Allah SWT berfirman,

مَنْ عَادَى لِي وَلِيَّاً فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ. وَمَا تَقَرَّبَ إِلِيَّ عَبْدِيْ بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلِيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. ولايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا. وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ لأُعطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ (رَوَاهُ اْلبُخَارِيُّ)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: ”Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya. Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku pasti Aku memberinya dan jika dia meminta perlindungan kepada–Ku pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Al Bukhari).

Ustadz Farid menutup kajian dengan kisah seorang Tabi’in yaitu Muhammad bin Munkadir yang melihat sosok yang dianggap biasa saja, bahkan tidak dikenal. Dalam masa paceklik yang menyulitkan penduduk Madinah kala itu, selepas beliau sholat malam beliau menyaksikan seorang berkulit hitam yang sholat ringan 2 rokaat lalu berdo’a menengadahkan tangannya ke langit seraya memohon ampun dan meminta kepada Allah agar penduduk Madinah terentaskan dari paceklik berkepanjangan. Seketika itu pula hujan turun dengan derasnya, sebelum si fulan tadi menurunkan tangannya. Sontak beliau kagum dan keheranan sehingga mencari tau siapa ia sebenarnya.
Keesokan harinya selepas sholat Subuh, Muhammad bin Munkadir mendatangi rumah orang yang ia temui semalam dan ditemukan hanya ada alat sol sepatu. Seolah tidak ada yang istimewa. Kemudian bertanya siapa gerangan ia sebenarnya, sehingga ketika berdo’a, doanya langsung diijabah oleh Allah. Pertanyaan tersebut dirasa mengusiknya sehingga dia tidak menjawab lalu pergi berlalu begitu saja tanpa meninggalkan pesan apapun.
Maa syaa Allah. Inilah sosok wali Allah kalaupun sederhana, akan tetapi setiap ia berdo’a Allah segera mengabulkan. Sehingga wali Allah itu tidak identik dengan orang yang bergelimang harta, tinggi pangkat dan jabatannya ataupun orang terpandang. Melainkan karena nilai takwanya di hadapan Allah azza wajalla. Demikian halnya Uwais Al Qorni. Sekalipun ia bukan seorang sahabat, akan tetapi Rasulullah merekomendasikan agar jika ingin do’anya dikabulkan, maka memintalah agar dido’akan oleh Uwais Al Qorni. Hal ini pun dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab Radiyallahu ‘anhu.

Demikian ringkasan yang saya tulis. Tentunya masih jauh dari kata baik. Semoga bermanfaat dan jadi amal jariyah bagi beliau yang menyampaikan, penulis, pembaca, dan yang menyebarkan. Aamiin

Al faqir ila afwi rabbi
~Sholahuddin Ali