Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah r.a, bahwasanya Rasulullah saw. melarang memakan binatang buas yang bertaring, (HR Bukhari [5530] dan Muslim [1932]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Rasulullah saw. bersabda, “Setiap binatang buas yang bertaring haram dimakan,” (HR Muslim [1933]).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang memakan daging binatang buas yang bertaring dan burung yang bercakar,” (HR Muslim [1934]).
Kandungan Bab:
- Al-Baghawi berkata dalam Syarah Sunnah (XI/234), “Hewan yang bertaring maksudnya adalah hewan yang menyerang manusia dan harta benda mereka dengan taringnya, seperti srigala, singa, anjing, macan, kumbang, harimau, macan loreng, beruang, monyet dan sejenisnya. Binatang-binatang sejenis ini haram dimakan. Demikian pula burung-burung yang bercakar, seperti burung elang, rajawali, garuda dan sejenisnya.
- Para ahli ilmu berbeda pendapat tentang dhab’un (sejenis anjing hutan), menurut pendapat yang benar ia boleh dimakan, berdasarkan hadits Jabir r.a, bahwasanya ia ditanya tentang dhab’un, apakah termasuk hewan buruan?” Beliau menjawab, “Ya!” Aku (perawi) bertanya lagi, “Apakah boleh dimakan?” Beliau menjawab, “Boleh!” Aku bertanya, “Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah saw?” Beliau menjawab, “Ya!” (Shahih, HR Abu Dawud [3801] dan at-Tirmidzi [851]).
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Ashqalani berkata dalam Fathul Baari (IX/658), “Telah diriwayatkan beberapa hadits yang bisa dipakai tentang halalnya dhab’un.”
Oleh karena itu, hadits-hadits dalam bab ini adalah hadits umum sedangkan hadits Jabir adalah hadits khusus, tidak ada pertentangan antara keduanya.
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (VIII/291), “Jumhur ulama berpendapat haram. Mereka berdalil dengan dalil di atas yang isinya mengharamkan setiap hewan bertaring. Pendapat mereka ini dibantah dengan jawaban bahwa hadits bab ini lebih khusus dengan demikian lebih didahulukan dari pada dalil yang mengharamkan setiap hewan yang bertaring.”
Kemudian asy-Syaukani melanjutkan, berkata Ibnu Ruslan, “Dikatakan bahwa Dhab’un tidak punya taring dan aku pernah mendengar orang yang berbicara tentang dhab’un bahwa semua gigi dhab’un satu tulang seperti kuku kuda. Dengan demikian dhab’un tidak termasuk dalam keumuman larangan itu.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/123-124.