Allah SWT berfirman, “Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (Al-Baqarah: 226-227).
Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar r.a. menjelaskan tentang ilaa’ yang disebutkan Allah dalam kitab-Nya, “Tidak halal bagi siapapun setelah lewat batas waktu kecuali tetap menahan isterinya dengan cara yang ma’ruf atau berniat mentalaknya menurut prosedur yang telah diperintahkan Allah SWT,” (HR Bukhari [5290]).
Kandungan Bab:
- Ilaa’ adalah sumpah, yaitu seseorang bersumpah tidak akan menggauli isterinya. Ilaa ini bisa kurang dari bulan dan bisa juga lebih. Jika kurang dari empat bulan, maka ia harus menunggu sampai empat bulan kemudian silakan ia menggauli isterinya kembali dan si isteri hendaknya bersabar. Si isteri tidak boleh menuntut suaminya supaya kembali menggaulinya. Jika waktunya lebih dari empat bulan maka si isteri boleh menuntut suaminya untuk kembali kepadanya atau mentalak dirinya, agar si isteri tidak terkatung-katung nasibnya. Oleh karena itu, ilaa’ yang lebih dari empat bulan tanpa rujuk atau talak hukumnya haram. Karena hal itu jelas merugikan isteri.
- Talak tidak jatuh hanya karena sudah lewat empat bulan. Pendapat ini diriwayatkan dari jumhur sahabat r.a.
Diriwayatkan dari Nafi’, dari Ibnu Umar r.a, ia berkata, “Apabila sudah berlalu empat bulan maka ilaa dihentikan hingga si suami menjatuhkan talak. Dan tidak akan jatuh talak sehingga si suaminya sendiri yang mejatuhkan talaknya.”
Diriwayatkan juga dari Utsman, Ali, Abu Darda, Aisyah dan dua belas sahabat Nabi saw. Inilah pendapat yang benar, isnya Allah berdasarkan alasan-alasan berikut ini:
- Kandungan firman Allah SWT, “Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) mentalak,” (Al-Baqarah: 227).
Jelas menunjukkan bahwa berakhirnya masa ilaa’ empat bulan tidak terhitung talak sehingga suami yang mengilaa’ menjatuhkan talak atau kembali kepada isterinya. Allah telah mengaitkan talak dan rujuk kepada suami yang mengilaa’ setelah selesai batas waktunya. Oleh karena itu tidak tepat orang yang mengatakan bahwa talak dianggap jatuh apabila batas waktunya berakhir. Karena tidak ada keterangan sedikitpun yang menunjukkan bahwa berazam untuk talak dianggap sudah mentalak. Kalalulah demikian maka berazam untuk rujuk juga dianggap sudah rujuk tanpa menyatakan atau melakukannya. Dan tidak ada ulama yang mengatakan seperti itu.
- Riwayat-riwayat yang dinukil dari para sahabat dalam masalah ini dianggap memiliki hukum marfu’ sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (IX/428), “Ini merupakan tafsir ayat dari Ibnu Umar r.a. dan tafsir sahabat dalam kondisi seperti ini dianggap memiliki hukum marfu’ menurut Bukhari dan Muslim sebagaimana yang dinukil oleh al-Hakim. Maka ini merupakan dalil yang mengatakan bahwa ilaa’ berakhir apabila batas waktunya sudah selesai.”
- Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas sahabat dan sesuai dengan zhahir al-Qur’an. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Ashqalani berkata dalam Fathul Baari (IX/429), “Kadangkala tarjih diambil dengan melihat pendapat mayoritas ulama serta sesuainya dengan zhahir al-Qur’an.”
- Kandungan firman Allah SWT, “Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) mentalak,” (Al-Baqarah: 227).
- Dari batas waktu ilaa’ yang telah Allah berikan kepada suami yang mengilaa’ isterinya sebagian ahli fikih mengambil istimbat (kesimpulan) hukum bahwa seorang suami tidak boleh meninggalkan isterinya lebih dari empat bulan meskipun ia tidak mengilaa’ isterinya. Karena batas waktu itu menunjukkan bahwa jarang wanita yang bisa bersabar jauh dari suami lebih dari itu, wallahua’lam.
- Ilaa’ dianggap berakhir setelah berlalu masa empat bulan, jika si suami tidak kembali maka ia diminta untuk metalak isterinya. Jika ia tidak juga mau mentalak maka hakimlah yang menjatuhkan talaknya, wallahua’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/83-85.