Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya Abdullah bin Amru saw. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada talak kecuali atas wanita yang berada dalam kepemilikanmu. Dan tidak ada pembebasan buda kecuali atas budak yang berada dalam kepemilikanmu. Tidak ada jual beli kecuali atas barang yang berada dalam kepemilikanmu. Tidak ada pelunasan nadzar kecuali atas sesuatu yang berada dalam kepemilikanmu,” (Hasan, HR Abu Dawud [2190], at-Tirmidzi [1181] dan Ibnu Majah [2047]).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada talak bagi yagn belum menikah dan tidak ada pembebasan buda bagi yang belum memiliki buda,” (Shahih, HR ath-Thayalisi [1682] dan al-Hakim [II/204]).
Dalam bab ini diriwayatkan juga dari Ali bin Abi Thalib, al-Miswar bin Makramah, Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dari ayahnya, dari kakeknya, Aisyah, Muadz bin Jabal, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar r.a.
Kandungan Bab:
- Tidak jatuh talak seseorang terhadap wanita yang bukan isterinya. Al-Baghawi berkata dalam Syarah Sunnah (IX/199), “Para ahli ilmu sepakat bahwa kalau seseorang menjatuhkan talak sebelum nikah atau membebaskan budak sebelum memilikinya, maka itu hanyalah sia-sia belaka.”
- Para ulama berbeda pendapat tentang menggantung talak, seperti mengatakan, “Jika aku menikahi si fulanah maka ia tertalak.” Atau mengatakan, “Jika aku menikahi wanita dari daerah ini, maka ia tertalak.” Jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan para ulama sesudahnya berpendapat bahwa talak tersebut tidak sah.
At-Tirmidzi berkata (III/486), “Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi dan selain mereka.”
Inilah pendapat yang benar. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Fathul Baari (IX/386), “Atsar-atsar tersebut menunjukkan bahwa mayoritas sahabat dan tabi’in memahami riwayat-riwayat itu bahwa talak atau pembebasan budak yang digantung sebelum nikah atau sebelum menjadi hak milik dianggap tidak berlaku. Adapun takwil para penyelisih yang berpendapat talak tidak sah sebelum menjadi hak milik (sebelum aqad) dan dianggap sah setelah menjadi hak milik maka takwil seperti ini tidaklah tepat. Karena semua orang tahu bahwa sebelum adanya aqad nikah atau penetapan hak milik maka talak atau pembebasan budak tidak dianggap sah. Kalaulah maknanya seperti apa yang mereka katakan tadi, maka tidak ada faidah dari penafian tersebut. Bedahalnya kalau kita bawakan hadits tersebut menurut makna zhahirnya, maka di dalamnya terkandung faidah, yaitu pemberitahuan bahwa talak atau pembebasan budak tidak sah walaupun setelah adanya aqad. Dan ini menguatkan pendapat kami yang membawakan hadits tersebut kepada makna zhahirnya, wallahua’lam.
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (VII/28), “Perincian seperti ini tidak tepat dan hanya sekedar anggapan baik saja sebagaimana juga tidak tepat pendapat yang mengatakan sah secara mutlak. Pendapat yang benar adalah tidak sah talak yang dijatuhkan sebelum nikah secara mutlak.”
- Sebagian orang membawakan larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits bab di atas kepada orang yang mengatakan, “Isteri si fulan tertalak!” Tidak syak lagi takwil seperti ini sangat jauh dari kebenaran.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/75-76.