Larangan Bercanda dengan Menjatuhkan Talak

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga perkara, sungguh-sungguh ataupun bercanda tetap berlaku: nikah, talak dan rujuk,” (Hasan, HR Abu Dawud [2194], at-Tirmidzi [1184], Ibnul Jarud [712] dan al-Baghawi [2356]).

Kandungan Bab: 

  1. Tidak boleh bermain-main dan bercanda dalam perkara talak. Andaikata ia melakukannya maka talak dianggap berlaku.

    Al-Baghawi berkata dalam Syarah Sunnah (IX/220), “Ahli ilmu sepakat bahwa talak bercanda dianggap sah. Jika telah keluar kata-kata talak yang jelas melalui lisa seseorang yang berakal maka tidak ada gunanya ia beralasan, ‘Aku tadi main-main atau bercanda.’ Karena kalaulah alasan itu diterima maka akan kacaulah hukum-hukum syar’i. Kalaulah hal itu boleh tentu siapa saja yang metalak, menikah atau membebaskan budak akan mengatakan, ‘Aku tadi bermain-main atau bercanda.’ Maka dengan itu akan kacaulah hukum-hukum Allah. Barangsiapa yang mengatakan sesuatu dalam tiga perkara yang disebutkan dalam hadits di atas maka berlakulah hukum atasnya. Sebab dikhususkannya penyebutan tiga perkara di atas adalah untuk menekankan pentingnya urusan kehormatan seorang wanita, wallahua’lam.

    Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam Zaadul Ma’ad (V/204), “Kandungannya adalah jika seorang mukallaf melakukan talak, nika atau rujuk dengan bercanda, maka secara hukum dianggap berlaku. Hal itu menunjukkan bahwa perkataan orang bercanda tetap dihitung, sedangkan perkataan orang tidur, orang yang lupa, orang yang hilang akal dan orang yang dipaksa tidak dihitung.

    Beda antara keduanya, orang yang bercanda sengaja mengucapkan kata-katanya namun tidak bermaksud kepada hukumnya. Dan masalah hukum tidak diserahkan keputusannya kepadanya. Sesungguhnya yang menjadi tanggung jawab seorang mukallaf adalah perbuatannya. Adapun akibat dari perbuatannya dan konsekuensi hukumnya maka diserahkan kepada Syari’at, baik dimaksudkan oleh pelakunya ataupun tidak. Yang menjadi patokoan adalah perbuatannya dalam keadaan waras dan sadar. Jika ia bersengaja melakukannya maka syari’at akan menjatuhkan konsekuensi hukum atasnya, baik ia melakukannya sungguh-sungguh maupun sekedar bercanda.

    Dan tentunya berbeda dengan keadaan orang yang tidur, lupa, gila, mabuk dan hilang akal. Mereka tidak memiliki maksud yang benar dan mereka juga bukan mukallaf. Perkataan mereka tidak dihitung karena dianggap seperti anak-anak yang tidak tahu makna ucapannya dan tidak bermaksud kepadanya. Rahasia dalam masalah ini adalah perbedaan antara orang yang sengaja mengucapkan perkataannya dan ia mengetahuinya namun tidak menginginkan hukumnya dengan orang yang tidak sengaja mengucapkannya dan tidak mengetahui makna ucapannya.” 

  2. Sebagian ahli ilmu mengatakan, “Talak dari orang yang bercanda tidak jatuh, mereka berdalil dengan firman Allah, “Dan jika mereka berazam (bertetap hati) untuk mentalak,” (Al-Baqarah: 227).” Namun tidak ada hujjah bagi mereka dalam ayat ini.

    Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authar (VII/21), “Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan kata-kata nikah, talak, rujuk atau pembebasan budak dengan bercanda maka hukum jatuh atasnya sebagaimana ditegaskan dalam hadits-hadits yang kami sebutkan tadi.

    Adapun dalam masalah talak, telah berpendapat seperti itu sebagian ulama Syafi’iyah, Hanafiyah dan lainnya, namun diselisihi oleh Ahmad dan Malik, mereka mengatakan, ‘Lafazh yang jelas harus disertai dengan niat.’ Ini merupakan pendapat sejumlah imam, diantaranya adalah ash-Shadiq, al-Baqir dan an-Nashir, mereka berdalil dengan firman Allah, “Dan jika mereka berazam (bertetap hati) untuk mentalak,” (Al-Baqarah: 227).

    Ayat ini menunjukkan persyaratakan azam (ketetapan hati), sedangkan orang yang bercanda tidak punya ketetapan hati.

    Penulis kitab al-Bahr menjawabnya dengan penggabungan antara ayat dan hadits. Ia berkata, “Azam (ketetapan hati) dengan lafazh yang tidak jelas dianggap berlaku terlebih lagi dengan lafazh yang jelas.

    Pendalilan dengan ayat di atas untuk klaim tersebut pada asalnya tidak lah tepat. Maka tidak perlu diadakan penggabungan karena ayat ini turun berkenaan dengan orang yang meng’ilaa’ isterinya.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/79-81.