Allah SWT berfirman, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar,” (Ath-Thalaq: 1-2).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, aku menceraikan isteriku yang sedang haidh. Maka Umar melaporkan hal itu kepada Rasulullah, maka beliau marah besar dan besabda, “Perintahkan agar ia merujuk isterinya hingga isterinya melewati satu kali haidh yang lalu. Jika menurutnya ia harus mentalaknya maka talaklah pada saat isterinya suci dari haidh sebelum ia menyetubuhinya. Itulah talak iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT,” (HR Bukhari [4908] dan Muslim [1471]).
Kandungan Bab:
- Haram hukumnya menjatuhkan talak saat isteri sedang haidh, dalilnya adalah sebagai berikut:
- Kemarahan Rasulullah saw. terhadap perbuatan Ibnu Umar. Ini mengisyaratkan bahwa menjatuhkan talak pada saat isteri sedang haidh sebelumnya sudah dilarang. Jika tidak tentunya Rasulullah tidak akan marah karena melakukan perkara yang tidak dilarang sebelumnya, wallahua’lam.
Jika ada yang berkata, “Sekiranya larangan tersebut sudah dimaklumi lantas mengapa Umar saw. segera bertanya tentangnya?”
Jawabannya, pertanyaan Umar tentang hal itu tidak menjadi masalah. Sebab ia mengetahui hukum talak pada saat isteri sedang haidh, yaitu dilarang. Namun beliau tidak tahu apa yang harus dilakukan oleh orang yang melakukannya, wallahua’lam.
- Perintah Rasulullah saw. kepada Ibnu Umar agar merujuk isterinya kembali kemudian mentalaknya dengan talak sesuai Sunnah jika ia memang berazam untuk mentalaknya.
- Fatwa Abdullah bin Umar r.a, yang bersangkutan sendiri ketika ditanya oleh seorang laki-laki yang mentalak isterinya dengan talak tiga pada saat sedang haidh, beliau berkata, “Adapun engkau yang telah mentalak tiga isterimu maka engkau telah melanggar perintah Rab-mu dalam masalah mentalak isteri dan pisah total darimu,” (HR Muslim [1471]).
Ini jelas menegaskan bawa barangsiapa yang metalak isteri saat sedang haidh, maka ia telah mendurhakai Rabb-nya karena ia telah melanggar hukum Allah. Dan barangsiapa melanggar hukum Allah maka ia telah mendzalimi dirinya sendiri.
- Kemarahan Rasulullah saw. terhadap perbuatan Ibnu Umar. Ini mengisyaratkan bahwa menjatuhkan talak pada saat isteri sedang haidh sebelumnya sudah dilarang. Jika tidak tentunya Rasulullah tidak akan marah karena melakukan perkara yang tidak dilarang sebelumnya, wallahua’lam.
- Haram hukumnya mentalak isteri pada saat suci namun telah ia setubuhi, berdasarkan sabda Nabi saw, “Talaklah pada saat isterinya suci dari haidh sebelum ia menyetubuhinya.”
- Jalur-jalur hadits bab sepakat menyebutkan bahwa tidak bid’ah meskipun haram namun tetap dihitung dan dianggap satu talak. Dalam riwayat Ibnu Sirin disebutkan, “Ibnu Umar mentalak isterinya yang sedang haidh, lalu Umar menceritakannya kepada Rasulullah saw., beliau bersabda, “Hendaklah ia merujuk isterinya kembali.” Akubertanya, “Apakah talak tersebut dihitung?” Ia berkata, “Mahl!” (HR Bukhari [5252] dan Muslim [1471]).
Perkataan Ibnu Umar “Mahl!” adalah teguran atas perkataan tersebut, maknanya adalah tidak diragukan lagi jatuh talak dan aku meyakininya.
Dalam sebuah riwayat dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Umar, ia berkata, “Dihitung atasku satu talak,” (HR Bukhari [5253]).
- Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (IX/346), “Dikecualikan dari pengharaman mentalak isteri saat sedang haidh beberapa bentuk, diantaranya, misalkan isteri sedang hamil dan melihat darah keluar. Kami katakan wanita hamil bisa haidh, maka talaknya tidak dianggap bid’ah terutama bila hal itu terjadi menjelang melahirkan.”
Diantaranya juga jika seorang hakim menjatuhkan talak atas seseorang dan kebetulan bertepatan saat si isteri sedang haidh, demikian pula bila dua orang juru runding dari kedua belah pihak menjatuhkan talak sebagai cara untuk menyelesaikan persengketaan. Demikian pula khulu’, wallahua’lam.
- Wajib rujuk bagi yang melakukan talak bid’ah, karena perintah Nabi sangat jelas dalam masalah ini. Yaitu sabda Nabi kepada Umar r.a., “Perintahkanlah ia agar merujuk isterinya kembali”, perintah untuk memerintahkan termasuk perintah, karena perintah pertama berasal dari Nabi, maka jatuhlah perintah tersebut kepada pihak kedua yang diberi perintah. Pembuatan syari’at (yaitu Allah dan Rasul-Nya) adalah hakim atas yang meyampaikan perintah dan yang diperintah. Kewajiban atau taklif jatuh atas keduanya.
Jika ada yang berkata, “Memperbarui nikah tidak wajib, maka demikian pula melanjutkan tidak wajib juga.”
Jawabnya, karena talak pada saat isteri sedang haidh hukumnya haram maka melanjutkan nikah adalah wajib hukumnya, wallahua’lam,”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/69-72.