Dalam masalah ini terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, bersyukur kepada Allah adalah salah satu bentuk ibadah yang paling agung. Dan salah satu bentuk rasa syukur ketika mendapatkan kenikmatan adalah dengan menyembelih hewan dan membagikannya kepada saudara-saudara dan kerabat, atau dengan membuat jamuan untuk mereka.
Di dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyah, disebutkan bahwa disunnahkan untuk memperbarui syukur setiap kali mendapatkan nikmat yang baru dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah dan memuji-Nya. Dan rasa syukur juga bisa dimanifestasikan dengan perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Salah satu perbuatan tersebut adalah dengan menyembelih hewan untuk dibagi-bagikan atau mengundang kerabat, saudara dan tetangga untuk menghadiri jamuan dengan hewan sesembelihan tersebut. Sebagian ahli fikih menyebutkan seperti mengundang orang untuk menghadiri peresmian rumah baru, atau kembalinya seseorang yang telah lama tidak pulang, atau bahka ketika anak telah menyelesaikan bacaan Al-Qur’an. Madzhab Hanabilah dan ini juga termasuk madzhab yang diambil oleh Syafi’iyah, bahwa undangan tersebut hukumnya adalah sunnah. Berkata Imam Ibnu Qudamah,
وليس لهذه الدعوات – يعني ما عدا وليمة العرس والعقيقة – فضيلة تختص بها، ولكن هي بمنزلة الدعوة لغير سبب حادث، فإذا قصد بها فاعلها شكر نعمة الله عليه، وإطعام إخوانه، وبذل طعامه، فله أجر ذلك إن شاء الله
Dan tidaklah jaumuan-jamuan ini -yaitu selain jamuan pernikahan dan aqiqah- memiliki keutaman yang khusus. Akan tetapi, dia jika ia diniatkan untuk bersyukur kepada Allah, memberikan makan kepada saudara-saudaranya, mendermakan makanannya, maka dia akan mendapat pahala in sya Allah. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah 26/180-181)
Sesembelihan ini adalah salah satu bagian dari perkara yang ma’ruf, maka tidak disyaratkan sesuatu apapun untuk melaksanakannya kecuali sesembelihan karena nadzar atau janji. Dan kebaikan sangat dianjurkan walaupun hanya dengan sesuatu yang sedikit.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَا نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai kaum wanita muslimah! Janganlah sekali-kali seorang tetangga meremekan (pemberian kepada) tetangganya meskipun hanya memberikan kaki kambing kepadanya.” (Hadits riwayat Bukhari no. 2466 dan Muslim no. 1030)
Kedua, tidak mengapa untuk menggabungkan antara udhiyah dan bersyukur atas nikmat yang Allah ta’ala berikan. Memberikan daging sesembelihan yang ditujukan untuk bersyukur kepada Allah, walaupun ia berniat pada hari iedul adha ataupun hari tasyri’ untuk menyelenggarakan qurban, kemudian ia memasak daging tersebut dan memberikannya kepada saudara atau orang miskin sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah, maka hal tersebut hukumnya sah.
Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Fahri:
إذا ذبح الرجل أضحيته يوم الأضحى فعقّ بها عن ولده لم تجزِه؛ لأن المقصود من العقيقة إراقة الدم كما هو في الأضحية. فأما لو ذبح أضحيته يوم النحر، وأقام بها سنة الوليمة من غير نية، أجزأ؛ لأن المقصود في الأضحية إراقة الدم، وقد وقع موقعه، والمقصود من الوليمة إقامة السنَّةَ بالأكل وقد وجد ذلك الفعل
“Apabila seseorang menyembelih qurban pada hari raya Iedul Adha sedangkan ia juga meniatkan dengannya untuk mengakikahi anaknya, maka hal tersebut tidak dibenarkan. Karena tujuan dari akikah adalah mengalirkan dari hewan sesembelihan, sebagaimana dengan tujuan dari udhiyah. Sedangkan jika dia menyembelih pada hari-hari Iedul Adha, kemudian ia melaksanakan pesta pernikahan dengan daging dari hewan yang ia sembelih, maka hal tersebut diperbolehkan. Karena maksud dari qurban adalah menumpahkan darah, sedangkan maksud dari walimah adalah mendirikan sunnah nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam.” (Al-Qabas 2/651)
Wallahu A’lam bis-Shawab
Diterjemahkan dan diringkas dari:
https://islamqa.info/ar/answers/295234/الذبح-شكرا-لله-تعالى-وحكم-الجمع-بين-نيته-ونية-الاضحية-في-ذبيحة-واحدة