Larangan Nikah Syighar

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah saw. melarang nikah syighar. Yaitu seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya dengan orang lain dengan syarat orang tersebut harus menikahkan anak perempuannya dengannya tanpa mahar diantara keduanya,” (HR Bukhari [5112] dan Muslim [1415]).

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Rasulullah saw. beliau bersabda, “Tidak ada nikah syighar dalam Islam,” (Shahih, HR Ibnu Majah [1885] dan Ibnu Hibban [4154]).

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, bahwa al-Abbas bin Abdullah bin Abbas menikahkan puterinya dengan Abdurrahman al-Hakam dan Abdurrahman juga menikahkan puterinya dengan al-Abbas. Dan keduanya menjadikan hal itu sebagai maharnya. Maka Muawiyah menulis surat kepada Marwan berisi perintah supaya memisahkan pasangan tersebut. Dalam surat itu Muawiyah mengatakan, “Itu adalah nikah syighar yang dilarang oleh Rasulullah saw,” (Hasan, HR Abu Dawud [20751 dan Ibnu Hibban [4153]).

Diriwayatkan dari Imran bin Husein r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada jalab dan tidak ada pula janab, dan tidak ada nikah syighar. Barangsiapa melakukan perampokan maka ia bukan dari golongan kami.”

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya nikah syighar, disebut demikian karena pernikahan ini tanpa mahar. Ada yang mengatakan istilah tersebut diambil dari asal katanya dalam bahasa Arab yaitu mengangkat. Disebut Syaghara al-kalbu, anjing itu mengangkat kakinya ketika jima’. Seolah dikatan, “Jangan angkat kaki puteriku sehingga aku mengangkat puterimu.”

    Namun tafsir yang pertama yang lebih benar seperti yang disebutkan dalam hadits. Kalaulah hadits tersebut marfu’ maka itulah yang dimaksud dan kalaulah mauquf maka dapat juga diterima. Karena perowi hadits lebih tahu tentang hadits yang diriwayatkannya. 

  2. Penyebutan anak perempuan dalam tafsir syighar hanyalah sebuah permisalan. Para ahli ilmu sepakat bahwa selain anak perempuan seperti saudara perempuan, keponakan perempuan dan lainnya sama kedudukannya seperti anak perempuan dalam masalah ini. 
  3. Nikah syighar bathil, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan (diceraikan) sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih dari Muawiyah r.a. dan itu merupakan pendapat jumhur.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/25-26.