Larangan yang Berkaitan dengan Mengumpulkan Wanita dalam Satu Ikatan Pernikahan

Allah SWT berfirman, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (An-Nisa’: 23).

Ia berkata, “Maksudnya adalah anak Yatim yang berada dalam asuhan seseorang dan ia adalah walinya. Lalu ia menikahinya karena harta anak yatim tersebut dan berbuat buruk terhadapnya serta tidak berlaku adil pada hartanya. Lebih baik ia menikahi wanita lain, dua, tiga atau empat selain anak yatim tersebut,” (HR Bukhari [5098]).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Bahwasanya Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dan ia memiliki sepuluh isteri pada masa jahiliyah. Semua isterinya turut masuk Islam. Rasulullah saw. memerintahkan agar memilih empat diantaranya,” (Shahih, HR at-Tirmidizi [1128] dan Ibnu Majah [1953]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak boleh menggabungkan antara seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu (dalam satu ikatan perkawinan)’,” (HR Bukhari [5109] dan Muslim [1408]).

Diriwayatkan dari Jabir r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang seorang menikahi wanita bersama bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu (dalam satu tali perkawinan),” (HR Bukhari [5108]).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menggabungkan seorang wanita dengan bibi dari pihak ayah atau dari pihak ibu dalam satu ikatan perkawinan. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya jika kalian melakukannya berarti kalian telah memutus hubungan silaturrahim’,” (Hasan, HR at-Tirmidzi [1125] dan Ibnu Hibban [4116]).

Diriwayatkan dari Fairuz ad-Dailimi, ia berkata, “Aku datang menemui Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memeluk Islam dan aku memiliki dua orang isteri yang bersaudara (kakak adik).’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Ceraikanlah salah seorang dari mereka yang engkau kehendaki (untuk dicerai)’,” (Shahih, HR Abu Dawud [2243], at-Tirmidzi [1130] dan Ibnu Majah [1951]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya bagi seorang muslim menikah lebih dari empat (dalam satu waktu). Ummat Islam telah sepakah dalam masalah ini. Namun sebagian orang-orang jahat dari kalangan Rafidhah menyelisihinya. Akan tetapi mereka ini tidak masuk hitungan sama sekali.

    Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Ashqalani berkata dalam kitab Fathul Bari (IX/139), “Makna ayat adalah nikahilah dua, tiga atau empat. Bukan maksudnya menggabungkan jumlah keseluruhannya. Kalaulah maksudnya jumlah tersebut (yakni 9), tentunya lebih tepat dan lebih layak dikatakan sembilan. Adapun alasan mereka bahwa huruf waw fungsinya adalah sebagai penggabungan tidaklah tepat karena adanya indikasi yang menunjukkan bahwa maksudnya bukanlah penggabungan. Dan mereka juga beralasan bahwa Nabi menggabungkan sembilan orang isteri. Namun hal itu bertentangan dengan perintah beliau kepada orang yang baru masuk Islam dan memiliki lebih dari empat agar menceraikannya sehingga jumlahnya tidak lebih dari empat isteri saja. Hal itu telah terjadi pada diri Ghailan bin Salamah dan lainnya. Sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunan. Jelaskan bahwa hal itu adalah keistimewaan Nabi.”

    Zainal Abidin bin Ali bin Hussein bin Ali r.a. tentang tafsir ayat tersebut mengatakan, “Yakni dua, tiga atau empat,” (HR Bukhari [IX/139]).

    Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Ini merupakan dalil yang sangat bagus untuk membantah perkataan kaum Rafidhah. Karena tafsir ini berasal dari Zainal Abidin. Beliau adalah salah seorang imam yang perkataannya mereka jadikan rujukan dan mereka meyakini kemaksumannya.”

    Abdullah bin Abbas berkata, “Lebih dari empat adalah haram, sama seperti keharaman ibunya, puterinya dan saudara perempuannya,” (HR Bukhari IX/153]). 

  2. Diharamkan juga menggabungkan antara dua wanita yang bersaudara dalam satu ikatan perkawinan atau seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu. Aku tidak menemukan perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Kecuali pendapat dari kelompok menyempal dar kalangan kaum Rafidhah (Syi’ah) dan Khawarij dan pendapat mereka tidak dapat menjadi acuan. Karena mereka telah keluar dari agama seperti anak panah yang melesat dari busurnya. 
  3. Hikmah menggabungkan antara dua wanita yang bersaudara dalam satu ikatan perkawinan dan antara seorang wanita dengan bibinya adalah kekhawatiran memutuskan hubungan silaturrahim, karena persaingan antara para madu adalah suatu perkara yang lumrah terjadi dan hal itu dapat memutuskan hubungan silaturrahim. 
  4. Sebagian ahli ilmu memakruhkan menggabungkan wanita-wanita yang masih memiliki hubungan kekerabatan karena dikhawatirkan akan memunculkan perasaan dengki di antara mereka. Akan tetapi, perkara halal adalah yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, demikian juga perkara haram. 
  5. Barangsiapa yang masuk Islam sementara ia memiliki dua isteri yang bersaudara (kakak beradik) hendaklah ia memilih salah satu dan menceraikan yang lain.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/21-24.