Larangan Menggauli Tawanan Wanita Sehingga Dipastikan Suci

Diriwayatkan dari al-Khudri r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang tawanan wanita dari suku Authas, “Tidak boleh digauli wanita yang hamil hingga melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga melewati masa satu kali haidh,” (Shahih lighairhi, HR Abu Dawud [2157] dan Ahmad [III/62]).

Diriwayatkan dari Ruweifi’ bin Tsabit al-Anshari, dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah ia tumpahkan air maninya kepada benih orang lain.” 

Diriwayatkan dari Abu Darda’ r.a, dari Rasulullah saw. bahwa beliau melewati seorang wanita hamil yang hampir melahirkan di pintu Fusthath. Rasul berkata, “Barangkali ia ingin menggaulinya?” mereka menjawab, “Benar!” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh betapa ingin aku melaknatnya dengan laknat yang akan mengiringinya sampai ke liang kubur. Bagaimana mungkin ia mewarisi anak itu sedangkan hal itu tidak halal baginya. Bagaimana mungkin ia memperbudak anak itu sedangkan hal itu tidak halal baginya,” (HR Muslim [1441]).

Kandungan Bab:

  1. Sepasang suami isteri apabila keduanya atau salah satu dari keduanya tertawan, maka hilanglah ikatan nikah antara mereka berdua. Sebab dalam kondisi demikian dibolehkan bagi pihak yang menawan untuk menyetubuhi wanita tawanannya setelah melahirkan bila sedang hamil atau setelah melewati masa satu kali haidh apabila tidak hamil tanpa harus dipisah meski mereka adalah wanita-wanita yang memiliki suami. 
  2. Kepemilikan budak wanita mengharuskan majikannya memastikan kesuciannya dari kehamilan terlebih dahulu. Majikannya tidak boleh menggaulinya sebelum datang masa sucinya (yakni satu kali haidh). Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (IX/321), “Para ulama sepakat mengharamkan atas para majikan menyetubuhi budak wanitanya selama menunggu masa kesuciannya.” 
  3. Menggauli tawanan wanita yang sedang hamil tidak dibolehkan. 
  4. Menggauli tawanan wanita hamil dapat menyebabkan dinisbatkannya anak-anak tidak kepada orang tua mereka yang sebenarnya atau dapat menyebabkan orang tua mereka yang sebenarnya berlepas diri dari mereka. Hal tersebut dapat menyebabkan tercampur baurnya nasab dan itu dilarang. 
  5. Masa suci wanita hamil adalah sampai ia melahirkan dan masa suci wanita yang tidak hamil adalah satu kali haidh.

Faidah:

Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita hamil tidak bisa haidh. Oleh karena itu apabila ia melihat darah maka dapat dipastikan itu bukanlah darah haidh. Karena syari’at menjadikan masa istibra’nya dengan melahirkan. Haidh adalah masa istibra’ wanita yang tidak hamil. Sekiranya dapat bertemu antara haidh dan kehamilan tentu tidak dapat dijadikan bukti kesuciannya. Mereka mengatakan, oleh karena itu wanita hamil tidak boleh meninggalkan shalat dan puasa meski melihat darah seperti halnya wanita yang mengalami istihadhah. Saya katakan, “Pendapat ini sangat kuat dan bagus, wallahua’lam.”

Faidah: Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah menulis sebuah buku dalam masalah ini yang beliau isyaratkan dalam kitab Tahdzibus Sunnan (III/109), ia berkata, “Aku telah menulis sebuah buku tersendiri tentang apakah seorang wanita hamil dapat haidh atau tidak?”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/10-12.