Allah berfirman, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (An-Nisa’: 22-25).
Diriwayatkan dari Ummu Habibah r.a, ia berkata, Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah keinginanmu terhadap puteri Abu Sufyan?” “Apa yang harus kulakukan,” jawab Nabi. “Menikahinya!” sahutku. “Apakah engkau mau?” tanya Nabi pula. “Aku tidak bisa mengekang seorang diri dan wanita yang paling aku sukai untuk menjadi maduku adalah saudara perempuanku” jawab Ummu Habibah. Nabi berkata, “Sesungguhnya ia tidak halal untukku.” “Aku dengan engkau meminang seorang wanita?” tanya Ummu Habibah. “Puteri Ummu Salamah maksudmu?” selidik Rasulullah. “Ya benar” jawab Ummu Habibah. Nabi berkata, “Sekiranya ia bukan anak perempuan isteriku (anak tiri), ia juga tidak halal bagiku. Tsuwaibah telah menyusui aku dan dia. Janganlah engkau tawarkan anak perempuan dan saudara perempuan kalian padaku,” (HR Bukhari [5106] dan Muslim [1449]).
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a, ia berkata, “Aku bertanya kepada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau lebih memilih wanita Quraisy dan meninggalkan wanita-wanita kami’?” “Adakah kalian mempunya wanita” tanya Nabi. “Ya ada, puteri Hamzah!” jawab ‘Ali. Nabi berkata, “Sesungguhnya ia tidak halal untukku. Ia adalah puteri dari saudara sesusuanku,” (HR Muslim [1446]).
Kandungan Bab:
- Mahram dari nasab ada tujuh, yaitu: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, ‘amah (bibi dari pihak ayah), khalah (bibi dari pihak ibu), anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan perempuan).
- Mahram karena hubungan pernikahan ada tujuh, yaitu: Ibu mertua, anak perempuan isteri (anak tiri) yang dalam pemeliharaan, cucu perempuan, isteri ayah, saudara perempuan isteri, ‘amah isteri (bibi perempuan isteri dari pihak ayah) dan khalah isteri (bibi perempuan isteri dari pihak ibu).
- Diharamkan karena sepersusuan apa yang diharamkan karena nasab, seperti ibu susuan, saudara perempuan sepersusuan, anak perempuan sepersusuan, ‘amah sepersusuan, khalah sepersusuan, anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan, dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan.
- Itu semua haram dinikahi untuk selama-selamanya kecuali menggabungkan antara dua perempuan yang bersaudara dalam satu akad pernikahan atau menggabungkan seorang perempuan dengan ‘amahnya (bibi dari pihak ayah) atau dengan khalahnya (bibi dari pihak ibu) atau menikahi isteri orang lain. Pengharaman menikahinya berlaku sementara, penjelasan lebih lanjut akan dijelaskan dalam sebuah bab khusus insyallah.
- Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Ashqalani berkata dalam Fathul Baari (IX/154), “Termasuk wanita yang haram dinikahi: wanita yang dinikani kakek dan seterusnya ke atas, nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas, nenek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas, cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, cucu perempun dari anak perempuan dan seterusnya ke bawah, cucu perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian pula cucu perempuan dari saudara laki-laki dan cucu perempuan dari keponakan laki-laki dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan dan seterusnya ke bawah. ‘Amah (bibi dari pihak ayah), khalah (bibi dari pihak ibu) dan seterusnya ke atas. Demikian pula khalah ayah dan nenek isteri dan seterusnya ke atas. Anak perempuan dari anak tiri perempuan yang ada dalam pemeliharaannya dan seterusnya ke bawah, demikian pula anak perempuan dari anak tiri laki-laki yang berada dalam pemeliharaannya, isteri cucu dari anak laki-laki maupun anak perempuan.”
- Para ulama berselisih pendapat tentang sifat anak perempuan isteri (anak tiri perempuan) apakah mutlak anak tiri perempuan ataukah anak tiri perempuan yang berada dalam asuhan dan pemeliharaannya?
Ayat di atas menunjukkan bahwa pengharaman anak tiri dengan dua syarat:
- Anak tiri perempuan berada dalam asuhan dan pemeliharaannya.
- Telah bercampur (bersetubuh) dengan ibunya.
Oleh karena itu anak tiri perempuan tidak haram dinikahi kecuali dengan dua syarat di atas. Tidaklah haram hanya dengan terpenuhi salah satu dua syarat tersebut, wallahua’lam.
Ini adalah pendapat yang kuat dan jelas. Akan tetapi mereka menolaknya dengan klaim adanya ijma’ (atas pengharaman anak tiri secara mutlak). Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Ashqalani berkata dalam Fathul Bari (IX/158), “Kalaulah bukan karena adanya ijma’ dalam masalah ini dan sedikitnya pihak yang menyelisihi niscaya mengambil pendapat ini (pendapat haramnya anak tiri dengan syarat di atas) tentu lebih utama.”
Saya katakan, “Tidak ada ijma’ dalam masalah ini! Pendapat jumhur tidak bisa dikatakan ijma’.” Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiir Al-Qur’aan al-‘Adzim (XI/482), “Inilah madzhab yang empat dan ahli fikih yang tujuh serta jumhur salaf dan khalaf.”
Ada yang berpendapat anak tiri perempuan tidak haram kecuali bila berada dalam pemeliharaannya, jika tidak maka tidak haram untuk dinikahi. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, Abu Zur’ah telah meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Ibrahim telah meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Hisyam yakni bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, dari Ibnu Juraij, ia berkata, Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Malik bin Aus bin al-Hadtsaan telah menceritakan kepada kami bahwa ia berkata, “Aku memiliki seorang isteri yang baru meninggal dunia dan telah melahirkan anak-anak untukku. Lalu aku bertemu dengan Ali bin Abi Thalib r.a, beliaa bertanya, “Apa gerangan yang menimpamu?” “Isteriku baru saja meninggal dunia” jawabku. Ali bertanya, “Apakah ia memiliki anak perempuan?” “Ya punya, anak tiri perempuanku itu ada di Thaif” jawabku. “Apakah ia berada dalam pemeliharaanmu?” tanya Ali. “Tidak, ia berada di Thaif” jawabku. Ali berkata, “Nikahilah ia!” Aku berkata, “Lalu bagaimana dengan firman Allah, “Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu.” (An-Nisa’: 23).
Ali berkata, “Sesungguhnya anak tiri perempuanmu itu tidak berada dalam pemeliharaanmu. Anak tiri diharamkan bila ia berada dalam pemeliharaanmu.”
Sanadnya kuat dan shahih sampai kepada Ali bin Abi Thalib sesuai dengan syarat muslim. Namun pendapat ini sangat aneh sekali. Pendapat inilah yang dipilih oleh Dawud azh-Zhahiri dan rekan-rekannya, Abul Qasim ar-Rafi’i meriwayatkan pendapat ini dari Malik dan pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Hazm.
Guru kami, yakni Syaikh Abu Abdillah adz-Dzahabi menceritakan kepadaku bahwa ia menunjukkan pendapat ini kepada kepada Syaikh al-Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah. Beliau mempermasalahkannya lalu tidak memilih pendapat apa pun dalam masalah ini, wallahua’lam.
- Barangsiapa menikahi mahramnya atau berzina dengan mahramnya maka ia mendapat hukuman yang sangat berat, yaitu dibunuh dan diambil hartanya. Berdasarkan hadits al-Bara’, ia berkata, “Aku bertemu dengan pamanku, yakni Abu Burdah, sedang ia memegang panji. Aku bertanya kepadanya, “Hendak kemana?” Ia berkata, “Rasulullah saw. memungutusku kepada laki-laki yang menikahi isteri ayahnya untuk aku bunuh atau aku penggal lehernya’,” (Shahih, HR Abu Dawud [4457], at-Tirmidzi [1362] dan Ibnu Majah [2607]).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/15-20.