Larangan Nikah Tahlil

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a, bawha Rasulullah saw. melaknat muhalil, yaitu orang yang menikahi wanita dengan tujuan menghalalkan wanita itu bagi suaminya yang telah menjatuhkan talaq tiga atasnya dan juga melaknat muhalal lahu, yaitu seorang suami yang telah mentalak tiga isterinya lalu menyuruh orang lain dengan tujuan menghalalkannya untuk dirinya.

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Maukah kalian aku beritahu tentang kambing penjantan?’ ‘Tentu saja wahai Rasulullah!’ sahut mereka. Rasul Bersabda, ‘Yaitu muhallil, Allah melaknat muhallil dan muhallil lahi’,” (Shahih, HR at-Tirmidzi [1120] dan an-Nasa’i [VI/149]).

Kandungan Bab:

  1. Kerasnya pengharaman nikah tahlil. Karena biasanya laknat dijatuhkan atas dosa besar.

    At-Tirmidzi berkata, “Inilah yang diamalkan oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat r.a, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abdullah bin Umar dan lainnya. Dan ini juga pendapat para fuqaha dari kalangan tabi’in serta pendapat yang dipilih oleh Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.” 

  2. Wanita yang telah ditalak tiga tidak halal bagi suami yang telah mentalaqnya hingga ia menikah dengan laki-laki lain dan menyetubuhinya. Ia mencicipi madu laki-laki itu dan sebaliknya. Hubungan nikah yang disertai hasrat birahi. Jika kemudian laki-laki itu mentalaqnya barulah ia halal dinikahi oleh suaminya yang pertama tadi. Jika laki-laki itu tetap mempertahankannya (tidak mentalaqnya) maka tidak halal bagi suami pertamanya tadi untuk menuntut agar laki-laki itu menceraikan mantan isterinya. 
  3. Barangsiapa menikahi wanita yang telah ditalaq tiga untuk menghalalkannya bagi mantan suami yang telah mentalaqnya maka ia jatuh dalam laknat. Berdasarkan riwayat shahih dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa seorang laki-laki datang kepadanya bertanya tentang seorang laki-laki yang mentalaq tiga isterinya lalu saudara laki-lakinya menikahi mantan isterinya itu dengan tujuan menghalalkan mantan isterinya itu untuknya tanpa ada kesepakatan antara keduanya. Apakah hal itu boleh dilakukannya? Abdullah bin Umar menjawab, “Tidak boleh, kecuali pernikahan yang disertai dengan hasrat birahi. Kami menganggap perbuatan itu seperti perzinaan pada masa Rasulullah saw,” (Shahih, HR al-Hakim [II/199] dan al-Baihaqi [VII/208]).

    Ibnu Umar pernah ditanya tentang nikah tahlil untuk menghalalkan seorang wanita dengan mantan suaminya. Beliau menjawab, “Itu adalah perzinaan, kalaulah Umar mengetahui kalian melakukannya niscaya ia akan menghukum kalian,” (Shahih, HR Ibnu Abi Syaibah [IV/294]).

    Akan tetapi ashabur ra’yi menyelisihinya, mereka mengatakan, “Ini adalah perbuatan baik untuk saudaranya seislam dan niat baik untuk merajut kembali hubungan mereka, anak-anak mereka dan keluarga mereka. Ia termasuk orang yang berbuat baik, dan tidak ada cela atas orang yang berbuat baik, apalagi dijatuhi laknat Rasulullah atas mereka!”

    Sebagaimana yang dikatakan oleh at-Tirmidzi bahwa sebagian ahli ilmu mengatakan, “Pendapat ashabur ra’yi dalam masalah ini harus dibuang jauh-jauh.”

    Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authar (VI/277), “Tentu tidak samar lagi perkataan itu jauh sekali dari kebenaran, bahkan termasuk jidal dengan kebatilan dan dusta. Bantahannya tidak samar lagi atas orang yang berilmu.” 

  4. Sebagian ahli ilmu mengatakan, “Jika seorang laki-laki menikahi wanita dengan tujuan menghalalkannya (untuk manta suaminya) kemudian ia berubah pikiran untuk tetap mempertahankannya sebagai isteri maka halal baginya sehingga ia memperbarui akad nikahnya dengan wanita tersebut.”

    Saya katakan, “Pendapat yang benar adalah sebaliknya, ia boleh mempertahankannya sebagai isteri tanpa harus memperbarui akad nikahnya. Sebagaimana yang dinukil secara shahih dari Umar bin Khattab r.a, bahwa ada seorang wanita menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki untuk menghalalkannya dengan mantan suaminya. Umar bin Khattab memerintahkan agar laki-laki itu tetap mempertahankan si wanita dan tidak mentalaknya dengan mengancam akan menghukumnya bila ia mentalaknya. Hal itu berarti nikah mereka sah tanpa harus memperbarui akad, wallahu a’lam.

Faidah:

Di negeri Syam, nikah tahlil ini disebut nikah tajhisy dan di negeri ‘Ajam disebut al-halaalah.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/7-96.