Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya bathil, nikahnya bathil, nikahnya bathil. Jika sudah bercampur dengannya maka mahar adalah hak si wanita karena sudah ia campuri. Jika kedua belah pihak berselisih maka sultan adalah wali bagi yang tidak punya wali’,” (Shahih, HR Abu Dawud [2083], at-Tirmidzi [1102] dan Ibnu Majah [1879]).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Tidak sah nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil,” (Shahih, HR Ibnu Hibban [4075] dan al-Baihaqi [VII/124-125]).
Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Tidak sah nikah tanpa wali,” (Shahih, HR Abu Dawud [2085], at-Tirmidzi [1101] dan Ibnu Majah [1881]).
Kandungan Bab:
- Nikah tanpa wali dan dua orang saksi adalah bathil (tidak sah) menurut jumhur ulama.
Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (IX/41), “Dalam masalah ini yang berlaku adalah hadits Nabi, ‘Tidak sah nikah tanpa wali’ demikian menurut mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi. Dan ini juga pendapat Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan lainnya.
Dan ini juga pendapat Sa’id bin al-Musayyib, al-Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha’i, Qatadah, Umar bin Abdul Aziz dan lainnya.
Dan pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i, Abdullah bin al-Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Saya katakan, “Al-Hafidz Ibnu Hajar menukil dalam Fathul Bari (IX/187) dari Ibnu Mundzir ijma’ sahabat dalam masalah ini. Berkata, ‘Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihinya’.”
- Ash-Habur ra’yi (pengagung akal) mendukung pandapat mereka dengan alasan seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, diqiyaskan dengan jual beli. Karena seorang wanita berdiri sendiri dalam transaksi jual beli. Lalu mereka bawakan hadits-hadits yang mensyaratkan wali kepada para gadis yang masih kecil.
Saya katakan, “Alasan itu tertolak dengan hadits Ma’qil bin Yasar r.a, ia berkata, “Aku menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki lalu ia menceraikannya. Sehingga ketika selesai masa ‘iddahnya ia datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, “Aku telah menikahkanmu dengannya, aku telah menyediakannya untukmu dan memuliakanmu tapi kamu malah menceraikannya. Kemudian engkau datang lagi untuk meminangnya. Demi Allah, tidak, ia tidak akan kembali kepadamu selama-lamanya. Padahal tidak ada masalah dengan laki-laki itu dan mantan isterinya itu juga ingin kembali kepadanya. Lalu Allah menurunkan ayat ini, “Janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” (Al-Baqarah: 232).
Kemudian Ma’qil berkata, “Sekarang aku lakukan ya Rasulullah.” Maka Ma’qil pun menikahkan saudara perempuannya dengan laki-laki itu,” (HR Bukhari [5130]).
Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (IX/45), “Hadits ini merupakan dalil bahwa nikah tidak sah tanpa persetujuan wali. Kalu sekiranya wanita punya kebebasan menikahkan dirinya sendiri, maka tak ada artinya wali itu menghalanginya. Dan larangan terhadap para wali tidak bermakna apabila ternyata si wanita dapat menikahkan dirinya sendiri.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (IX/187), “Para ulama berselisih pendapat tentang persyaratan adanya wali dalam pernikahan. Jumhur mengatakan bahwa wali adalah syarat. Mereka mengatakan, ‘Pada asalnya seorang wanita tidk bisa menikahkan dirinya sendiri.’ Mereka berdalil dengan dalil di atas. Hadits tersebut merupakan dalil yang paling jelas menunjukkan persyaratan adanya wali. Kalaulah bukan syarat maka larangan dalam ayat 232 surat al-Baqarah di atas tidak ada maknanya. Karena kalaulah si wanita dapat menikahkan dirinya sendiri maka dia tidak membutuhkan persetujuan saudara laki-lakinya. Orang yang memegang kendali urusannya sendiri tidaklah bisa dikatakan bahwa ada orang lain yang menghalanginya dalam urusan tersebut.”
Saya katakan, hadits di atas membatalkan dan menolak qiyas tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, “Akan tetapi hadits Ma’qil tersebut membatalkan qiyas ini.”
Demikian pula hadits ini membatalkan pembedaan antara gadis kecil dengan wanita dewasa. Karena saudara perempuan Ma’qil bukanlah gadis kecil. Dengan demikian gugurlah qiyas yang bertentangan dengan nash-nash syar’i ini.
Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Athar (VI/258), “Akan tetapi qiyas ini bathil berdasarkan hadits di atas.”
Kedua rekan Abu Hanifah, Yakni Ya’qub Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan cenderung kepada pendapat yang telah disepakati oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat r.a, yaitu tidak sah pernikahan tanpa wali.
Ath-Thahawi berkata dalam Syarh Ma’ani al-Atsar (III/13), “Abu Yusuf dahulunya berpendapat bahwa seorang wanita boleh mengikat akad pernikahannya sendiri tanpa harus ada persetujuan dari wali. Ia berkata, “Wali tidak berhak memprotes mahar yang kurang dari mahar standar.” Namun kemudian ia meninggalkan pendapat ini dan beralih kepada pendapat tidak sah pernikahan tanpa wali.
Pendapatnya yang terakhir ini juga merupakan pendapatnya Muhammad bin al-Hasan, wallahu a’lam bish shawab.
- Dalam sebuah riwayat dari Imam Malik disebutkan, “Jika ia adalah seorang wanita yang hina (pelacur) maka ia boleh menikahkan dirinya sendiri atau menyuruh orang lain menikahkannya. Jika ia seorang wanita yang mulia maka tidak boleh.”
Al-Baghawi berkata (IX/42), “Lafadz hadits berlaku umum untuk semua wanita tanpa terkecuali.”
- Al-Baghawi berkata (IX/42), “Sabda Nabi, ‘Jika telah mencampurinya maka ia berhak atas mahar,’ ini menegaskan penegasan kami bahwa seorang wanita tidak boleh langsung mengadakan aqad. Sebab kalaulah ia boleh mengadakan akad tentunya keputusan diserahkan kepadanya bila wali tidak setuju, bukan kepada sulthan. Ketidak setujuan disini yang dimaksud adalah ketidak setujuan ‘adhal (yaitu yang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 232 di atas) bukan ketidak setujuan shabaq. Karena apabila seorang wali mengalangi seorang wanita kawin lagi dengan mantan suaminya dan tidak ada wali lagi yang sederajat dengannya maka perwalian diserahkan kepada sulthan, bukan kepada wali jauh.
- Al-Hafidz berkata dalam Fathul Bari (IX/188), “Dalam hadits Ma’qil disebutkan bahwa apabila wali menghalangi maka sulthan tidak boleh menikahkannya kecuali setelah menyuruhnya untuk membatalkan penghalangan tersebut. Jika disetujui oleh si wali maka itulah yang diharapkan, jika tidak maka sulthan boleh menikahkannya.”
- Tidak sah nikah hingga disaksikan oleh dua orang saksi yang adil saat pelaksanaan aqad, wallahu a’lam.
- Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya sebagaimana ia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Berdasarkan sabda Nabi saw, “Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya dan seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, karena wanita pelacurlah yang menikahkan dirinya sendiri,” (Shahih, HR Ibnu Majah [1882] dan ad-Daruquthni [III/227]).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/3-6.